The Way Home, salah satu film Korea yang sempat mendapatkan piala Oscar di tahun 2002, tepat 20 tahun lalu saat film ini dirilis. Film ini menggambarkan suasana pedesaan Korea Selatan, dengan berbagai struktur tanah berbatu, curam, kehidupan masyarakatnya yang sangat bergantung pada pertanian. Akses untuk ke kota tentunya cukup jauh, harus mengantri bus umum pada assembly point pinggir desa dengen melewati terjalnya jalan. Film ini, begitu kuat berpesan moral, bagaimana perjalanan seorang nenek, yang harus bertahan sebagai petani, jauh dari akses dan layanan kesehatan, harus merawat sang cucu yang egois, penuh konflik batin kemanusiaan hingga akhirnya menumbuhkan benih kebaikan untuk sang cucu sebagai penyayang dan memahami kultur serta pola kehidupan kehidupan masyarakat desa dengan segala keterbatasan aksesnya.
Sama halnya seperti Wadas, yang akhir-akhir ini selalu menjadi pembahasan dan berita diberbagai media. Bahkan menjadi trending twitter dalam satu bulan terakhir. Berbagai kejadian, potret wajah kesedihan, raut muka putus asa masyarakat hingga trauma anak-anak karena kedatangan berbagai aparat dan juga mereka yang berasal dari segala profesi. Sehingga, membuat pergolakan dan riak desa Wadas terjadi, meski tadinya adem ayem tentrem di negeri ini.
Seperti desa-desa pada umumya di Jawa Tengah, Wadas merupakan salah satu desa yang subur, dengan berbagai ragam pertanian, berdampingan dengan nuansa hutan alam dengan potensi kekayaan yang tinggi. Masyarakat di area ini mayoritas mengandalkan kehidupan dengan Bertani secara turun menurun. Setiap pagi, aktivitas yang dilakukan adalah minum kopi hangat, bercengekaram dengan keluarga, tetangga, sebelum berangkat ke sawah dan lahan pertanian masing-masing hingga menjelang sore. Rutinitas yang kini mulai diusik dengan berbagai polemik, membuat Wadas menggeliat, melawan dan tanpa tahu kapan ini menjadi keberhasilan atas nama kesejahteraan bagi masyarakat desa Wadas.
Sejak melihat berbagai tayangan mengenai Wadas bermunculan, gundah gulanapun ikut menerpa. Kembali terbayang saat berbagai implementasi proyek nasional diberlakukan ataupun dengan kepentingan investasi bernilai ekonomis tinggi demi percepatan pembangunan nasional sebagai salah satu upaya pemulihan ekonomi selama Pandemic covid 19 melanda negeri. Pengalaman tinggal di sebuah desa daerah Rembang, yang juga sempat menjadi konflik kepentingan pada kasus pabrik Semen Indonesia di area Kendeng hingga bagaimana perjuangan masyarakat desa Krikilan yang saat itu akan menjadi salah satu cadangan LPG area Randu Gunting untuk Pertamina.
Ada banyak sekali hal yang memang mengikuti setiap kasus, mulai dari kepentingan politik yang kini mulai terasa menjelang Pemilu 2024, kekuasaan, keuntungan bisnis, hingga framing isu tanpa memertimbangkan rasa dan perasaan. Â Banyak pengamat menilai, kasus Wadas tak hanya soal bagaimana Ganjar Pranowo yang begitu kencang menjadi salah satu capres agar turun elektabilitas, kepentingan untuk itung-itungan resiko dan peluang bisnis di bendungan Bener, hingga galian (quarry) batu andesit yang telah mendapatkan izin dari Pak Gubernur Jawa Tengah pada 2018, dengan nomor 590/41 sebagai salah satu pemasok kebutuhan baru andesit untuk pembangunan bendungan Bener. Hanya saja begitu bulan April 2021, terjadi bentrok masyarakat, Wadas memanas dan kemudian pecah polemik hingga hari ini, termasuk isu lingkungan yang kembali muncul. Menjadi pertanyaan banyak pihak, bagaimana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) /Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)-nya, bagaimana Free Prior Informed Consent (FPIC)-nya pada saat itu sebelum dimulai proyek Bener sekalisus penambangan batu andesit, ataupun prinsip lain yang harus dipenuhi baik dalam skala sosial, lingkungan, ekonomi hingga tata Kelola proyek yang juga didahului feasibility study. Atau bahkan jika mengacu dengan safeguard seharusnya dapat menjamin program investasi 'tidak mengakibatkan dampak negative yang serius'. Kalaupun terjadi, harus dipastikan upaya mitigasi dan mekanisme yang seharusnya bisa meminimalkan dampak, mulai dari perencanaan hingga tahapan pelaksanaan.
Pada kasus Wadas, bisa jadi mungkin secara safeguard ada, namun upaya mitigasi dan mekanisme yang tidak ada atau justru memang ada 'unsur' kesengajaan memang tidak ada layanan konsultasi safeguard Ketika kategori masyarakat yang terdampak potensial akan dampak lingkungan masuk kategori affected people, isolated and vulnerable people bahkan hingga kemungkinan displaced people. Hanya saja, Ketika Wadas mulai memuntahkan persoalan, terjadi chaos baru kita mulai meraba, apa yang salah? Mengapa menjadi seperti ini? Lalu kemudian banyak pihak beramai-ramai mengeluarkan berbagai statement soal lingkungan hingga penghidupan bagi Wadas. Akan tetapi tentu saja, jalan pintas dalam pergerakan aparat hukum pada proses pengukuran lahan yang akan menjadi area pertambangan batu andesit, mengakibatkan trauma psikhis bagi perempuan, laki-laki, anak, kelompok rentan yang tak akan dilupakan seumur hidupnya.
Mengembalikan Wadas di 'Rumahnya'
Jalan damai, tentunya menjadi pilihan banyak pihak untuk mengembalikan Wadas pada fitrahnya, pada kehidupan semula yang tenang. Situasi saat ini yang dilaporkan kondusif banyak pihak dan media bukanlah jaminan akan menjadi damai seterusnya. Perlu kompromi atas berbagai kepentingan, kompromi keegoisan akan kekuasaan, akan menjadi pemenang dalam kontestasi Pemilu 2024. Wadas terlalu banyak korban air mata, korban 'obyek' dari kebijakan tentang pembangunan yang sebenarnya di'niat'kan untuk masyarakat, meskipun masih terdapat berbagai 'mafia' yang bisa saja menhintip keuntungan besar dibalik silang sengkarut bisnis dari pengadaan sebuah proyek besar bernama 'pembangunan'.
Sudah seharusnya, berbagai proyek pembangunan apapun namanya, kembali pada sustainability in human and ecology. Pandemic covid 19 yang sebenarnya mengajarkan keberpihakan terhadap lingkungan dan manusia, justru belum cukup memberikan keberpihakan yang tinggi terhadap nama pembangunan dan investasi yang terus berlangsung. Apapun bentuknya, Ketika berbicara soal Wadas, adalah bagaimana memfasilitasi berbagai pihak untuk berhenti menggunakan masyarakat sebagai 'obyek' dan pusaran persoalan. Masyarakat Wadas adalah bagian dari land owner yang memiliki hak dan kekuasaan untuk berdaya. Sedangkan investor, adalah sebagai pihak yang harus tetap berpegang pada prinsip bagaimana menyelerasan dengan indikator environmental, social dan corporate governance (ESCG), responsible business conduct (RBC), dan kejelasan dalam Shared Value (SV).
Kriteria lingkungan; bagaimana perusahaan mempertimbangkan kerja perusahaan dengan cara 'ramah lingkungan'. Kriteria sosial; investor mempertimbangkan bagaimana perusahaan mengelola hubungan kerja dengan keseluruhan subyek, mulai dari karyawan, pemasok, pelanggan dan 'masyarakat dimana perusahaan beroperasi'. Kriteria tata Kelola; bagaimana investor mempertimbangkan bagaimana perusahaan membangun kepemimpinan yang mampu menjaankan prinsip tata Kelola yang baik termasuk sistem dalam manajemen, sistem audit, pengendalian internal, pemegang saham dan lainnya.
Selain Environtment, Social & Governance (ESG), yang tak kalah penting dalam sebuah proyek adalah dampak yang ditimbulkan seperti pertanyaan sebelumnya, dampak sosial dan lingkungan yang menjadi catatan pertama apakah layak dan tidak layak dijalankan. Dalam pembiayaan asing misalnya, terdapat rambu-rambu yang bernama International Corporate Finance Standard (IFCs) dengan 8 prinsip utama sebagai evaluasi implementasi proyek, seperti Performance Standard (PS) 1; Sistem Management dan Penilaian Lingkungan dan Sosial, PS 2; Kondisi Pekerja dan Pekerjaan, PS 3; Pencegahan Polusi, PS 4; Kesehatan Masyarakat dan Keamanan, PS 5; Pengadaan Tanah dan Perpindahan Penduduk (khusus bicara bagaimana proyek memberikan perhatian dan penanganan kepada masyarakat terdampak, atau punya potensi terdampak), PS 6; Konservasi Keragaman Hayati dan Manajemen Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan, PS 7; Masyarakat Adat, dan PS 8; Warisan Budaya.
Dalam dokumen terbaru Panduan Pelaporan Aspek Lingkungan Hidup untuk sustainability report Global Reporting Initiative (GRI) dan Disclosure Insight Action-CDP 2022, juga menyebutkan pentingnya sustainability report guna mengidentifikasi dan mengelola dampak, baik yang dihasilkan oleh kegiatan, kemitraan bisnis terhadap perekonomian, lingkungan hidup dan masyarakat, termasuk integrasi penanganan perubahan iklim (climate change). Pelaporan ini melalui beberapa indikator dalam Task Force on Climate Change-Related Financial Disclosures (TCFD) pada 4 komponen utama; tata kelola (governance), strategi (strategy), manajemen resiko (risk management), serta matrik dan target (metrics & targets).Â
Dalam kasus Wadas, tentu solusinya selain melihat kembali proses pada AMDAL/ANDAL, SK Gubernur, dokumen FPIC adalah duduk bersama berdialog dengan masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra, memainkan peran dalam dialog, apakah sebagai perekat masyarakat, sebagai 'dalang', sebagai 'guru', sebagai 'tokoh' dalam sebuah percaturan, kembali menggali apa yang menjadi kebutuhan, identifikasi berbagai faktor riil  Wadas, dan ini semuanya bermuara pada 'kolaborasi' dengan berbagai pihak untuk bersama-sama menurunkan ego dan kepentingan akan 'Wadas'. Bahkan sekalipun sekali lagi menjadikan Wadas sebagai 'obyek' politik tahun 2024. Hal ini semuanya, tentu berdasarkan prinsip dan berbagai standard indikator yang harus dipenuhi oleh pelaku proyek, mengedepankan 'kemanusiaan dan ekologinya', ditengah membangun keselarasan pada pemenuhan target SDGs 2030 sekaligus sebagai pilihan negara-negara G20 yang menganggap Indonesia sebagai jembatan peradaban khususnya di Asia dengan segala kemajemukan, keberagamaan dan kearifan budayanya.
The way home, adalah refleksi dari bagaimana gambaran Wadas, desa kecil dengan keistimewaan alam dan pertanian, yang dimana meski tak jauh dari kota Semarang, masyarakatnya berdikari. Kemerdekaan dalam menentukan hidup dan pandangan keberlanjutan atas berbagai silang sengkarut, hanya akan membuat Wadas 'bersedih' dan luka batin atas sayatan keegoisan dari berbagai proyek atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur di negara ini. Wadas, sudah selayaknya dikembalikan sebagai rumah masyarakat, tempat menggantungkan kehidupan yang sustainable, tanpa harus ada rasa khawatir akan intimidasi dan gangguan keterancaman kerusakan lingkungan. Memelihara hubungan rumah dan penghuninya adalah pengembalian 'marwah'Â negara, sebagai pelindung masyarakat dan menjamin kesejahteraannya yang menjadi tanggungjawab negara atas amanat UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H