Di masa penjajahan Jepang, selain membentuk kementerian Sumubu (Departemen Agama), strategi yang dipakai untuk membendung perjuangan ulama-ulama dan para santrinya adalah meneruskan strategi yang dilakukan Belanda. Jepang memotong koordinasi antara ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa kurang informasi, akibatnya membuat umat Islam dapat dibodohi dan pengaruh ulama terhadap umat Islam tidak besar lagi.
Pasca kemerdekaan, apalagi di era orde baru, peranan ulama tidak seheroik dimasa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Peran ulama hanya berkutat pada majelis ta'lim, rumah-rumah ibadah atau lembaga pendidikan. Mereka terpaksa mengambil posisi memisahkan diri dari kekuasaan dan politik. Akibatnya ulama tidak mampu lagi memberikan konstribusi bagi perubahan masyarakat dan negara. Ulama terlalu asyik dengan ibadah-ibadah ritual. Ada pula ulama yang sudah terkooptasi oleh pemerintah kufur dan antek-anteknya. Mereka rela menjual agamanya untuk kepentingan dunia dan memenuhi keinginan kaum kafir. Ada pula yang bertingkah layaknya seorang artis yang mengejar popularitas dan materi duniawi.
Di era reformasi yang mengagung-agungkan kebebasan berpendapat, membuat posisi ulama saat ini tidak berdaya dan mengalami masa sulit. Mereka bukannya dihormati tetapi sebaliknya dilecehkan. Ini terbukti dengan adanya fitnah dan kriminalisasi bagi ulama-ulama yang berani memasuki wilayah politik dan berseberangan dengan penguasa dan pengusaha. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas-jelas keberadaannya diakui negara dan memiliki hak sah untuk mengeluarkan fatwa akan berhadap dengan negara apabila fatwanya berani mengutak-atik politik atau kepentingan pemerintahan.
Penyataan yang dianggap menyesatkan apabila ada pejabat di negeri ini yang berpendapat fatwa yang dikeluarkan MUI berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas keamanan dan ketertiban nasional seperti menimbulkan keresahan dan sikap intoleransi dan juga akan mengancam kebinekaan, terutama ancaman yang sangat sensitif yaitu keagamaan. Sejahatkan itukah para ulama di MUI terhadap negara ini dan sebodoh itukah pikiran yang ada pada diri ulama yang berlatar belakang berbeda antara satu dengan yang lain, baik lembaga maupun latar pendidikan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya.
Yang lebih mencengangkan, adanya niatan pemerintah untuk melakukan sertifikasi ulama, khususnya bagi penceramah agama. Dengan demikian pemerintah berharap nantinya seorang ulama memiliki kualifikasi cukup. Nantinya, apabila dilanggar oleh ulama, maka dia tidak boleh berdakwah lagi. Niatan ini dianggap sebagai sebuah pembatasan gerak dakwah di Indonesia dan cara ini disinyalir merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh orang-orang yang anti Islam melalui Menteri Agama.
Bukannya sikap yang salah apabila ada banyak ekpresi kemarahan yang ditampilkan oleh umat Islam dari seluruh Indonesia yang menjaga kehormatan ulamanya yang di zolimi. Apalagi terhadap sosok ulama yang selalu komitmen dengan nilai-nilai keadaban, kesantunan, moderasi dan ketaatan pada hukum, mengerti politik, politik kebangsaan dan keumatan. Orang-orang beriman pasti menghormati ulama dan sebaliknya, orang-orang tanpa iman akan melecehkan ulama. Ulama wajib dihormati karena kemuliaan, ilmu, dakwah dan kedekatannya kepada Allah SWT serta kesungguhannya dalam menapaki sunnah nabi yang mulia. Apabila ada orang-orang yang merasa tidak tersinggung saat ulamanya di hina dan dinistakan, pasti dia ada penyakit dihatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H