Indonesia terkenal dengan keberagaman suku, etnis, budaya, agama dan bahasanya yang beragam dari seluruh penjuru daerahnya. Keragaman tersebut sudah menjadi ciri khas dari Indonesia yang sampai saat ini masih berusaha dipertahankan dan dijaga.
Setiap individu membutuhkan individu yang lainnya dalam kehidupannya. Saling membutuhkan inilah yang membentuk suatu hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini berlaku juga untuk masyarakat Indonesia. Dimana seorang individu hidup berdampingan dengan individu yang lain dan membentuk suatu cakupan hubungan yang lebih luas dengan individu yang lainnya dalam suatu daerah tertentu kemudian membentuk suatu komunitas atau perkumpulan yang dinamakan Suku.
Contohnya seperti dalam suatu hubungan masyarakat di daerah tertentu. Individu yang menikah dengan individu lain yang membentuk ikatan keluarga yang erat, kemudian berhubungan dengan keluarga yang lainnya, begitu seterusnya sampai membentuk suatu rantai yang saling menghubungan satu dengan yang lainnya dalam satu komunitas atau perkumpulan (Suku).
Salah satunya penduduk asli di Pulau Lombok yang bernama Suku Sasak. Dimana suku sasak pun memiliki kebudayaan local yang dijunjung oleh masyarakatnya. Kebudayaan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dulu, yang kemudian menurunkan tradisi-tradisi dan budaya itu kepada anak cucunya hingga sampai saat ini. Kebudayaan-kebudayaan suku sasak yang paling sering kita lihat saat ini seperti Bau Nyale, Peresean, dan Nyongkolan. Namun selain ketiga budaya sasak yang masih terjaga tersebut,masih banyak kebudayaan lain yang sudah mulai tergerus oleh zaman.
Bahkan sulit kita temui lagi. Jika kita lihat, mengapa para turis dari daerah lain di indonesia bahkan mancanegara, datang jauh-jauh ke Lombok? Hal itu karena kearifan local suku sasak, yang tidak hanya alamnya yang menggiurkan namun kebudayaannya, yang dinilai sangat unik, menarik, perlu dinikmati dan penting untuk diketahui. Apabila kebudayaan ini terus dijaga dan dilestarikan akan memberikan dampak positif kepada daerah dan Negara, yakni sebagai Income dalam bidang pariwisata.
Dewasa ini, masyarakat sudah mulai melupakan tradisi adat mereka masing-masing, karena terlena terhadap gemerlapnya zaman modern yang dianggap lebih memiliki kualitas yang lebih baik untuk kehidupan daripada kebudayaan milik mereka yang dianggap jadul (Jaman dulu). Anak-anak muda mulai melupakan kebudayaan daerahnya sendiri. Akibatnya beberapa kali kebudayaan itu diakui oleh Negara lain sebagai aset negaranya.
Bahkan saat ini kebudayaan bangsa lain diangap memiliki keunikan tersendiri sehingga kebudayaan negara lain itu di banding-bandingkan dengan kebudayaan negaranya sendiri. Misalnya seperti budaya KPOP (Budaya Korea Selatan) yang dianggap lebih trendi, menarik, dan mengikuti perkembangan zaman kearah yang semakin modern ini. Sampai-sampai menganut cara berpakaian dan bertingkah laku dari kebudayaannya.
Bukan hanya dalam lingkup antar Negara saja, bahkan dalam lingkup kebudayaan local. Kebudayaan dari daerah sendiri sudah mulai dilupakan karena menganggap budaya daerah lain lebih memiliki daya tarik yang melebihi kebudayaan daerahnya sendiri. Sama halnya, dalam kebudayaan suku sasak yang mulai tergerus zaman. Sekarang ini, para generasi muda sudah tidak mengetahui asal usul sukunya, apa saja, bagaimana, dan mengapa kebudayaannya yang ada di suku sasak ada, kebudayaan yang mana saja yang termasuk dalam kebudayaan asli suku sasak, bukan kebudayaan kontemporer (adopsi) dari kebudayaan daerah lain. Yang ditahu, hanya kebudayaan ini (menunjukk pada kebudayaa tertentu) sudah tidak sesuai dengan zaman modern, sehingga tidak terlalu penting untuk di lestarikan karena ketinggalan zaman.
Mengapa kebudayaan yang seharusnya sebagai aset daerah untuk membantu meningkatkan income daerah malah terlupakan dan tidak di pandang penting lagi? Apakah memang karena kebutuhan terhadap kebudayaan ini yang sudah tidak dirasakan penting lagi ataukah sarana yang tidak mendukung untuk memperkenalkan kebudayaan suku sasak lebih dekat kepada generasi muda?
PENDIDIKAN TATE KRAME
Dalam suku sasak dikenal suatu adat kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lainnya dengan nama Tate Krame. Tate Krame ini jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi Tata Krama. Seperti pada umumnya, setiap daerah memiliki tata krama masing-masing yang menunjukkan cirri-ciri dari daerahnya masing-masing. Tata krama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai adat sopan santun. Begitupun juga dalam bahasa sasak, Tate Krame adalah suatu cara bersopan santun dalam masyarakat suku sasak.
Tate Krame dibagi dalam 2 bentuk yakni tate krame dalam bertingkah laku dan dalam berbahasa. Adat dalam bertingkahlaku sudah memiliki awig-awig adat (aturan-aturan adat) tersendiri yang mesti dilakukan. Misalkan dalam Betemoe (bertamu), masyarakat adat suku sasak akan mengucapkan salam terlebih dahulu didepan rumah, dan tidak akan masuk apabila belum ada jawaban dari pemilik rumah dan dipersilakan untuk masuk. Kemudian ketika disajikan makanan atau minuman harus dihabiskan, untuk menghormati pemilik rumah yang telah menghidangkannya. Selain itu, ada juga adat dalam Midang (bertemu dirumah pacar) atau dalam bahasa ngetrennya saat ini, pergi ngapelin pacar kerumahnya. Dalam midang ini, apabila laki-laki dating untuk menemui kekasihnya harus ditemani oleh orangtua dari perempuan, ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fitnah. Ketika bertemu pun, laki-laki dan perempuan tidak bisa saling melihat lansung, karena haruslah dihalangi pandangannya, entah itu oleh tembok rumah, kayu papan, kain dan lain sebagainya.
Sedangkan Tate Krame dalam berbahasa harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan lawan bicaranya, misalkan ketika berbicara dengan seseorang yang lebih tua dan memiliki strata yang lebiih tinggi menggunakan basa halus (bahasa yang lemut). Contonya tiang (saya), pelinggih (“kamu” untuk yang lebih tua), mindah (tidak tahu), sampun (sudah). Sedangkan ketika berbicara dengan yang lebih muda menggunakan bahasa sasak biasa, seperti aku, kamu, deq taon (tidak tahu), uwah (sudah). Memang dalam bahasa sasak sendiri memiliki tingkatan bahasa yang digunakan sesuai dengan lawan berbicaranya.
Pendidikan Tate Krame diperlukan untuk menumbuhkan sikap peduli masyarakat terhadap budayanya sendiri. Ketika kepedulian sudah hilang, maka kebudayaan yang hanya mengikuti dari belakang pun akan hilang juga, karena kebudayaan tidak akan dapat lestari dan terjaga tanpa ada masyarakat yang ber- Tate Krame yang bisa menjaganya. Setelah melihat bagaimana realita yang terjadi dalam masyarakat suku sasak saat ini, dan sudah tentu dapat kita saksikan lansung buktinya dalam kehidupan sehari-hari bahwa kebudayaan suku sasak mulai luntur karena minat generasi muda untuk mempelajari budayanya sudah mulai terkikis oleh arus zaman modern ini. Generasi muda seolah acuh tak acauh terhadap kebudayaan sukunya sendiri. Sudah tidak ada kesopanan dan ketaatan terhadap aturan.
“ Kebudayaan suku sasak masih cukup kuat di Lombok Timur, tapi kalau melihat di Kota Mataram yang sudah lebih berkembang dari Lotim, budaya suku sasak disini sudah mulai luntur oleh perkembangan zaman kearah yang lebih modern” jawab Baiq Azizaturrahmi mahasiswi di Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Tidak hanya Iza, Idil Udhiyah seorang mahasiswa FKIP Prodi PPKn di Universitas yang sama, juga memberikan tanggapan yang sama tentang budaya suku sasak ini, “ Keadaan suku sasak sekarang ini sudah terbawa arus negative, yang seharusnya sejalan dengan nilai-nilai agama, malah menjadi bertolah belakang” tuturnya. Dari keterangan yang diberikan oleh kedua mahasiswi tersebut sudah sebagai bukti sudah tergerusnya kebudayaan suku sasak di zaman ini.
“Pendidikan tentang Tate Krame sangat penting untuk menjaga dan memajukan kebudayaan suku sasak, seperti di SD dulu kami masih mendapatkan pelajaran muatan local, yang mengajarkan kami tentang budaya sasak, seperti bahasa halus, masakan khas daerah, kebudayaan daerah, sedangkan setelah memasuki SMP dan SMA, sudah tidak ada lagi dalam mata pelajaran. Sehingga dapat dikatakan, budaya sasak sudah luntur karena tidak ada pendidikan yang mendukung untuk berkembang dan bertahannya suku sasak pada zaman yang modern ini.” Tambah Iza ketika diwawancara.
“pendidikan tidak hanya bisa menjaga kebudayaan agar tidak luntur, namun pendidikan juga bisa memajukan kebudayaan untuk lebih berkembang” tutur Nurbaiti, mahasiswi Prodi PPKn FKIP di Universitas Mataram.
Tergerusnya kebudayaan ini disebabkan oleh sikap dari berbagai pihak yang bertanggung jawab, untuk memberikan sarana kepada masyarakat untuk dapat mengenal kebudayaan daerahnya tidak ada. Oleh karena itu, anak-anak zaman sekarang tidak tahu banyak tentang budayanya sendiri. Sarana yang dibutuhkan untuk mengenalkan kebudayaan suku sasak adalah lewat pendidikan Tate Krame. Apabila pendidikan Tate Krame adat diberikan sejak bangku sekolah, maka nilai-nilai dan konsep Tate Krame adat tersebut akan tertanam dalam hati dan pikiran anak.
Harus adanya upaya yang serius dari pemerintah secara umum dan pemerintah Provinsi NTB khususnya untuk mengatasi masalah ini. Misalkan dengan memberlakukan kurikulum yang khusus memperlajari kebudayaan sesuai daerah masing-masing, yang jika di Lombok menjadi Pendidikan Tate Krame. Penanaman karakter cinta daerah ditumbuhkan sejak dini melalui pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H