Pada Pasal 39 Anggaran Dasar NU hanya disebutkan syarat menjadi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) harus sudah pernah menjadi pengurus harian atau pengurus harian lembaga PBNU, dan/atau pengurus harian di tingkat wilayah, dan/atau pengurus harian badan Otonom tingkat pusat serta sudah pernah mengikuti pendidikan kaderisasi.Â
Tidak ada ketentuan yang mensyaratkan ketua umum harus laki-laki. Kepemimpinan Ibu Khofifah di IPPNU dan berlanjut di Muslimat NU atau sebagai ketua Fatayat bagi Ibu Ida Fauziyah sudah cukup terbuktif efektif menggerakkan badan-badan otonom NU tersebut.
Saya pun membayangkan seorang perempuan nahdliyin yang baru terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, mendedikasikan diri untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat yang saat ini masih terbelah dengan jiwa keibuannya.Â
Seusai acara yasinan dan shalawatan yang dipimpin rais aam, mereka duduk bareng membahas agenda prioritas untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa sambil menikmati sajian nasi liwet atau tumpengan nasi kebuli.
Namun saya tersentak ketika membaca sebuah pesan dari sebuah group WA. Jangankan terpilih ketua umum baru, penetapan sembilan kyai yang akan mengisi Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) saja masih menunggu hasil tabulasi perhitungan suara.Â
Semoga AHWA dan muktamirin dapat melanjutkan proses musyawarah untuk memilih rais aam dan ketua umum tanfiziyah yang dapat mendorong transformasi NU.Â
Mengisi jajaran tanfiziyah dengan sahabat-sahabat generasi millenial dan perempuan NU demi kemajuan jami'iyyah pada era digital saat ini. Insya Allah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H