Mohon tunggu...
Noperman Subhi
Noperman Subhi Mohon Tunggu... ASN -

Noperman Subhi, S.IP, M.Si, lahir di Pagaralam (Sumsel) 13 november 1969. Lulus S1 Ilmu Pemerintah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan S2 Magister Administrasi Pendidikan di Universitas Sjakhyakirti. Sekarang Sebagai ASN di Dinas Pendidikan Sumsel. Aktif menulis artikel dan cerita Pendek. Karya tulis yang pernah diterbitkan, “Musim Kopi dan Gaya Hidup” (2001), “Jas Biru Dewan” (2002) dan “Memotret Guru Dari Kejauhan” (2016), “20 Kegagalan Menembus Publikasi” (2017) dan “Motor Matik Milik Bapak (2017).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran Ulama Dulu dan Sekarang

13 November 2017   07:58 Diperbarui: 13 November 2017   09:20 3246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Ulama dapat juga diartikan sebagai pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. dalam Ensiklopedia Sejarah Islam dijelaskan bahwa ulama adalah golongan orang-orang yang ahlinya dalam bidang agama khususnya dalam bidang tafsir, fikih, hadis, usuluddin dan segala cabang ilmu Islam. Menurut M. Quraish Shihab, ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun Quraniyah dan mengantarnya kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, takwa, dan khasysyah (takut) kepada-Nya.

Ada 3 ciri atau sifat ulama, yaitu :  Pertama, paling takut kepada Allah. "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama" (QS. Fathir: 28), karena ia dianugerahi ilmu, tahu rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham hak dan batil, kebaikan dan keburukan, dan sebagainya. Kedua, berperan sebagai "pewaris nabi" (waratsatul ambiya'). "Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi" (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)."  Ketiga,terdepan dalam dakwah Islam, menegakkan 'amar ma'ruf nahyi munkar, menunjukkan kebenaran dan kebatilan sesuai hukum Allah, dan meluruskan penguasa yang zhalim atau menyalahi aturan Allah.

Di Indonesia saat ini ditemukan adanya dua kelompok umat Islam yang sikapnya bertentangan dalam mengamalkan Islam dalam kehidupannya sehari-hari : Pertama, kelompok yang terlalu fanatik kepada ulama (biasa mereka sebut kiyai atau ustad). Mereka ini mengikuti apa yang di ucapkan ulama tanpa ada lagi sikap kritis dan melihat apa yang diucapkan ulama itu benar berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW ataupun salah, bahkan bisa jadi itu suatu kesesatan jika mereka tetap mengikutinya.  Mereka tidak mau lagi mendengarkan dan menerima pendapat ulama yang bertentangan dengan pendapat ulama yang mereka hormati.

Kedua,  kelompok yang menganggap ajaran atau fatwa ulama layaknya mendengarkan atau melihat ucapan dan omongan politisi, pengamat atau artis. Bahkan jika ada suatu fatwa atau masalah yang terjadi, yang dimintai pendapat atau menjadi rujukan mereka mensikapinya, bukannya pedapat ulama tapi pengamat atau artis yang tidak memiliki ilmu agama yang memadai dan tidak mengetahui dasar dan dalil dikeluarkannya fatwa tersebut. Sikap kedua kelompok yang saling bertentangan ini merupakan sikap yang tidak diajarkan oleh Islam kepada umatnya. Islam adalah agama yang sangat membenci sikap berlebih-lebihan dalam beragama dan Islam juga melarang umatnya untuk lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari.

Tindakan yang benar dalam menyikapi adanya dua kelompok umat Islam yang saling bertentangan (dan dianggap sebagai sikap tercela) adalah berada di posisi tengah-tengah, yaitu tidak berlebihan mengagungkan ulama sampai dianggap sakti luar biasa dan menganggap ulama tidak pantas disalahkan. Sebaliknya tidak juga bersikap melecehkan ulama. Sepeninggal Rasulullah tidak ada satu pun umat yang terbebas dari kesalahan (ma'sum). Begitu pula bagi para orang alim seperti ulama.

Apabila ada seorang ulama salah berpendapat, maka sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk mengingatkan kesalahannya dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ada ulama yang telah meninggal dunia ternyata salah pendapat, maka hendaknya umat Islam tidak mengikuti pendapatnya yang salah tersebut dan tetap memanfaatkan ilmunya yang benar serta  mendo'akan kepada Allah SWT agar mencurahkan rahmat kepadanya.

Dalam literatur sejarah, masuknya Islam ke Indonesia diidentikkan dengan penyebaran agama oleh bangsa Arab, Persia, ataupun Gujarat. Namun ada penemuan lain yang menyatakan bahwa Islam Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Pada abad 13 M berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, ada fenoma kehadiran Wali Songo, yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia.

Wali Songo mengembangkan dakwahnya melalui perdagangan, pernikahan, pesantren (pendidikan), Seni budaya dan tasawwuf atau Sufisme.  Ada dua penyebaran agama Islam yang dianggap istimewa di Indonesia. Pertama,  hadirnya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berakal dari budaya indonesia, mengadopsi serta beradaptasi dengan khasanah budaya pra Islam yang tidak melenceng dari nilai-nilai Islam. Kedua, wayang dan lagu tradisional.

Wayang dijadikan media dakwah oleh Walisongo dengan cara mewarnai wayang dengan nilai-nilai Islam seperti mengajarkan kesamaan derajat manusia (egaliterialisme) di hadapan Allah SWT dan hadirnya tokoh-tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Walisongo juga menggubah lagu-lagu tradisional dalam langgam Islami. Ini membuktikan bahwa nasyid sudah ada di zaman walisongo. Penyebaran dengan cara seperti ini membuktikan bahwa Islam sangat menghargai budaya lokal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan yang tidak bisa di anggap sepele adalah terbentuk dan adanya tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.

Pada tahun 1601 Belanda datang Ke Indonesia  dengan tujuan awal hanya ingin melakukan hubungan perdagangan, tetapi setelah melihat potensi Indonesia yang begitu kaya sumber daya alamnya, akhirnya Belanda menjajah Indonesia. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah Islam terhenti. Kedatangan Belanda telah merubah fungsi pesantren dari lembaga pendidikan menjadi a centre of anti Ducth (pusat pembangkit anti belanda) dan mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan.

Ulama-ulama seketika menggelorakan Jihad melawan kaum kafir Belanda dan ulama lah yang menjadi panglima perangnya. Para santrinya menjadi pasukan yang siap melawan penjajah Belanda, Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda adalah para ulamanya. Ulama juga berjuang melalui lembaga-lembaga yang mereka dirikan seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama (NU), Persis  dan lembaga yang lainnya. Lembaga-lembaga ini akhirnya mengabungkan diri dalam MIAI (Majelis Islam 'Ala Indonesia) yang kemudian berubah bernama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).

Di masa penjajahan Jepang, selain membentuk kementerian Sumubu (Departemen Agama), strategi yang dipakai untuk membendung perjuangan ulama-ulama dan para santrinya adalah meneruskan strategi yang dilakukan Belanda. Jepang memotong koordinasi antara ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa kurang informasi, akibatnya membuat umat Islam dapat dibodohi dan pengaruh ulama terhadap umat Islam tidak besar lagi.

Pasca kemerdekaan, apalagi di era orde baru, peranan ulama tidak seheroik dimasa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Peran ulama hanya berkutat pada majelis ta'lim, rumah-rumah ibadah atau lembaga pendidikan. Mereka terpaksa mengambil posisi memisahkan diri dari kekuasaan dan politik. Akibatnya ulama tidak mampu lagi memberikan konstribusi bagi perubahan masyarakat dan negara. Ulama terlalu asyik dengan ibadah-ibadah ritual.  Ada pula ulama yang sudah terkooptasi oleh pemerintah kufur dan antek-anteknya. Mereka rela menjual agamanya untuk kepentingan dunia dan memenuhi keinginan kaum kafir. Ada pula yang bertingkah layaknya seorang artis yang mengejar popularitas dan materi duniawi.

Di era reformasi yang mengagung-agungkan kebebasan berpendapat, membuat posisi ulama saat ini tidak berdaya dan mengalami masa sulit. Mereka bukannya dihormati tetapi sebaliknya dilecehkan. Ini terbukti dengan adanya fitnah dan kriminalisasi bagi ulama-ulama yang berani memasuki wilayah politik dan berseberangan dengan penguasa dan pengusaha. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas-jelas keberadaannya diakui negara dan memiliki hak sah untuk mengeluarkan fatwa akan berhadap dengan negara apabila fatwanya berani mengutak-atik politik atau kepentingan pemerintahan.

Penyataan yang dianggap menyesatkan apabila ada pejabat di negeri ini yang berpendapat fatwa yang dikeluarkan MUI berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan dan ketertiban nasional seperti menimbulkan keresahan dan sikap intoleransi dan juga akan mengancam kebinekaan, terutama ancaman yang sangat sensitif yaitu keagamaan. Sejahatkan itukah para ulama di MUI terhadap negara ini dan sebodoh itukah pikiran yang ada pada diri ulama yang berlatar belakang berbeda antara satu dengan yang lain, baik lembaga maupun latar pendidikan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya.

Yang lebih mencengangkan, adanya niatan pemerintah untuk melakukan sertifikasi ulama, khususnya bagi penceramah agama. Dengan demikian pemerintah berharap nantinya seorang ulama memiliki kualifikasi cukup. Nantinya, apabila dilanggar oleh ulama, maka dia tidak boleh berdakwah lagi. Niatan ini dianggap sebagai sebuah pembatasan gerak dakwah di Indonesia dan cara ini disinyalir merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh orang-orang yang anti Islam melalui Menteri Agama.  

Bukannya sikap yang salah apabila ada banyak ekpresi kemarahan yang ditampilkan oleh umat Islam dari seluruh Indonesia yang menjaga kehormatan ulamanya yang di zolimi. Apalagi terhadap sosok ulama yang selalu komitmen dengan nilai-nilai keadaban, kesantunan, moderasi dan ketaatan pada hukum, mengerti politik, politik kebangsaan dan keumatan. Orang-orang beriman pasti menghormati ulama dan sebaliknya, orang-orang tanpa iman akan melecehkan ulama. Ulama wajib dihormati karena kemuliaan, ilmu, dakwah dan kedekatannya kepada Allah SWT serta kesungguhannya dalam menapaki sunnah nabi yang mulia. Apabila ada orang-orang yang merasa tidak tersinggung saat ulamanya di hina dan dinistakan, pasti dia ada penyakit dihatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun