Mohon tunggu...
Humaniora

Pendidikan Tate Krame Suku Sasak untuk Melestarikan Budaya Suku Sasak

8 April 2016   19:08 Diperbarui: 8 April 2016   19:45 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tate Krame dibagi dalam 2 bentuk yakni tate krame dalam bertingkah laku dan dalam berbahasa. Adat dalam bertingkahlaku sudah memiliki awig-awig adat (aturan-aturan adat) tersendiri yang mesti dilakukan. Misalkan dalam Betemoe (bertamu), masyarakat adat suku sasak akan mengucapkan salam terlebih dahulu didepan rumah, dan tidak akan masuk apabila belum ada jawaban dari pemilik rumah dan dipersilakan untuk masuk. Kemudian ketika disajikan makanan atau minuman harus dihabiskan, untuk menghormati pemilik rumah yang telah menghidangkannya. Selain itu, ada juga adat dalam Midang (bertemu dirumah pacar) atau dalam bahasa ngetrennya saat ini, pergi ngapelin pacar kerumahnya. Dalam midang ini, apabila laki-laki dating untuk menemui kekasihnya harus ditemani oleh orangtua dari perempuan, ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fitnah. Ketika bertemu pun, laki-laki dan perempuan tidak bisa saling melihat lansung, karena haruslah dihalangi pandangannya, entah itu oleh tembok rumah, kayu papan, kain dan lain sebagainya.

Sedangkan Tate Krame dalam berbahasa harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan lawan bicaranya, misalkan ketika berbicara dengan seseorang yang lebih tua dan memiliki strata yang lebiih tinggi menggunakan basa halus (bahasa yang lemut). Contonya tiang (saya), pelinggih (“kamu” untuk yang lebih tua), mindah (tidak tahu), sampun (sudah). Sedangkan ketika berbicara dengan yang lebih muda menggunakan bahasa sasak biasa, seperti aku, kamu, deq taon (tidak tahu), uwah (sudah). Memang dalam bahasa sasak sendiri memiliki tingkatan bahasa yang digunakan sesuai dengan lawan berbicaranya.

Pendidikan Tate Krame diperlukan untuk menumbuhkan sikap peduli masyarakat terhadap budayanya sendiri. Ketika kepedulian sudah hilang, maka kebudayaan yang hanya mengikuti dari belakang pun akan hilang juga, karena kebudayaan tidak akan dapat lestari dan terjaga tanpa ada masyarakat yang ber- Tate Krame yang bisa menjaganya. Setelah melihat bagaimana realita yang terjadi dalam masyarakat suku sasak saat ini, dan sudah tentu dapat kita saksikan lansung buktinya dalam kehidupan sehari-hari bahwa kebudayaan suku sasak mulai luntur karena minat generasi muda untuk mempelajari budayanya sudah mulai terkikis oleh arus zaman modern ini. Generasi muda seolah acuh tak acauh terhadap kebudayaan sukunya sendiri. Sudah tidak ada kesopanan dan ketaatan terhadap aturan.

“ Kebudayaan suku sasak masih cukup kuat di Lombok Timur, tapi kalau melihat di Kota Mataram yang sudah lebih berkembang dari Lotim, budaya suku sasak disini sudah mulai luntur oleh perkembangan zaman kearah yang lebih modern” jawab Baiq Azizaturrahmi mahasiswi di Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Tidak hanya Iza, Idil Udhiyah seorang mahasiswa FKIP Prodi PPKn di Universitas yang sama,  juga memberikan tanggapan yang sama tentang budaya suku sasak ini, “ Keadaan suku sasak sekarang ini sudah terbawa arus negative, yang seharusnya sejalan dengan nilai-nilai agama, malah menjadi bertolah belakang” tuturnya. Dari keterangan yang diberikan oleh kedua mahasiswi tersebut sudah sebagai bukti sudah tergerusnya kebudayaan suku sasak di zaman ini.

 “Pendidikan tentang Tate Krame sangat penting untuk menjaga dan memajukan kebudayaan suku sasak, seperti di SD dulu kami masih mendapatkan pelajaran muatan local, yang mengajarkan kami tentang budaya sasak, seperti bahasa halus, masakan khas daerah, kebudayaan daerah, sedangkan setelah memasuki SMP dan SMA, sudah tidak ada lagi dalam mata pelajaran. Sehingga dapat dikatakan, budaya sasak sudah luntur karena tidak ada pendidikan yang mendukung untuk berkembang dan bertahannya suku sasak pada zaman yang modern ini.” Tambah Iza ketika diwawancara.

“pendidikan tidak hanya bisa menjaga kebudayaan agar tidak luntur, namun pendidikan juga bisa memajukan kebudayaan untuk lebih berkembang” tutur Nurbaiti, mahasiswi Prodi PPKn FKIP di Universitas Mataram.

Tergerusnya kebudayaan ini disebabkan oleh sikap dari berbagai pihak yang bertanggung jawab, untuk memberikan sarana kepada masyarakat untuk dapat mengenal kebudayaan daerahnya tidak ada. Oleh karena itu, anak-anak zaman sekarang tidak tahu banyak tentang budayanya sendiri. Sarana yang dibutuhkan untuk mengenalkan kebudayaan suku sasak adalah lewat pendidikan Tate Krame. Apabila pendidikan Tate Krame adat diberikan sejak bangku sekolah, maka nilai-nilai dan konsep Tate  Krame adat tersebut akan tertanam dalam hati dan pikiran anak.

Harus adanya upaya yang serius dari pemerintah secara umum dan pemerintah Provinsi NTB  khususnya untuk mengatasi masalah ini. Misalkan dengan memberlakukan kurikulum yang khusus memperlajari kebudayaan sesuai daerah masing-masing, yang jika di Lombok menjadi Pendidikan Tate Krame. Penanaman karakter cinta daerah ditumbuhkan sejak dini melalui pendidikan.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun