Pernyataan kakak tingkat saya dalam sebuah komentar mengelitik saya. Tak perlu saya sebutkan ia siapa dan kini condong pada apa.
“Gak ada umat Islam yang anti Pancasila selama Pancasila tidak melanggar hukum Allah.”
Dan sejak kapan Pancasila melanggar hukum Allah? Coba simak bait Pancasila berikut dan bandingan dengan apa yang ada di Al Qur’an dan khadist. Adakah yang bertentangan? Adakah yang melanggar hukum Allah?
Sila kedua berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini selaras dengan firman Allah surat Al Hujarat: 11 dan surat Al Maidah: 2. Di dalam dua ayat itu Allah melarang mengolok-olok orang lain serta memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Coba banyangkan, seorang muslim saja di larang mengolok-olok. Karena mengolok-olok sendiri adalah bentuk tindakan kecil yang terlihat sederhana yang bertentangan dengan kemanusia, apalagi terhadap tindakan lain yang lebih besar tentu Allah melarangnya. Sila kedua ini kemudian diperjelas dalam salah satu butir pancasila yang berbunyi mengakui dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Apakah Islam tidak mengajarkan pada umatnya hal yang sama sebagaimana yang terjabarkan dalam pancasila sila kedua itu?
Sila ketiga berbunyi, “Persatuan Indonesia”. Sila ini selaras dengan firman Allah Surat Al Hujarat:10 dan 13, yang menyatakan bahwa mukmin satu dengan mukmin lain adalah saudara. Pada ayat ke-13, Allah menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk laki, perempuan berbeda suku dan bangsa agar supaya mereka saling mengenal. Sila ketiga ini kemudian dijabarkan dalam butir-butir pancasila salah satunya Mengembangkan persataun Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Eka. Apakah Allah memerintahkan kita memusuhi saudara muslim kita? Apakah Allah pernah memerintahkan memerangi nonmuslim jika ia tidak mengganggu dan menzalimi kita? Bukankah justru Nabi bisa hidup damai berdampingan bersama nonmuslim di Madinah?
Sila keempat berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpian oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Sila ini selaras dengan firman Allah, ayat Assyuro: 38. Melalui ayat itu Allah memerintahkan kepada umat muslim untuk bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara. Sila keempat ini kemudan dijabarkan dalam butir pancasila, salah satunya mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan demi kepentingan bersama. Seringkali kita jumpai dalam suatu perkara, Nabi Muhammad terlebih dahulu meminta pendapat sahabatnya. Bukan berarti Nabi tidak mampu memutuskan perkara itu sendiri, tapi nabi Muhammad ingin mengajarkan pada ummatnya pentingnya musyawarah.
Sila kelima berbunyi, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ini selaras dengan firman Allah Surat Adzaariyat: 19 yang berisi pernjelasan bahwa pada setiap harta terdapat sebagian harta yang merupakan hak orang miskin. Sila kelima ini kemudian dijabarkan dalam butir-butir pancasila, diantaranya adalah menyeimbangkan hak dan kewajiban. Dan sebagaiman perintah Allah dalam ayat tersebut, maka menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk menyalurkan sebagain harta kita kepada orang miskin dan mereka yang berhak menerimanya.
Berdasarkan sisi sejarah, Pancasila juga tidak melanggar hukum Allah. Memang rumusan awal Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Ir. Soekarno, namun dalam perjalanan waktu ada perubahan-perubahan yang terjadi. Pancasila yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno, nilai ketuhanan berada di sila kelima. Kemudian oleh panitia sembilan (PPKI) susunan asas itu dan kalimatnya pun di rubah. PPKI sendiri terdiri dari Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, AA. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad, Soebardjo, Wahid Hasyim (putra pendiri NU), dan Muhammad Yamin. Hasil sidang itu kemudan diberi nama Piagam Jakarta lantas diserahkan keada BPUPKI.
Disinilah mulai terjadi perselisihan, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukanya, mendapat pertentangan dari sejumlah tokoh nonmuslim karena Indonesia tidak hanya terdiri dari orang Islam saja. Panitia kemudian memutuskan merubah bunyi sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hasil akhir dari sidang tersebut kita kenal sebagai Pancasila Dasar Negara Indonesia. Dan semua ulama dimasa itu hingga masa kini sepakat mengakui Pancasila sebagai dasar negara ideologi bangsa. Karena mereka adalah muslim yang berkewarganegaraan Indonesia, dan tidak adalah alasan untuk menolak Pancasila karena nilai dari pancasila tidak ada yang bertentangan dengan Islam.
Dari penjelasan di atas, saya ingin mengajukan pertanyaan lagi. Apakah Pancasila Sebagai Dasar Negara Melanggar Hukum Allah?
Jika yang dimaksud kakak tingkat saya itu bukan pancasilanya melainkan individu warga itu sendiri yang melanggar hukum Allah, maka mengapa pula mengusulkan amandemen Indonesia (mungkin yang dimaksud UUD, anggap aja gitu). Bukankah titik kesalahan berada pada individu bukan Pancasila dan UUD? Seharusnya yang dirubah adalah individunya dengan cara pendidikan. Jika ia islam, didik ia dengan baik, masukkan ke Pondok Pesantren. Tapi hati-hati juga memilih pesantren, karena banyak juga sekarang ini pesantren non Aswaja tapi ngaku-ngaku Aswaja. Pesantren yang benar-benar menerapkan Ahlissunnah Wal Jamaah tidak mungkin menghimbau maupun mengajarkan santrinya untuk membenci ulama, melakukan kekerasan, menolak pancasila apalagi menjadi terorisme.