Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.1 Negara-negara Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalamsaling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut hingga sampai menimbulkan konflik antar negara.
Sebagaimana yang terjadi Maret 2024 lalu, Kapal Pasukan Penjaga Pantai Cina menembakkan meriam air ke kapal pasokan militer Filipina dan melukai empat awaknya. Dalam konferensi pers, Rabu, 6 Maret 2024, Satuan tugas Laut Cina Selatan Filipina mengatakan, meriam air memecahkan jendela kapal tersebut. Kapal Pasukan Penjaga Pantai Cina juga bertabrakan dengan kapal Filipina dalam misi pasokan rutin ke pos militer di Karang Second Thomas, Selasa, 5 Maret 2024.
Konflik juga terjadi antara RRC dan Vietnam. Kapal CCG 5901 milik Cina yang dijuluki monster  melakukan patroli intrusif di ladang minyak dan gas Vanguard Bank yang merupakan wilayah ekonomi eksklusif (ZEE) milik Vietnam. Hanoi telah mengeksplorasi wilayah itu dengan menggandeng mitra-mitra asing. Wilayah ini merupakan pula titik konflik antara Vietnam dan China.  Kapal Cina yang dikenal sebagai Zhong Guoa Hai Jing 3901 melakukan pola on-and-off di sebelah barat Vanguard Bank sejak 9 Desember 2023. Sebelumnya, kapal penegak hukum kedua negara juga pernah saling berhadapan pada tahun 2019.Â
Padahal Laut Cina Selatan merupakan jalur penting untuk sebagian besar pengiriman komersial dunia dengan beberapa negara terletak di bibir lautan itu seperti Brunei, Kamboja, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Lautan itu pun diyakini sebagai lautan yang kaya hasil alam, terutama migas dan ikan.
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan, setidaknya berdampak pada dua hal bagi Indonesia. Pertama, meningkatkan biaya dan mengganggu kelancaran transportasi logistik, baik dari luar maupun keluar Indonesia. Kedua, keselamatan kerja bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya  pelaut dan anak buah kapal (ABK) yang bekerja pada kapal asing di kawasan tersebut semakin tidak terjamin.
Mengenang perjalanan Wuryanto cs lima tahun lalu
Waryanto sebagai kapten dan enam ABK berpaspor Indonesia lainnya, yakni Oskar Raya Bitan, Zainal Haris, Endrayanto, Setiawan Zem Rente , Azzumar Sajidin, dan Sahbri bekerja di kapal Jixiang berbendera Sierra Leone yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran Taiwan. Kapal bermuatan gula dari Taichung dan Taipei, Taiwan, itu seharusnya berlayar menuju Hong Kong, namun kapten kapal diperintahkan memutar melalui Shanghai sehingga dianggap melakukan pelanggaran wilayah. Setelah melalui proses panjang dan desakan dari Konsulat Jenderal RI di Shanghai, pihak perusahaan akhirnya bersedia membayar denda yang ditetapkan oleh pihak Badan Keamanan Laut China (MSA) dan Imigrasi China sekitar lima tahun lalu, tepatnya Kamis, 9 Mei 2019sebagaimana diberitakan Antaranews.com, Senin 13 Mei 2019.
Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI (PPMI), termasuk yang berprofesi sebagai pelaut dan ABK. Indonesia pun telah meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 melalui UU No 15 Tahun 2016. Â Keduanya saling menguatkan dalam perlindungan pada aspek hukum, social dan ekonomi karena pelaut itu, ada yang di pelayaran, ada pula yang menjadi nelayan di perikanan. Â
Selain yang dialami Wuryanto cs di Sanghai itu, jauh sebelumnya  pernah pula terjadi pemulangan pelaut dari Cape Town dan beberapa negara lain. Mereka ditolak oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang sekarang sudah bertransformasi menjadi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) karena tidak mempunyai Standard Operational Processedure  (SOP) untuk menangani itu. Pada sisi lain, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan itu para pelaut itu bekerja pada kapal perikanan, bukan kapal niaga, penanganannya menjadi ranah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Akhirnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang saat itu dijabat oleh Gus Muhaimin Iskandar mengeluarkan surat pada tahun 2013, menegaskan siapa pun itu, mereka adalah PMI yang harus dilindungi. UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan segala keterbatasannya, digunakan sebagai dasar hukum untuk mengatasi persoalan yang dihadapi para pelaut itu. Itulah aspek historis yang melatarbelakangi lahirnya UU 18/2017.
Minimnya pengawasan memang menyebabkan banyak pelaut yang diabaikan oleh agen yang menempatkannya. Bahkan ada yang menyatakan tidak memperoleh Jaminan Hari Tua (JHT) meskipun sudah bekerja lebih dari 17 tahun. Perlu waktu hingga empat tahun dalam merumuskan filosofis dan materi muatan hingga adanya kepastian hukum dalam UU 18/2017.
Sejatinya awak kapal, baik yang bekerja pada kapal perikanan maupun kapal niaga melekat pada kapal, sebagaimana pekerja perkebunan yang melekat pada perkebunannya. Namun menghadapi tekanan yang lebih berat ketika sedang bekerja di tengah lautan itu. Lebih-lebih ketika melewati Laut Cina Selatan yang penuh konflik.
Membayangkan kapten maupun awak kapal yang berada di ruang kemudi melihat situasi di depannya. Ada kapal dari negara-negara sesama pengklaim Laut Cina Selatan yang saling berhadapan. Penumpang yang berada di geladak atau buritan kapal saja bisa jadi akan panik menghadapi kondisi ini. Meskipun tidak terlibat secara langsung, peluru atau rudal salah sasaran bisa saja merontokkan kapal beserta seluruh awak, penumpang dan barang-barang di dalamnya.
Risiko pekerjaan sebagai pelaut dan ABK memang sangat berat. Sehingga Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran mempersyaratkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang bergerak dalam penempatannya harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) serta menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungannya.
Pentingnya pengembangan food estate
Konflik yang terjadi di Laut China Selatan tampaknya juga merupakan salah satu faktor yang mendorong penurunan volume impor, tetapi menambah nilai impor. Hal ini terjadi karena mahalnya ongkos impor, banyak kapal melakukan pergantian rute dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Pada gilirannya, berpengaruh pada biaya impor sebagaimana pandangan yang diungkapkan Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky kepada Kontan.co.id, Kamis, 15 Januari 2024.
Kenaikan harga kebutuhan pokok seiring peningkatan intensitas konflik di Laut Cina Selatan perlu disikapi dengan mendorong pengembangan industri dan pertanian dalam negeri. Misalnya dengan melanjutkan food estate dengan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaannya. Setidaknya, ini akan dapat menjawab dua persoalan sekaligus.
Pertama, pemenuhan kebutuhan logistik nasioanl. Belajar dari pengalaman Perang Sultan Agung pada masa lalu. Kekurangan bahan makanan menjadi salah satu faktor utama penyebab gagalnya serbuan Sultan Agung menaklukkan VOC di Batavia pada tahun 1629. Â Lahan pertanian yang didesain sebagai lumbung logistik pangan di Karawang dan Bekasi, berhasil dibakar oleh kaki tangan VOC.
Kedua, perluasan kesempatan kerja.Pendekatan padat karya dan padat teknologi bisa dipadukan pada pengelolaan lahan yang masih luas di Kallimantan. Pengembangan usaha pertanian atau agro-industri ini dalam menyerap surplus tenaga kerja yang selama ini masih menganggur. Meskipun bukan lagi menjadi leading sector perekonomian, kemampuan sektor ini menyerap tenaga kerja masih berada pada kisaran 25 - 30 %.
Pengalaman Republik Cina atau Taiwan, pertanian skala rumah tangga berkembang dan menjadi pemasok utama kebutuhan pangan domestic. Budidaya pertanian modern dan presisi dengan menggunakan Green House dapat mendatangkan berbagai manfaat, diantaranya pengaturan jadwal produksi, sarana agrowisata dan minimalisasi pestisida. Selain itu, juga akan mengurangi resiko gagal panen.
Bila Indonesia dapat menerapkan ini sehingga meningkatkan cadangan logistik nasional secara mandiri, dapat meningkatan kepercayaan diri dalam diplomasi internasional. Indonesia dapat mendorong pengelolaan Laut Cina Selatan melalui pendekatan koperasi yang telah diakui pula oleh para pendiri bangsa sebagai sokoguru perekonomian nasional. Model Koperasi RRC dalam bidang agro-industri yang terkenal andal itu bisa diterapkan pada pengelolaan Laut Cina Selatan dan berbagai kekayaan yang ada di dalam, tentunya dengan basis keanggotaan negara-negara yang mengelilingi kawasan tersebut.
Hal ini juga sejalan dengan pandangan ASEAN yang ingin agar sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan tidak bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Joint Development Authorities berupaya dibangun pada wilayah klaim tumpang tindih untuk mengembangkan daerah tersebut dan membagi hasilnya dengan adil tanpa menyelesaikan isu kedaulatan atas wilayah itu.
Atau pasrah menunggu kedatangan Ratu Adil ke Laut Cina Selatan yang sengaja hadir untuk menengahi konflik di sana. Sosok yang boleh dibayangkan, lebih smart dan kosmopolit daripada Ratu Pantai Selatan yang masih bergerak pada tataran lokal .
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H