"Aku mencintaimu dan setelah selesai wisuda nanti aku akan melamarmu," Lutfi tersenyum manis menggenggam tanganku.
Sementara aku tengah merasakan nikmatnya wangi tubuh dan rambutnya yang masih setengah basah sepanjang Maloboro senja menjelang malam Minggu.
Kurengkuh pinggang dan merasakan hangatnya punggung bidang yang setahun belakang ini menjadi sandaranku. Terasa beban akan urusan rumah di kampung sekejap hilang.
"Mama akan bercerai dengan papamu! Semua sudah kami pikirkan matang-matang...dan kamu sudah kami rasa cukup dewasa jadi jangan kamu sesali apa yang terjadi dalam keluarga kita..." ucapan mama kemarin saat menelephone kostan aku membuat aku terdiam seribu bahasa.
Pupus sudah aku mewujudkan keluarga yang sempurna. Anak yang terlahir dari keluarga bahagia hanya cerita lalu.
"Ris, mau bermain ke Beringin Kembar?" Lutfi suka sekali mencoba menerobos beringin kembar yang ada di alun-alun Selatan setelah panjang jalan Malioboro.
"Hmmm boleh tapi aku ingin duduk-duduk di warung cendol dulu depan Mirota...aku haus Lut..."
"Siap Ndoro Puteri ..." katamu meledek. Itulah sebutan kamu kalau menyetujui mauku.
Menikmati es dawet menjelang sore Malioboro yang tidak pernah sepi, semilir angin sore menjadi bagian yang pasti akan aku rindukan berapa puluh ke depan bila aku tinggalkan kota tempat aku tempuh kuliah.
Aku merasa kalau Yogyakarta sebagai salah satu kota singgahan dalam perjalanan hidupku. Dan Lutfi apakah juga harus hanya menjadi salah satu singgahan setelah aku sebelumnya berpindah-pindah singgah dari hati ke hati  seorang pria?
Sungguh aku pun ingin mengiyakan dan memastikan pertanyaan Lutfi dan menjawab kalau aku serius menyayanginya dan berharap dia dalah persinggahan hati terakhir.
Tapi ini pastilah sangat sulit mengingat percakapan kamu yang tanpa sengaja aku dengar....
"Lut, kamu itu anak siji-siji-ne...kamu itu penerus usaha kami dan kamu itu sarjana teknik yang menjadi kebanggaan ibu. Ibu berharap kamu memikirkan Kartika yang calon dokter. Wis jelas bobot, bibit dan bebetnya..."Â Aku dengar jelas saat tanpa sengaja menguping dari balik sekat pembatas rak makanan kaleng di supermarket.
Lutfi memang mencoba mengenalkan aku dengan ibunya yang dokter juga pengusaha sukses.
Selama ini aku merasa sudah menjadi pacar terbaik buat Lutfi. Menguatkan saat dia terpuruk karena putus dengan Frizka dan aku hadir baginya tidak lagi sekedar sahabat.
Aku membiarkan bibit cinta ini semakin tumbuh subur. Apa yang barusan aku dengar merasa menohok hingga ulu hati. Aku tidak tahu persisi bobot, bibit, dan bebet yang bunda Lutfi harapkan.
Malioboro begitu ramai. Tapi aku merasa  begitu sepi di tengah ramainya kota yang selalu penuh kesan. Aku belum bisa bercerita keputusan final akan kedua orang tuaku yang bercerai. Karena aku tahu ini akan menambah beban pikiran Lutfi yang sebentar lagi akan sidang skripsinya.
Biarlah keramain Malioboro menutupi perasaanku yang gundah dan resah. Ramai Malioboro ekuivalen dengan rasa sepi hati yang tiba-tiba mendera. Lara sekali ....
Mengenang sesorang yang pernah singgah ... miss u Yogyakarta ... 1999 ...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI