Perhelatan akbar Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 mulai digelar sejak kemarin, 22 Desember 2021. KH Ahmad Baso, seorang tokoh NU yang selama ini dikenal pula sebagai jurnalis meluncurkan buku tentang Histiografi Khittah dan Politik NU di sela-sela acara.Â
Wakil Presiden Prof Dr (HC) KH Ma'ruf Amin menyampaikan sambutan sebagai keynote speaker. Hadir pula Ketua LAKPESDAM PBNU Dr H Rumadi Ahmad dan pengamat politik Prof Dr Lili Romli.
"Kalau Ahmad Baso menulis, tak ada yang berani mengeditnya,"kata Rumadi dalam tanggapannya sekaligus memberikan apresiasi atas gambaran rinci yang disampaikan pada buku tebal tersebut. Â
Moment ini juga bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu. Mengenang Kongres Perempuan Indonesia I yang dilaksanakan 93 tahun lalu. Saya pun membayangkan NU peluang terpilihnya seorang perempuan sebagai ketua umum tanfiziyah PBNU dalam muktamar ini.
Pertama kali yang terbayang adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Ketua Umum Muslimat NU ini memiliki pengalaman panjang di legislatif maupun eksekutif.Â
Hal paling berkesan ketika beliau sebagai salah satu pimpinan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) ikut mewawancarai saya dan beberapa pemuda koperasi dalam seleksi calon ketua Badan Komunikasi Pemuda Koperasi (BKPK) DEKOPIN sekitar tahun 2010.
Saat itu, saya membawa rekomendasi dari Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian NU dan Institute for Empowerment and Development Studies (InfEDS) yang pembentukannya juga diinisiasi beberapa anak muda NU untuk melengkapi persyaratan administrasi pencalonan.Â
Meskipun tidak terpilih sebagai ketua BKPK, saya mendapat informasi, Ibu Khofifah meminta nama saya dimasukkan dalam kepengurusan.Â
Namun pimpinan DEKOPIN mempunyai pertimbangan lain dengan menempatkan saya sebagai Sekretaris Badan Pelayanan dan Konsultasi Hukum (BPKH) DEKOPIN.
Selain Ibu Khofifah, NU masih memiliki banyak tokoh perempuan NU lain yang juga layak dipertimbangkan untuk memimpin NU lima tahun ke depan.Â
Sebut saja, Menteri Ketenagakerjaan Dr Ida Fauziyah serta mbak Yenny Wahid, seorang aktivis perempua yang mewarisi jiwa kepemimpinan dan semangat humanis dari ayahnya, almarhum KH Abdurrahman Wahid. Dari generasi yang lebih muda, ada anggota DPR Komisi VI Neng Eem Marhamah.
Pada Pasal 39 Anggaran Dasar NU hanya disebutkan syarat menjadi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) harus sudah pernah menjadi pengurus harian atau pengurus harian lembaga PBNU, dan/atau pengurus harian di tingkat wilayah, dan/atau pengurus harian badan Otonom tingkat pusat serta sudah pernah mengikuti pendidikan kaderisasi.Â
Tidak ada ketentuan yang mensyaratkan ketua umum harus laki-laki. Kepemimpinan Ibu Khofifah di IPPNU dan berlanjut di Muslimat NU atau sebagai ketua Fatayat bagi Ibu Ida Fauziyah sudah cukup terbuktif efektif menggerakkan badan-badan otonom NU tersebut.
Saya pun membayangkan seorang perempuan nahdliyin yang baru terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, mendedikasikan diri untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat yang saat ini masih terbelah dengan jiwa keibuannya.Â
Seusai acara yasinan dan shalawatan yang dipimpin rais aam, mereka duduk bareng membahas agenda prioritas untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa sambil menikmati sajian nasi liwet atau tumpengan nasi kebuli.
Namun saya tersentak ketika membaca sebuah pesan dari sebuah group WA. Jangankan terpilih ketua umum baru, penetapan sembilan kyai yang akan mengisi Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) saja masih menunggu hasil tabulasi perhitungan suara.Â
Semoga AHWA dan muktamirin dapat melanjutkan proses musyawarah untuk memilih rais aam dan ketua umum tanfiziyah yang dapat mendorong transformasi NU.Â
Mengisi jajaran tanfiziyah dengan sahabat-sahabat generasi millenial dan perempuan NU demi kemajuan jami'iyyah pada era digital saat ini. Insya Allah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H