Mohon tunggu...
Noor Azasi
Noor Azasi Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni IPB dan Magister Ilmu Universitas Krisnadwipayana

Pegiat sosial, tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menunggu Kehadiran Ratu Adil di Laut Cina Selatan

14 Mei 2024   03:25 Diperbarui: 14 Mei 2024   04:08 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejatinya awak kapal, baik yang bekerja pada kapal perikanan maupun kapal niaga melekat pada kapal, sebagaimana pekerja perkebunan yang melekat pada perkebunannya. Namun menghadapi tekanan yang lebih berat ketika sedang bekerja di tengah lautan itu. Lebih-lebih ketika melewati Laut Cina Selatan yang penuh konflik.

Membayangkan kapten maupun awak kapal yang berada di ruang kemudi melihat situasi di depannya. Ada kapal dari negara-negara sesama pengklaim Laut Cina Selatan yang saling berhadapan. Penumpang yang berada di geladak atau buritan kapal saja bisa jadi akan panik menghadapi kondisi ini. Meskipun tidak terlibat secara langsung, peluru atau rudal salah sasaran bisa saja merontokkan kapal beserta seluruh awak, penumpang dan barang-barang di dalamnya.

Risiko pekerjaan sebagai pelaut dan ABK memang sangat berat. Sehingga Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran mempersyaratkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang bergerak dalam penempatannya harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) serta menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam pelindungannya.

Pentingnya pengembangan food estate

Konflik yang terjadi di Laut China Selatan tampaknya juga merupakan salah satu faktor yang mendorong penurunan volume impor, tetapi menambah nilai impor. Hal ini terjadi karena mahalnya ongkos impor, banyak kapal melakukan pergantian rute dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Pada gilirannya, berpengaruh pada biaya impor sebagaimana pandangan yang diungkapkan Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky kepada Kontan.co.id, Kamis, 15 Januari 2024.

Kenaikan harga kebutuhan pokok seiring peningkatan intensitas konflik di Laut Cina Selatan perlu disikapi dengan mendorong pengembangan industri dan pertanian dalam negeri. Misalnya dengan melanjutkan food estate dengan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaannya. Setidaknya, ini akan dapat menjawab dua persoalan sekaligus.

Pertama, pemenuhan kebutuhan logistik nasioanl. Belajar dari pengalaman Perang Sultan Agung pada masa lalu. Kekurangan bahan makanan menjadi salah satu faktor utama penyebab gagalnya serbuan Sultan Agung menaklukkan VOC di Batavia pada tahun 1629.  Lahan pertanian yang didesain sebagai lumbung logistik pangan di Karawang dan Bekasi, berhasil dibakar oleh kaki tangan VOC.

Kedua, perluasan kesempatan kerja.Pendekatan padat karya dan padat teknologi bisa dipadukan pada pengelolaan lahan yang masih luas di Kallimantan. Pengembangan usaha pertanian atau agro-industri ini dalam menyerap surplus tenaga kerja yang selama ini masih menganggur. Meskipun bukan lagi menjadi leading sector perekonomian, kemampuan sektor ini menyerap tenaga kerja masih berada pada kisaran 25 - 30 %.

Pengalaman Republik Cina atau Taiwan, pertanian skala rumah tangga berkembang dan menjadi pemasok utama kebutuhan pangan domestic. Budidaya pertanian modern dan presisi dengan menggunakan Green House dapat mendatangkan berbagai manfaat, diantaranya pengaturan jadwal produksi, sarana agrowisata dan minimalisasi pestisida. Selain itu, juga akan mengurangi resiko gagal panen.

Bila Indonesia dapat menerapkan ini sehingga meningkatkan cadangan logistik nasional secara mandiri, dapat meningkatan kepercayaan diri dalam diplomasi internasional. Indonesia dapat mendorong pengelolaan Laut Cina Selatan melalui pendekatan koperasi yang telah diakui pula oleh para pendiri bangsa sebagai sokoguru perekonomian nasional. Model Koperasi RRC dalam bidang agro-industri yang terkenal andal itu bisa diterapkan pada pengelolaan Laut Cina Selatan dan berbagai kekayaan yang ada di dalam, tentunya dengan basis keanggotaan negara-negara yang mengelilingi kawasan tersebut.

Hal ini juga sejalan dengan pandangan ASEAN yang ingin agar sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan tidak bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Joint Development Authorities berupaya dibangun pada wilayah klaim tumpang tindih untuk mengembangkan daerah tersebut dan membagi hasilnya dengan adil tanpa menyelesaikan isu kedaulatan atas wilayah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun