Mohon tunggu...
Noor Afeefa
Noor Afeefa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Kebijakan Pendidikan

"Ketahuilah, sesungguhnya pintu terbesar manusia yang dimasuki oleh iblis adalah kebodohan” (al-Hafidz Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Catatan Hardiknas 2019 : Rezim Neolib Serukan Pendidikan Sekuler Penggerak Mesin Industrialisasi Kapitalisme

2 Mei 2019   16:20 Diperbarui: 3 Mei 2019   04:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rezim Neolib Serukan Pendidikan Sekuler Penggerak Mesin Industrialisasi Kapitalisme
(Catatan Hardiknas 2019)

Momentum penegasan arah pendidikan nasional kembali dikukuhkan melalui Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2019.  Bertema Penguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melalui pidatonya menyatakan pentingnya pembangunan SDM.  Dalam perspektif pendidikan, pembangunan sumber daya menusia menekankan pada 2 penguatan.  Pertama, pendidikan karakter.  Dan kedua, penyiapan generasi terdidik yang terampil dan cakap dalam memasuki dunia kerja.

Pendidikan karakter yang dimaksud adalah pembentukan insan berakhlak mulia, sopan santun, tanggung jawab serta budi pekerti yang luhur.  Sementara untuk menyiapkan generasi yang terampil dan cakap memasuki dunia kerja dilakukan diantaranya dengan penanaman jiwa wirausaha.

Menurut Mendikbud, peradaban dunia yang begitu cepat berkembang harus dimanfaatkan oleh insan pendidikan meski peserta didik juga harus memiliki karakter dan jati diri di tengah perubahan global yang sangat cepat.  
Di tengah pidatonya, Mendikbud juga menyinggung kompleksitas persoalan pendidikan yang belum juga tuntas, seperti masalah guru dan tenaga kependidikan serta dijumpainya kasus-kasus yang tidak mencerminkan kemajuan pendidikan.  Meski katanya, pemerintah sudah berusaha memecahkannya selaras dengan paradigma pendidikan.  

Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hardiknas kerap hanya menjadi seremoni tahunan saja.  Namun, penegasan Mendikbud kali ini sejatinya menorehkan catatan penting tentang kesalahan dalam mengelola pendidikan di Indonesia, di tengah kompleksitas persoalan pendidikan yang ada.  Berikut analisanya.

Pendidikan -dalam sejarah manusia- tentu bertujuan melahirkan sumber daya manusia yang handal.  Pendidikan pula yang menentukan kualitas sosok atau pribadi pembangun peradaban.  Negara dengan peradaban yang maju dan berkesejahteraan sebagaimana Negara Khilafah Islam dahulu juga ditentukan oleh pengelolaan pendidikan pada masa itu.  Dengan demikian, jika kita memang ingin mencetak SDM handal, maka sistem pendidikan harus disiapkan secara benar, baik dari sisi paradigma membangun pendidikan hingga implementasinya di lapang.

Pendidikan di Indonesia menganut azas sekulerisme. Yakni, tidak mendasarkan proses pendidikannya kepada Islam (sebagai agama yang sahih).  Kalau pun mengambil Islam, hanya untuk melengkapi pendidikan keagamaan (peribadahan) dan pembentukan akhlak atau moral belaka.  Sedangkan dalam perkara lainnya, peserta didik tidak dididik dengan panduan Islam.  Tak ada pendidikan politik Islam.  Tak ada pula pendidikan budaya dan sosial Islami.  Pun senantiasa memisahkan antara sains -- sosial humaniora dengan aspek akidah Islam.  

Oleh karenanya, kepribadian yang terbentuk pun bukan kepribadian Islam, namun kepribadian sekuler.  Mereka bisa jadi muslim, beribadah dan berakhlak, namun tidak memahami dan melaksanakan hukum syariah secara penuh.  Mereka tidak peduli dengan kemunkaran, bahkan menjadi bagian dari pelaku kemunkaran.  Inilah SDM produk pendidikan sekuler.  Inilah pula produk pendidikan karakter yang selama ini selalu menjadi senjata (jargon) bagi sistem pendidikan nasional. Dengan azas sekuler seperti ini, mustahil pendidikan melahirkan kepribadian yang Islami, meski ada program penguatan pendidikan karakter.  

Di sisi lain, pendidikan sekuler juga memastikan arah pendidikan terjebak pada kemajuan yang menipu.  Hal ini nampak dari penegasan Mendikbud tentang penekanan aspek kedua dalam pendidikan SDM, yaitu menyiapkan generasi yang terampil dan cakap untuk memasuki dunia kerja.  

Tentu ini sebuah kesalahan besar dan berbahaya.  Bisa dibayangkan, jika gegara perubahan peradaban yang sedemikian cepatnya, disertai persaingan usaha semakin kuat, lantas pendidikan diarahkan agar terlahir SDM yang siap kerja dan memiliki jiwa wirausaha.  Apakah pendidikan hanya untuk tujuan itu?

Terlebih, sudah teramat jelas bagaimana persaingan dunia usaha dan industri di era Revolusi Industri 4.0 kali ini.  Siapa yang memainkan dan siapa yang akan menjadi objek permainan.  Siapa yang menjadi penguasa dan siapa yang akan menjadi target dominasi.  Semua itu menunjukkan kuatnya industrialisasi kapitalisme.  Maka terbayang, pendidikan saat ini pada akhirnya hanya menjadi jalan bagi penguatan proyek-proyek besar kaum kapitalis.

Inilah yang dimaksud jebakan kemajuan semu.  Kesan dilahirkannya SDM yang siap kerja dan wirausaha di tengah dominasi kapitalisme global,  sejatinya menunjukkan kegagalan pendidikan.  Sebab, pendidikan hanya menjadi penggerak industrialisasi kapitalisme.  Sungguh sangat disayangkan hal ini terjadi di negeri muslim terbesar seperti Indonesia.

Sejatinya, kaum muslim Indonesia memiliki 'izzah (kemuliaan).  Mereka memiliki akidah dan hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh kehidupan mereka, termasuk dalam menyelenggarakan pendidikan.  Sistem pendidikan yang sahih seharusnya melahirkan manusia-manusia handal yang memimpin untuk kemajuan peradaban, bukan menjadi budak kapitalisme.  

Inilah yang pernah dilakukan kaum muslim dahulu ketika mereka masih bernaung dalam sistem Kekhilafahan Islam selama lebih dari 1.300 tahun.  Sistem pendidikan yang bersumber dari wahyu (ajaran Islam) mampu melahirkan SDM unggul.  Terbukti dari peradaban yang dilahirkannya.  Kemajuan dalam sains dan teknologi, budaya dan pemerintahan hingga Islam menjadi agama yang merahmati seluruh manusia pada saat itu.  

Sayang sekali, kini umat kehilangan sistem Khilafah.  Kehidupan kapitalis saat ini telah menyandera umat untuk kembali menerapkan sistem pendidikan yang sahih.  Sungguh, rezim ini telah zalim.  Maka wajarlah jika berbagai persoalan pendidikan terus saja bermunculan.  Problem guru yang tak kunjung selesai.  Belum lagi problem siswa yang terus mengelus dada.  Sampai kapan umat dan insan pendidikan di Indonesia menyadari kekeliruannya. Dan berusaha menghendaki sistem pendidikan yang sahih.  Di sinilah perjuangan itu harus selalu digelorakan.  Dakwah Islam dan terus berdakwah. Semoga Allah segera menurunkan pertolongan-Nya.  Aamiin. []

Bogor, 2 Mei 2019
Noor Afeefa (Pemerhati Kebijakan Pendidikan Dasar Menengah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun