Secara etimologi zakat berasal dari bahasa Arab yakni zaka yang berarti bersih, tumbuh, bertambah dan berkembang, berkat dan pujian. Adapun secara terminologi zakat adalah bagian tertentu dari harta tertentu yang dikeluarkan atau disalurkan dengan cara dan syarat-syarat tertentu kepada orang-orang atau lembaga tertentu. Zakat menurut istilah adalah mengeluaran kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat tertentu.
Sebagaimana Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: “Yahya bin Muhammad bin as-Sakam menyampaikan kepada kami dari Muhammad bin Jahdham, dari Ismail bin Ja‟far, dari Umar bin Nafi‟, dari ayahnya bahwa Ibnu Umar berkata, “Rasullah SAW mewajibkan zakat Fitrah sebesar 1 sha‟ kurma atau 1 sha‟ gandum kepada seluruh kaum Muslimin, baik orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun p erempuan, muda maupun tua. Beliau memerintahkan agar zakat ini ditunaikan sebelum orang- orang berangkat melaksanakan shalat (Ied).”( HR. Al- Bukhari).
Secara Umum, zakat terbagi dua, yaitu :
Pertama, Zakat Fitrah yaitu zakat jiwa yang diwajibkan atas setiap diri muslim yang hidup pada bulan ramadhan. Pada setiap Hari Raya Idul Fitri, setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, merdeka atau hamba, diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 3,1 liter atau 2.5 Kilogram dari makanan yang mengenyangkan menurut tiap- tiap tempat (negeri).
Kedua, Zakat Maal. Maal berasal dari kata bahasa Arab artinya harta atau kekayaan (al-amwal, jamak dari kata maal) adalah “segala hal yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimiliki” (Lisan ul-Arab). Menurut Islam sendiri, harta merupakan sesuatu yang boleh atau dapat dimiliki dan digunakan (dimanfaatkan) sesuai kebutuhannya. Dalam pengertiannya, zakat maal berarti zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
Muzakki sebagai mukallaf (yang mendapatkan kewajiban) perintah zakat dari Allah SWT tentu menginginkan apa yang diberikan, dikeluarkan maupun ditunaikan dapat menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim yang wajib zakat. Selain menginginkan gugurnya kewajiban tentu muzakki sebagai orang yang wajib zakat mengiginkan apa yang telah ditunaikannya dapat bermanfaat bagi mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Keinginan muzakki tersebut dapat dinilai dan dirasakan semua orang orang. Akan tetapi hanya bisa dirasakan masing-masing muzakki.
Berzakat bisa dikeluarkan sendiri atau diambil oleh pengelola zakat. Untuk membersihkan harta, jiwa dan hati dari sifat kekikiran. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Salah satu aspek bahwa untuk Mengetahui apakah zakat kita diterima oleh Allah SWT melibatkan aspek spiritual dan keikhlasan dalam beribadah. Jika memberikan zakat dengan niat yang tulus, sesuai syariah, dan dengan ikhlas untuk Allah, kita bisa yakin bahwa insyaallah Allah menerima amalan tersebut.
Selain itu, adanya sikap amal dengan konsistensi, berdoa, dan memperbaiki diri sebagai bentuk upaya untuk menjaga keikhlasan dan ketaatan. Melalui zakat seseorang Muzaki belajar bahwa apa yang dimiliki juga harus dibagikan kepada orang lain.
Agar muzakki dapat mengetahui tentang kewajiban zakat tentu ada cara yang harus dilakukan oleh lembaga pengelola zakat, yakni dengan meningkat literasi zakat. Literasi zakat dapat ditingkatkan melalui (Lihat Infografis).
Harta yang dikeluarkan muzakki adalah harta yang didapatkannya dari hasil pekerjaan baik formal, nonformal ataupun informal dalam arti apapun profesinya jika sudah mencapai nisab (ukuran/ketentuan minimal) wajib zakat. (Lihat Infografis)
Ketika muzakki mengeluarkan hartanya tentu muzakki ingin merasakan nikmat bahagia. Bahagia dalam arti bisa melakukan ibadah yang merupakan wajib dalam rukun Islam.
Berzakat tidak hanya memenuhi kewajiban agama pada rukun Islam, tetapi juga membawa berbagai kebahagiaan. Dengan berzakat, seseorang merasakan kepuasan batin karena berkontribusi dalam membantu sesama yang membutuhkan. Selain itu, perbuatan baik ini juga memperkuat ikatan sosial dan solidaritas di dalam masyarakat, menciptakan rasa keadilan, serta mendekatkan diri pada nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang.
Bahagia sebagai ketenangan jiwa, batin, hati dan sanubari seorang muzakki. Oleh karena itu, perasaan nikmat bahagia itu hanya bisa dirasakan oleh muzakki ketika hartanya, uang atau barangnya sudah berada ditangan mustahik. Bahagia bisa berbagi, bahagia bisa memberi, bahagia bisa menjadikan harta yang dimiliki bisa dinikmati orang lain.
Berzakat memberikan kebahagiaan melalui rasa memberi dan berbagi kepada sesama. Kehidupan menjadi lebih bermakna saat kita mampu membantu orang lain, meresapi kegembiraan mereka, dan menjadi bagian dari solusi terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Kebahagiaan tersebut juga terwujud melalui pemenuhan kebutuhan dasar orang-orang yang kurang beruntung, sehingga menciptakan lingkungan sosial yang lebih adil dan saling mendukung.
Untuk mendukung kebahagiaan berzakat. Muzakki harus mendapatkan informasi, motivasi, transparansi agar setelah sampai ketangan mustahik tepat dan bermanfaat. Terlebih jika manfaat itu mengentaskan kemiskinan. Bahkan mampu menjadikan mustahik (orang yang berhak menerima zakat) menjadi muzakki (orang yang menunaikan zakat).
Kebahagiaan yang dirasakan muzakki tentu bukan sekedar pernah melakukan ibadah zakat. Akan tetapi, mampu konsisten memahami kewajiban betapa sangat pentingnya berzakat dan betapa dianjurkannya berazakat kelembaga resmi, seperti BAZNAS/LAZ.
Mustahik ialah orang yang berhak menerima dana zakat. Tidak semua orang dapat menjadi mustahik, dalam firman Allah swt ada 8 (delapan) asnaf yang berhak mendapatkan zakat. Mustahik sebagai indikator penerima zakat menjadi penentu keberhasilan muzakki dapat menunaikan dan menggugurkan kewajiban zakatnya. Tanpa mustahik, muzakki pasti akan kesulitan menunaikan kewajibannya. (Mustahik Lihat Infografis).
Menyerahkan uang, harta atau barang yang bukan miliknya. Karena sebagian harta muzakki adalah hak mereka yang berhak. Didalam harta muzakki adalah kepemilikan yang harus disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Salah satu hal yang dapat dirasakan adalah nikmat bahagia mustahik. Yang mana tidak bisa seorang pun merasakannya. Kecuali mereka yang merasakan rotasi kepemilikan harta, uang atau pun barang dari muzakki kepada mustahik.
Muzakki dan mustahik satu keterkaitan wajarlah sekaligus haruslah mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan mereka harus menjadi tujuan menjadi tujuan lembaga Zakat. Sebab jika Muzakki tidak mendapatkan kebahagiaan setelah menunaikan zakatnya melalui lembaga resmi. Tentu akan menjadi faktor penentu terhadap trust (kepercayaan )berzakat melalui lembaga.
Tujuan lembaga zakat tidak hanya untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dengan adil dan efisien, serta membantu masyarakat yang membutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Lembaga zakat juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan memberikan kontribusi positif dalam upaya pemberdayaan ekonomi umat.
Lembaga diharapkan menjadi pilihan utama muzakki menyerahkan mereka kepada lembaga amil zakat. Lembaga tersebut kemudian bertanggung jawab untuk mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin, Ibnu Sabil, fiisabilillah, Amil, garim dan asnaf lainnya, sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
Dalam rangka Lembaga zakat menciptakan pengelolaan zakat yang baik. Lembaga zakat memiliki tujuan, yaitu :
Profesionalisme Pengelolaan
Lembaga amil zakat memiliki keahlian dalam mengelola dana zakat dengan profesional dan efisien. Profesionalisme dalam lembaga zakat melibatkan manajemen yang efisien, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Lembaga zakat yang profesional biasanya memiliki sistem pengelolaan yang terstruktur, laporan keuangan yang jelas, serta mekanisme audit untuk memastikan dana zakat dikelola dengan tepat. Penting juga bagi lembaga zakat untuk berkomunikasi secara terbuka dengan masyarakat tentang pengumpulan dan distribusi zakat, sehingga membangun kepercayaan dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Salah satunya bentuk sikap profesional yaitu didoakan Amil pengelola zakat. Profesionalitas Amil dalam menjaga amanah Muzakki.
Transparansi melalui Sistem Informasi Manajemen Zakat Nasional
Hal ini menjadi kewajiban lembaga memberikan transparansi sistem penginputan zakat dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, memastikan bahwa dana disalurkan sesuai dengan ketentuan syariah dan kepada yang berhak. Melalui sistem ini maka akan lebih mudah dan terkordinir aktivitas pengelolaan zakat.
Agar Mustahik Tepat Sasaran
Lembaga berpotensi untuk meratakan distribusi zakat sehingga dapat mencakup berbagai kebutuhan dan wilayah, menghindari konsentrasi di satu tempat. Melalui mekanisme / metode penentuan Mustahik menjadi lebih tepat sasaran dan terarah. Lembaga zakat memberikan sarana untuk Muzakki. Agar bisa sesuai syariah. Bahkan tujuan lembaga zakat membantu Muzakki dalam memudahkan ibadah zakat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Zakat ke lembaga Anjuran Agama dan Undang-undang
Sejarah mencatat zakat telah terbukti baik pada masa Nabi, sahabat dan masa Umar bin Abdul Aziz dapat mensejahterakan masyarakat. Keberhasilan ini salahsatunya ditentukan oleh pengelolaan zakat yang baik sehingga memberikan dampak yang baik pula bagi masyarakat. Pengelolaan zakat tidak terlepas dari adanya Amil atau lembaga khusus yang fokus dan profesional dalam mengelola zakat. Melalui Lembaga zakat dapat dideteksi potensinya. Dapat diketahui jumlah muzakki, maupun Mustahik. Hal inilah yang mendasari tujuan didirikannya lembaga pengelola zakat.
Zakat dimasa Umar bin Abdul Azis menjadi contoh sejarah Islam bahwa zakat (termasuk zakat pendapatan) ditetapkan oleh Khalifah (pemimpin) dan bersifat wajib. Kebijakan ini berdampak pada melimpahnya dana dibaitul maal yang digunakan pemerintah untuk membantu fakir miskin. Artinya dana zakat berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat sampai beberapa waktu telah lalu. Melalui lembaga zakat, maka zakat lebih terkelola, terhimpun, terdistribusikan terkendali, tercatat dan terlapor.
Selanjutnya, berzakat kelembaga dianjurkan bahkan dipertegas oleh terbitnya undang-undang undangan. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian mengalami perubahan melalui UU Nomor 23 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2011
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut memberikan anjuran dan landasan hukum terkait pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa anjuran dan ketentuan dalam undang-undang tersebut antara lain:
Pembentukan Lembaga Pengelola Zakat: UU ini mendorong pembentukan lembaga pengelola zakat, seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), di tingkat nasional, serta lembaga serupa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan Lembaga Kelembagaan: UU ini memberikan landasan hukum untuk memberdayakan lembaga kelembagaan dalam mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat dengan baik dan efisien.
Transparansi dan Akuntabilitas: Undang-undang ini menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat. Lembaga kelembagaan diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan dan kinerja yang dapat diakses oleh masyarakat.
Berzakat ke Lembaga diaudit KAP (Kantor Akuntan Publik)
Audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) pada lembaga zakat bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana zakat. Proses audit melibatkan penilaian terhadap laporan keuangan, pengelolaan dana zakat, dan proses operasional lembaga zakat.
Berzakat diaudit syariah
Tidak hanya audit kantor akuntan publik. Berzakat kelembaga zakat juga dilakukan audit syariah. Audit syariah adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai kepatuhan suatu lembaga atau kegiatan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam Islam. Pada lembaga zakat, audit syariah berfokus pada aspek-aspek seperti kehalalan sumber dana, distribusi zakat sesuai ketentuan syariah, serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum Islam.
Audit Syariah memberikan keyakinan kepada pihak-pihak yang terlibat, termasuk muzakki, stakeholder, masyarakat bahwa mengetahui bahwa lembaga zakat beroperasi dengan mematuhi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah.
Selanjutnya, lembaga tidak hanya memiliki tujuan normatif. Lembaga zakat tentu harus memiliki tujuan menjadikan muzakki bahagia. Bahagia dengan harapan, bahagia dengan kepercayaan mereka menjadikan lembaga lebih transparan, kridibil dan akuntabil.
Muzakki Bahagia Terlayani
Pelayanan kepada muzakki, atau mereka yang memberikan zakat, melibatkan penyediaan informasi yang jelas tentang cara pengumpulan dan penggunaan dana zakat. Lembaga zakat seharusnya memberikan transparansi mengenai program-program yang didukung, dampak yang dicapai, serta laporan keuangan yang dapat diakses oleh muzakki.
Selain itu, memberikan pelayanan yang ramah dan responsif terhadap pertanyaan muzakki dapat memperkuat kepercayaan dan keterlibatan mereka dalam beramal. Komunikasi yang baik dapat membantu menjelaskan nilai dan urgensi zakat sebagai bentuk kewajiban sosial dan spiritual.
Pelayanan kepada muzakki juga mencakup memberikan panduan dan informasi yang jelas mengenai kriteria zakat serta cara perhitungan yang benar. Dengan memberikan edukasi ini, muzakki dapat lebih memahami kewajiban zakatnya dan memastikan bahwa amalan mereka sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, menjalin komunikasi terbuka dengan muzakki dapat membantu lembaga zakat untuk memahami kebutuhan dan harapan mereka. Dengan mendengarkan umpan balik, lembaga zakat dapat terus meningkatkan kualitas pelayanan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat.
Secara keseluruhan, pelayanan kepada muzakki tidak hanya sebatas administratif, melainkan juga mencakup aspek edukasi, komunikasi, dan keterlibatan aktif untuk memperkuat hubungan yang saling menguntungkan antara lembaga zakat dan muzakki.
Mustahik Bahagia Terlayani
Tujuan lembaga selanjutya adalah untuk mustahik. Mustahik harus dilayani, didampingi dan diberdayakan oleh zakat. Lembaga zakat tentu terdepan dalam penanganan agar mustahik bahagia, bukan sekedar menjadi obyek penyerahan zakat. Pelayanan kepada mustahik (mereka yang berhak menerima zakat) merupakan bagian penting dalam pelaksanaan zakat.
Pelayanan kepada mustahik dalam konteks zakat mencakup distribusi dana zakat secara adil dan efisien kepada mereka yang membutuhkan. Ini melibatkan pemilihan mustahik yang tepat sesuai kriteria syariah, serta pengorganisasian proses distribusi agar tepat sasaran. Lembaga zakat atau amil harus menjalankan tugasnya dengan transparan, memberikan informasi kepada muzakki (pemberi zakat) tentang bagaimana dana mereka digunakan. Dengan demikian, pelayanan kepada mustahik tidak hanya mencakup aspek materi, tetapi juga transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan zakat.
Oleh karena itu, tujuan lembaga zakat tidak hanya mengumpulkan dan membagikan dana zakat. Namun tujuan lembaga adalah membahagiakan masyarakat. Terutama Muzakki, berkah Lembaga yang baik akan mendapatkan kebahagiaan hati, jiwa dan batin dari Allah SWT atas nikmat yang dibagikannya. Begitu juga Mustahik mendapat Kebahagian telah terbantu urusan dunianya terlebih bahagia terbantu urusan akhiratnya.
Referensi :
- Pusat Kajian Strategis (Puskas BAZNAS), Standar Laboratorium Zakat, IIQ, Jakarta: T.tt.
- Tim Penulis Fiqih Zakat Kontekstual Indonesia, BAZNAS, Jakarta: 2018.
- https://baznas.go.id/zakatmaal Diakses Sabtu, 27 Januari 2024, Pukul 17.30 WITA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H