Mohon tunggu...
Noprianto
Noprianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya gemar dengan Pendidikan Politik Lingkungan Hidup, membaca dan menulis sebab itu adalah motivasi untuk saya melangkah di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Nilai pada Masa Revolusi Budaya

4 Desember 2023   22:53 Diperbarui: 5 Desember 2023   13:22 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perkembangan nilai pada masa revolusi kebudayaan di chaina

PENDAHULUAN

a. Perkembangan Nilai

Bertens, K, menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik. Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addressee of a yes (sesuatu yang ditunjukan dengan ya). (Sudjatnika, 2017)

Dalam kamus popular, nilai diartikan sebagai ide tentang apa yang baik, benar, bijaksana dan apa yang berguna, sifatnya lebih abstrak dari norma. Ditinjau dari sudut pandangan tema filosofis tentang hakikat subjektif, nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif seperti positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika, menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis yaitu sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Berbeda halnya dengan kaum rasionalis mengatakan bahwa nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Sedangkan kaum empiris memandang nilai sebagai unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.  

Lorens Bagus dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan bahwa nilai dalam bahasa Inggris disebut value, bahasa Latin valere artinya berguna, mampu akan sesuatu, berdaya, berlaku, kuat. Ditinjau dari segi harkat, nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. Ditinjau dari segi keistimewaan, nilai adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah "tidak bernilai" atau "nilai negatif". Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu "nilai negatif" atau "tidak bernilai". Ditinjau dari sudut Ilmu ekonomi memiliki arti kegunaan nilai tukar benda-benda material.

Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai dalam nilai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Secara filosofis dikenal dengan istilah axios (nilai) dan logos (teori) atau aksiologi yaitu the theory of value atau teori nilai tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis, yaitu sesuatu yang memungkinkan seseorang berbicara tentang moralitas, melalui kata-kata atau konsep-konsep "seharusnya" atau "sepatutnya" (ought/should). Maka aksiologi merupakan analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepantingan. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Menurut Steeman dalam, (Harmadinayanti, 2019)

Jiwa pada individu manusia adalah ruh subyektif yang menciptakan dan mendukung nilai-nilai. Nilai-nilai ruh subyektif manusia kemudian diterima oleh umum (masyarakat luas) membentuk sistem nilai-nilai umum yang kemudian disebut nilai-nilai kebudayaan. Sistem nilai ini berfungsi sebagai pedoman dan norma hidup manusia baik sebagai individu atau kelompok misalnya dalam keluarga, organisasi, partai politik, masyarakat atau bangsa. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. (Sudjatnika, 2017)

Spranger memandang kebudayaan adalah sistem nilai-nilai atau kumpulan nilai-nilai yang disusun dan diatur menurut struktur tertentu. Dalam hal ini Spranger menggolongkan enam bidang nilai kebudayaan (lebensformen), antara lain (1) bidang pengetahuan-ilmu dan teori, (2) bidang ekonomi, (3) bidang kesenian, (4) bidang keagamaan, (5) bidang kemasyarakatan, (6) bidang politik. Empat bidang diatas diantaranya termasuk pada bidang nilai yang berhubungan dengan manusia sebagai individu, sedangkan dua bidang terakahir merupakan bidang nilai yang berhubungan dengan mansuia sebagai anggota masyarakat. (Sudjatnika, 2017)

PEMBAHASAN 

b. Cikal Bakal Revolusi Budaya

Mao melakukan Modernisasi pada bidang perindustrian, pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi setelah mengumumkan berdirinya Republik rakyat Cina yang telah mengalami masa peperangan panjang. Pembaharuan pada bidang pertanian lebih di fokuskan oleh Mao, dengan dikeluarkannya kebijakan Reformasi agraria. Reformasi Agraria adalah undang-undang untuk mengelolah kepemilikan lahan pertanian milik pribadi menjadi milik kelompok yang terbagi-bagi secara merata dan dikerjakan bersama-sama untuk kepentingan negara (Waung, 1976) dalam (Harianto et al., 2018)

Wheelwright & McFarlane, (1973). Menyatakan bahwa Fokus Pembaharuan Mao dalam bidang industrialisasi Cina menyebabkan kurangnya perhatian pada bidang pertanian, sehingga menyebabkan kurangnya produktifitas hasil pertanian dan tidak dapat mengimbangi perkembangan industri. Otonomi daerah tidak dapat berkembang untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang dirasa sesuai dengan karakteristik wilayahnya akibat pola kepemimpinan Mao yang sentralistik, karena keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah pusat. Mao menyadari akan kekurangan dari kepemimpinan yang sentralistik dan berusaha memperbaikinya dengan meluncurkan program Lompatan Jauh ke Depan (the Great Leap Forward) pada tahun 1958-1959. Pembangunan Cina mengadopsi sistem pembangunan Negara Uni Soviet dengan motode dan strategi yang sesuai dengan karakteristik Negara Cina. Agenda pembangunan Cina adalah berusaha menyeimbangkan kebutuhan material dan kebudayaan dari masyarakat untuk mengubah Cina menjadi Negara sosialis industry yang sesuai dengan tujuan sosialisme dalam Kongres Partai ke-8, (Harianto et al., 2018)

Willem, 1982 menyatakan bahwa Pengumuman kebijakan seratus bunga berkembang yang dilakukan Mao pada tahun 1956 yang diambil dari ungkapan "barkan serratus bunga mekar dan seratus aliran bersaing suara" secara teoritis memberikan kebebasanan untuk perkembangan pada bidang seni, sastra, dan riset ilmiah. Kritik yang dikemukakan oleh para kaum terpelajar dan kaum intelektual sangat dibutuhkan oleh Negara untuk perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di Cina serta untuk mengetahui data tentang dukungan para kaum terpelajar dan kaum intelektual terhadap partai Kuo-Can-tang. Mao menggunakan kebijakan seratus bunga berkembang untuk menguji para kader-kader partai serta masyarakat Cina yang yang dicurigai akan memberontak. Para kaum intelektual yang mengkritik secara pedas pemerintah dan partai dituduh sebagai kapitalisme yang beraliran kanan, sehingga Mao Tse Tung mengeluarkan kebijakan baru yaitu kebijakan anti kanan atau anti kapitalisme. (Harianto et al., 2018)

Pembaharuan Cina dianggap belum tuntas oleh jajaran elit partai, para elite partai menganggap kebijakan lompatan jauh kedepan telah gagal karena tidak bisa mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis. Terjadi perpecahan kepemimpinan didalam elite partai serta perbedaan pandangan ideologis dan strategi pembangunan akibat dari kegagalan kebijakan lompatan jauh yang dikeluarkan oleh Mao. Peng-De-huai yang menjabat Menteri Pertahanan Nasional, pada sidang Komite Sentral Partai (1959) melontarkan kritik keras serta menimpakan kesalahan kepada Mao. Pemecatan Peng-De-huai dari kedudukannya setelah melakukan kritik keras di sidang Komite Sentral Partai, Mao menyebut Peng-De-huai sebagai pengikut kaum kapitalis yang berusaha menyebarkan paham kapitalis kembali di wilayah Cina. Insiden tersebut mengawali Revolusi Kebudayaan.

Periode penting didalam politik Cina setelah tahun 1949 adalah Revolusi Kebudayaan Proletar. Revolusi Kebudayaan merupakan kampanye besar yang terjadi di Negara Cina, yang mengakibatkan produksi industri Cina berhenti total. Bangunan-bangunan bersejarah hancur, klenteng, masjid, dan kota-kota besar mengalami kelumpuhan serta mengakibatkan sebesar 729.511 jiwa menjadi korban. Deng-Xiao-ping mengumumkan kebijakan merehabilitasi korban Revolusi Kebudayaan pada tahun 1978, serta untuk mengembalikan kondisi Cina pada kondisi semula.

c. Faktor Gagalnya Gerakan Lompatan Besar Ke Depan (Great Leap Forward)

Mao ingin mewujudkan China menjadi kekuatan modern kelas satu di mata dunia. Metode dan strategi pembangunan diubah, tahap-tahap pembangunan China tetap Mao mencanangkan kampanye ini pada bulan Mei 1958, tujuannya membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Kepada rakyat disampaikan bahwa sasaran dari kampanye Lompatan Besar ke depan adalah mengungguli semua negara kapitalis dalam waktu singkat dan menjadi salah satu negara paling kaya, paling maju, dan paling berkuasa di seluruh dunia. Program industrialisasi tersebut akan dicapai dalam waktu sepuluh sampai lima belas tahun. Mao menyebut baja sebagai pilar industri dan memerintahkan untuk meningkatkan produksi baja dua kali lipat dalam waktu satu tahun, dari 5,35 juta ton pada tahun 1957 menjadi 10,7 juta ton pada tahun 1958. Mao merahasiakan sisi militer dari program tersebut. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Slogan Lompatan Besar ke Depan adalah berjalan di atas 2 kaki dan "kemandirian pembangunan bersama industry dan pertanian" mencerminkan penerapan teknologi ganda: teknologi modern dan tradisional. Untuk mengembangkan industri baja tersebut Mao tidak mempekerjakan tenaga ahli, tetapi Mao memutuskan untuk menggerakkan seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam gerakan lompatan jauh ke depan. Para ahli yang mencoba berbicara dengan akal sehat dihukum mati. Dalam program ini Mao mengesampingkan rasionalitas. Pabrik baja dan industri terkait seperti tambang batu bara diperintahkan bekerja habis-habisan untuk untuk memperbesar produksi. Pabrik-pabrik tersebut tidak mampu mencapai target seperti yang ditetapkan Mao, sehingga Mao memerintahkan untuk membangun tanur rakyat. Rakyat dipaksa untuk menyerahkan semua benda logam yang mereka miliki, seperti alat-alat pertanian, alat masak-memasak, pegangan pintu, tempat tidur besi, dan sebagainya, untuk dicairkan dan dilelehkan. Gunung-gunung digunduli, pohon-pohon ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Bagi setiap unit diberikan kuota produksi baja, akibatnya masyarakat banyak menghentikan kegiatan rutin mereka selama berbulan-bulan hanya untuk memenuhi kuota. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan gerakan ini adalah:

a. tenaga kerja produktif di bidang agraris ditransfer seluruhnya ke bidang industri menyebabkan kurangnya tenaga petani yang menanam tanaman untuk stok bahan pangan.

b. Angka-angka statistik yang dilambungkan dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Faktor ini menyebabkan petinggi Beijing mengira bahwa program ini sangat sukses yang selanjutnya menuai bencana yang lebih besar, berupa bencana kelaparan yang terbesar sepanjang sejarah. Empat puluh juta jiwa mati dalam waktu dua tahun.

c. Rakyat yang dipekerjakan masih terlalu awam sehingga baja yang dihasilkan berkualitas rendah.

d. Penggunaan bahan bakar untuk memacu industri begitu besar jumlahnya sehingga mengakibatkan kekurangan bagi bidang lainnya.

Gerakan Lompatan Besar ke Depan memicu perpecahan serius di jajaran pimpinan sejak komunis mengambil alih kekuasaan satu dekade sebelumnya. Mao menyerahkan jabatannya sebagai kepala Negara kepada Liu Shaoqi. Pada bulan Juni 1959 dilangsungkan Konferensi khusus di Lushan. Menteri Pertahanan Peng De Huai mengkritik apa yang terjadi dalam Lompatan Besar ke Depan dan merekomendasikan pendekatan realistis dalam bidang ekonomi. Peng kemudian dianggap sebagai orang kanan yang oportunis, Mao menyebutnya sebagai kaki tangan kapitalis. Peng dipecat sebagai Menteri Pertahanan, dihukum tahanan rumah dan dikirim ke Sichuan untuk dipensiun dini sebagai pejabat rendah. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Setelah itu Lompatan Besar ke Depan terus berlanjut dengan ekses-ekses yang semakin gila. Tujuan-tujuan ekonomi yang tidak mungkin dicapai diperintahkan dari atas. Semakin banyak petani dimobilisasi untuk membuat baja. Semakin banyak perintah yang tidak jelas menyebabkan kekacauan di pedesaan.

d. Revolusi Budaya

Revolusi Kebudayaan adalah gerakan sosiopolitik di Tiongkok yang dimulai pada tahun 1966 ketika Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Tiongkok, mengecam cara hidup kapitalis dan tradisional Tiongkok yang lama. Banyak orang menderita selama masa ini, namun pada tahun 1976, setelah kematian Mao dan penangkapan Kelompok Empat, Revolusi Kebudayaan dianggap berakhir. (Christopher klein 2019)

Revolusi Kebudayaan China (sumber: www.newyorker.com)
Revolusi Kebudayaan China (sumber: www.newyorker.com)

              Digerakkan oleh Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok pada masa itu, tujuannya adalah menyajikan ideologi komunis yang 'sebenarnya' di negara tersebut dengan menyapu sisa-sisa unsur kapitalis dan tradisional dari masyarakat Tiongkok, dan mendirikan kembali pemikiran Maois sebagai ideologi dominan pada Partai tersebut. Percaya bahwa pemimpin Komunis saat ini sedang mengambil partai, dan China ke arah yang salah, Mao meminta kaum muda bangsa untuk membersihkan elemen "tidak murni" masyarakat Tionghoa dan menghidupkan kembali semangat revolusioner yang telah membawa kemenangan dalam perang sipil 20 dekade sebelumnya dan pembentukan Republik Rakyat Cina. (bagas_dummy 2018)

Seruan Mao dijawab oleh para siswa, beberapa di antaranya masih berusia sekolah dasar, yang mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok pertama Pengawal Merah. Mereka kemudian bergabung dengan para pekerja dan tentara.

Sasaran pertama Pengawal Merah mencakup kuil Buddha, gereja, dan masjid, yang diratakan dengan tanah atau diubah menjadi kegunaan lain. Teks suci, serta tulisan Konfusianisme, dibakar, bersama dengan patung keagamaan dan karya seni lainnya. Benda apa pun yang terkait dengan masa lalu pra-revolusioner Tiongkok dapat dihancurkan.

Dalam semangat mereka, Pengawal Merah juga mulai menganiaya orang-orang yang dianggap "kontra-revolusioner" atau "borjuis". Para Garda mengadakan apa yang disebut "sesi perjuangan", di mana mereka melontarkan caci-maki dan penghinaan di depan umum terhadap orang-orang yang dituduh berpikiran kapitalis (biasanya mereka adalah guru, biksu, dan orang-orang terpelajar lainnya). Sesi-sesi ini sering kali melibatkan kekerasan fisik, dan banyak dari terdakwa meninggal atau ditahan di kamp pendidikan ulang selama bertahun-tahun. Menurut Revolusi Terakhir Mao yang ditulis oleh Roderick MacFarquhar dan Michael Schoenhals, hampir 1.800 orang terbunuh di Beijing saja pada bulan Agustus dan September 1966. (Szczepanski, Kallie, 2023)

Setelah mundurnya Mao dari kursi kepresidenan China setelah kegagalannya dalam program lompatan besar ke depan, Mao masih tetap merupakan pemimpin tertinggi yang diagung-agungkan oleh rakyat. Namun yang menjalankan pemerintahan adalah dari kaum pragmatis di bawah Liu Shaoqi. Revolusi Kebudayaan dilancarkan pada tahun 1966 oleh Mao Tse-tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat presiden Liu Shaoqi dan kliknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping melihat bahwa kegagalan Lompatan Jauh ke Depan menunjukkan bahwa sosialisme orthodox yang dipegang Mao tidak lagi bisa dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan Uni Soviet. Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan ide Mao dan tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan anti kapitalisme. Selaku presiden RRC Liu Shao Qi memiliki gagasan untuk melunakkan penindasan pemerintahan terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat. Melalui program Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi (sanzi yibao), Liu mengijinkan rakyat untuk mengerjakan tanah miliknya sendiri serta memiliki usaha kecil untuk dijual ke pasar bebas. Hal ini membuat Mao khawatir akan membangkitkan kapitalisme di China. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Gerakan Revolusi Kebudayaan itu secara langsung mengenai isi seni, literatur, dan drama dengan menekankan bahwa ekspresi kebudayaan harus menghormati nilai-nilai kebangsaan dan proletar dalam masyarakat sosialis, menentang musush-musuh kelas dan asing, dan menolak nilai-nilai tradisional China. Tujuan revolusi kebudayaan tersebut adalah untuk memelihara ideologi komunisme, budaya, dan adat kebiasaan proletariat. Komunisme merupakan satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh tetapi juga pikiran. Revolusi kebudayaan memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Zedong. Oleh karena itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam PKC. Tradisi dan budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan adat lama lainnya.

Langkah organisasional Mao selama masa revolusi ini adalah dengan membentuk rantai komando pribadi yang beroperasi di luar mesin partai, meskipun secara resmi menyatakan berada di bawah politbiro dan komite pusat. PKC tidak dapat dijadikan sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao memobilisasi militer, kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai media khususnya Koran paling berpengaruh "harian rakyat". Pada bulan Juni membuat serangkaian editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak ketua Mao, menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak rakyat agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas dan belum pernah ada sebelumnya.

James R Townsend (1997) membagi Revolusi Kebudayaan dalam empat tahap. Mobilisasi tahap pertama dalam Revolusi Kebudayaan berlangsung dari tahun 1965 sampai bulan Juni 1966. Dalam periode ini kepemimpinan pusat saling bertikai dalam masalah bagaimana menanggapi tuntutan Mao akibat berkembangnya pengaruh kaum revisionis. Kritik terbuka dilancarkan terhadap sejumlah kecil intelektual dan propagandis partai yang telah menyebarkan tulisan-tulisan anti Maois dalam tahun 1961 -- 1962. Selama bulan Juni dan Juli 1966, Revolusi Kebudayaan meluas menjadi suatu gerakan massa terbuka untuk menelanjangi semua penguasa borjuis, khususnya dalam lembaga-lembaga pendidikan dan propaganda. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Tahap kedua adalah serangan terbuka yang dilancarkan oleh kelompok Pengawal Merah yang berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan November 1966. Revolusi Kebudayaan dikawal oleh Pengawal Merah yang didirikan oleh mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966. Pengawal Merah menjadi ujung tombak Revolusi Kebudayaan dan didukung oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Dengan dukungan kekuasaan resmi tersebut dan ditutupnya kegiatan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi Pengawal Merah berkembang biak, membawa berjuta-juta pemuda turun ke jalan berdemonstrasi mendukung ketua Mao Tse-tung, mengutuk dan meneror mereka yang digolongkan sebagai lawan-lawannya, dan menghancurkan berbagai lambang kebudayaan borjuis atau reaksioner. Akan tetapi walaupun aksi-aksi mereka mengarah kepada ketaatan yang hampir fanatik terhadap Mao, mereka tidak dapat menyingkirkan lawan-lawan Mao dari kekuasaan. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Puncak Revolusi Kebudayaan terjadi pada tahun 1967. Antara tahun 1966-1967 negara mengalami keadaan kacau balau oleh tindakan Pengawal Merah yang secara bebas menyerang apapun juga. Targetnya adalah pejabat-pejabat rendah dan menengah serta kader-kader partai. Mereka mengecam siapapun yang berada dalam posisi pimpinan. Kecaman-kecaman sering berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan karena hukuman maupun bunh diri. Misalnya dosen atau petingi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi, dokter ahli dimutasi menjadi petugas kebersihan WC, atau birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat. Dalam pelaksanaannya Pengawal Merah membuat kekacauan di masyarakat dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dibubarkan oleh Mao Tse-tung.

Tahap ketiga berlangsungnya Revolusi Kebudayaan adalah perebutan kekuasaan yang berlangsung dari bulan Desember 1966 sampai bulan September 1968. Gerakan tersebut meluas sampai ke daerah pedalaman, perusahaan-perusahaan, dan pemerintahan serta partai. Kelompok pemberontak revolusioner baru umumnya berasal dari masyarakat pekerja, dan dengan demikian merupakan organisasi-organisasi massa yang lebih luas daripada para pengawal Merah yang terdiri dari kaum mahasiswa dan pelajar. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Gagasan tentang perebutan kekuasaan dari bawah merupakan serangan langsung terhadap wewenang dan organisasi partai lokal. Golongan Maois di Peking menganggap pergolakan di daerah-daerah ini sebagai suatu keharusan dan memang dikehendaki, tetapi mereka dengan cepat membatasi gerakan ini.

Pada bulan Januari 1967 dikeluarkan instruksi bahwa TPR harus turut campur tangan dengan memberi bantuan sepenuhnya pada pihak kiri dan menguasai fasilitas-fasilitas komunikasi yang penting, transportasi, dan lain-lainnya. Akibatnya China berada di bawah undang-undang keadaan perang, di mana TPR menjadi penguasa administratif de facto dan sebagai penengah dalam sengketa-sengketa antar daerah dan organisasi PKC lokal tidak berfungsi lagi dan bahkan organ-organ partai sentral mengalami kemerosotan.

Pada bulan September 1968, para komandan tentara dan para bekas kader menduduki posisi-posisi penting dalam komite-komite baru, organisasi-organisasi massa dipecah belah dan ditindas, dan para mahasiswa diperintahkan untuk kembali ke bangku sekolah atau bekerja di daerah-daerah pedalaman. Akan tetapi organisasi partai masih terpecah belah dan komite-komite revolusi tingkat propinsi telah terlanjur memperkuat wewenang kekuasaan mereka atas daerah bawahannya.

Tahap keempat atau terakhir adalah tahap konsolidasi, kepemimpinan China menyatakan kemenangan nominal dari Revolusi Kebudayaan, tetapi mengakui pula bahwa pembangunan kembali partai dan ekonomi serta struktur politik yang stabil masih harus dicapai. (Darini, R., & HUM, M. 2010)

Revolusi kebudayaan tidak memberi kemenangan yang mutlak kepada golongan Maois. Kepemimpinan yang muncul pada akhir kampanye masih merupakan suatu koalisi campuran dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Revolusi Kebudayaan mengakibatkan kira-kira separo dari elit politik sebelum tahun 1966 dipecat atau diturunkan jabatannya. Dengan diangkatnya sejumlah besar pimpinan politik baru pada jabatan-jabatan yang lebih tinggi, periode Revolusi Kebudayaan jelas merupakan suatu periode mobilitas besar-besaran. Tokoh-tokoh militer paling banyak mendapat keuntungan berupa kedudukan dalam Komite Sentral dan sebagian besar posisi-posisi penting pada tingkat propinsi.

e. Dampak politik

Dengan berakhirnya kekerasan jalanan yang terburuk, Revolusi Kebudayaan dalam enam atau tujuh tahun berikutnya berkisar pada perebutan kekuasaan di eselon atas Partai Komunis Tiongkok. Pada tahun 1971, Mao dan wakilnya, Lin Biao, saling melakukan upaya pembunuhan. Pada 13 September 1971, Lin dan keluarganya mencoba terbang ke Uni Soviet, namun pesawat mereka jatuh. Secara resmi, pesawat tersebut kehabisan bahan bakar atau mengalami kerusakan mesin, namun terdapat spekulasi bahwa pesawat tersebut ditembak jatuh oleh pejabat Tiongkok atau Soviet. (Szczepanski, Kallie, 2023)

Mao menua dengan cepat, dan kesehatannya menurun. Salah satu pemain utama dalam permainan suksesi adalah istrinya, Jiang Qing. Dia dan tiga kroninya, yang disebut " Geng Empat ", mengendalikan sebagian besar media Tiongkok, dan mencerca kelompok moderat seperti Deng Xiaoping (sekarang direhabilitasi setelah bertugas di kamp pendidikan ulang) dan Zhou Enlai. Meskipun para politisi masih antusias untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka, masyarakat Tiongkok telah kehilangan selera terhadap gerakan tersebut.

Zhou Enlai meninggal pada bulan Januari 1976, dan kesedihan atas kematiannya berubah menjadi demonstrasi melawan Geng Empat dan bahkan melawan Mao. Pada bulan April, sebanyak 2 juta orang membanjiri Lapangan Tiananmen untuk menghadiri upacara peringatan Zhou Enlai---dan para pelayat secara terbuka mengecam Mao dan Jiang Qing. Pada bulan Juli tahun itu, Gempa Bumi Besar di Tangshan menekankan kurangnya kepemimpinan Partai Komunis dalam menghadapi tragedi tersebut, sehingga semakin mengikis dukungan publik. Jiang Qing bahkan menyampaikan melalui radio untuk mendesak masyarakat agar tidak membiarkan gempa bumi mengalihkan perhatian mereka dari kritik terhadap Deng Xiaoping.

Mao Zedong meninggal pada tanggal 9 September 1976. Penggantinya yang dipilih sendiri, Hua Guofeng, menangkap Geng Empat. Ini menandai berakhirnya Revolusi Kebudayaan. (Szczepanski, Kallie, 2023)

f. Dampak Setelah Revolusi kebudayaan

Selama satu dekade penuh Revolusi Kebudayaan, sekolah-sekolah di Tiongkok tidak beroperasi, menyebabkan seluruh generasi tidak memiliki pendidikan formal. Semua orang terpelajar dan profesional menjadi sasaran pendidikan ulang. Mereka yang tidak terbunuh tersebar di pedesaan, bekerja di pertanian atau bekerja di kamp kerja paksa.

Segala macam barang antik dan artefak diambil dari museum dan rumah pribadi dan dimusnahkan sebagai simbol "pemikiran lama". Teks-teks sejarah dan keagamaan yang tak ternilai harganya juga dibakar menjadi abu.

Jumlah pasti orang yang terbunuh selama Revolusi Kebudayaan tidak diketahui, tapi setidaknya jumlahnya mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan. Banyak korban penghinaan publik juga melakukan bunuh diri. Kelompok etnis dan agama minoritas menderita secara tidak proporsional, termasuk umat Buddha Tibet, suku Hui, dan Mongolia.

Kesalahan besar dan kekerasan brutal merusak sejarah Komunis Tiongkok. Revolusi Kebudayaan merupakan salah satu peristiwa yang paling buruk, bukan hanya karena penderitaan manusia yang sangat mengerikan yang diakibatkannya namun juga karena begitu banyak sisa-sisa kebudayaan besar dan kuno negara tersebut yang dengan sengaja dihancurkan. (Szczepanski, Kallie, 2023)

DAFTAR PUSTAKA

Bagas_dummy, Apa yang dimaksud Revolusi Kebudayaan yang ada di Cina? - Ilmu Budaya / Sejarah. (2018, May 10). Dictio Community. https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-revolusi-kebudayaan-yang-ada-di-cina/106014

Darini, R., & HUM, M. (2010). Garis besar Sejarah China Era Mao. Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta.

Harianto, F., Sumardi, S., & Sugiyanto, S. (2018). Chinese Cultural Revolution In 1966-1976. JURNAL HISTORICA, 2(1), 26--36.

Harmadinayanti, H. (2019). NILAI-NILAI MORAL DALAMLONG UGI TOPANRITA [PhD Thesis, UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR]. http://eprints.unm.ac.id/13292/

Szczepanski, Kallie. "Ikhtisar Revolusi Kebudayaan Tiongkok." ThoughtCo, 5 April 2023, thoughtco.com/what-was-the-cultural-revolution-195607.

Sudjatnika, T. (2017). NILAI-NILAI KARAKTER YANG MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA. 14(01).

Christopher klein What Was the Cultural Revolution? (2019, August 9). HISTORY. https://www.history.com/news/what-was-the-cultural-revolution

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun