Pas, ketika itu akhir pekan alias malam-minggu, dia datang sekitar jam 3:00 PM. Rumah berkaca bertingkat Wisma Kalla pun mulai menurun silaunya. Hampir semua kendaraan ramai memboncing dengan pasangan masing-masing. Orang terlihat badaki pun cerah kelihatannya saat orang lain memperhatikan mereka.Â
Saya tahan tekanan untuk membuang tangan hanya untuk memegang wanita permai Makassar.Â
Kami berdua menjabarkan, hari ini adalah hari yang unspeakable dengan kata-kata berwarna-warni. Mungkin ini adalah sesuatu keanehan terjadi dalam sejarah kami pada hari ini. Sambil berjalan keliling kota Makassar. Cuaca yang terpuji kami tidak jauh dari kata lapar dan haus.Â
Kami mulai lelah. Akhirnya.
Waktunya cari tempat makan. Kami pilih ke Pantai tadi yakni Karebosi. Jangankan hari itu juga hari, dimana masyarakat berbondong-bondong kesana sambil menanti tanggal merah bagi umat Nazrani.
Sampai di Pantai, langsung menuju ke Kakak-kakak tadi (tukang2 bakso). Kak tolong berikan kami dua porsi bakso dan dua gelas kopi hitam? tanya saya dengan berani.Â
Setelah menikmati hidangan, kami mulai jalan-jalan melihat pameran di sekitaran Pantai tersebut.Â
Nogei sudah bayar ka belum? tanya Nogei ke saya.Â
Saya sudah bayar satu bulan yang lalu. Â jadi makanmu juga tidak usah bayar, aman! jawab balik ke nogei.
Jarum jam pendek pas pada 10:00, pameran-pameran dari berbagai kalangan mulai ramai memamerkan produk-produk muthakir. Tidak hanya itu panggung nyanyi, permainan, tawaran berbagai bahan bermanfaat maupun merugikan sudah mulai abu naik.Â
Oh Iya... dalam penawaran, sementara kami berdua lagi sambil asyik nonton adengan ular yang dilakukan oleh para remaja, segera datang wanita berkhas orang Makassar, kalau tebakan kira-kira mereka adalah umurnya masih pemetikan bunga. Hampir mereka adalah kulitnya putih, wajahnya tertarik. Tanpa mandi pun hahaa. Â Perempuan cantik dua itu langsung ajak kami keluar dari area adengan ular tersebut itu. Mereka mengenalkan identitasnya dan kami berdua pun sebaliknya. Kami pun sama-sama duduk bertukar pikiran.Â