Mohon tunggu...
Noor Afeefa
Noor Afeefa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Kebijakan Pendidikan

"Ketahuilah, sesungguhnya pintu terbesar manusia yang dimasuki oleh iblis adalah kebodohan” (al-Hafidz Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soal Daya Nalar Tinggi (HOTS) dalam Ujian, Solusi atau Masalah?

27 Maret 2019   06:11 Diperbarui: 27 Maret 2019   06:25 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Survey PISA dilakukan 3 tahun sekali.  Dalam PISA 2015, posisi Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61 dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. 2

Rendahnya peringkat PISA menjadi momentum untuk mengakselerasi perubahan pada kurikulum, pembelajaran, dan penilaian untuk menyongsong tantangan abad-21.  Pendekatan HOTS dalam kurikulum 2013 mau tak mau menjadi bagian yang harus dijalani oleh peserta didik maupun tenaga pendidik.

Kritik HOTS
Sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan konsep pembelajaran abad 21, HOTS layak dikritisi.  Sebab, konsep pembelajaran abad 21 yang merupakan kelanjutan dari konsep pembelajaran sebelumnya, masih berpijak pada landasan sekulerisme.  Landasan ini menjauhkan peran agama dari ranah pendidikan.  
Sekalipun dalam kurikulum 2013 diaruskan PPK (Pengarusan Pendidikan Karakter) namun tidak serta merta mengadopsi ajaran agama dalam proses pendidikan.  Pada faktanya, PPK pun tak mampu mengatasi problem karakter peserta didik yang terus berkembang, karena tidak bersandar pada akidah (Islam).  Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dalam sejarahnya hingga kini masih mengadopsi asas sekuler.

Sekulerisme sendiri bertentangan dengan Islam.  Sebab, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk ber-Islam secara menyeluruh (QS. Albaqarah [2]:208).  Dalam pelaksanaan pendidikan pun harus berdasarkan akidah Islam.  
Untuk menghadapi abad 21 (dan RI 4.0, pen-) yang makin sarat dengan teknologi dan sains dalam masyarakat global di dunia ini, maka pendidikan (konsep pembelajaran abad 21) berorientasi pada ilmu pengetahuan matematika dan sains alam disertai dengan sains sosial dan kemanusiaan (humaniora) dengan keseimbangan yang wajar (BNSP, 2010).  Implementasinya nampak pada kurikulum pendidikan yang lebih menekankan scientific approach.  

Dalam banyak hal, peserta didik diberi beban pembelajaran di luar kebutuhannya, padahal waktu belajar terbatas.  Akhirnya, aspek sosial -termasuk pembentukan kepribadian- kerap dipinggirkan.  Inilah yang menambah beban masalah pendidikan berikutnya.  Tawuran, pesta miras-narkoba, pesta seks, kurang ajar pada guru hingga pembunuhan janin bukan hal aneh di kalangan pelajar.  Jika begini, dimana kebaikan pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek saintifik dan adanya keseimbangan yang wajar. 

Tantangan abad 21 seharusnya disikapi dengan paradigma pendidikan yang sahih.  Yakni paradigma pendidikan yang berdasarkan akidah Islam.  Terintegrasinya pendidikan agama (Islam) dalam seluruh bidang pembelajaran menjadikan ilmu yang diperoleh tidak kehilangan ruh akidah.  Demikian pula dalam aspek pembentukan kepribadian.  Sebab, tantangan abad 21 sangat kompleks.  Penguatan kepribadian Islam akan menangkal pengaruh negatif arus globalisasi.  Dengan semangat akidah pula, mereka akan menjadi manusia-manusia yang selalu bersemangat menggali ilmu, meraih kemuliaan ilmu dan mengamalkannya bagi kemajuan masyarakat.

HOTS sebenarnya merupakan konsep berpikir pada manusia.  Sebagai sebuah konsep berpikir tentu terkait dengan pandangan hidup (akidah) pengembannya.  Tatkala HOTS mengacu pada scientific approach, sejatinya HOTS tidak bisa digunakan pada semua bidang ilmu.  Sebab, HOTS hanya mengandalkan metode ilmiah.  Sedangkan metode ilmiah hanya layak digunakan pada materi-materi saintifik.  Adapun dalam ilmu-ilmu sosial, maka metode ilmiah tidak dapat digunakan.  Seringkali terjadi kesalahan dalam penarikan kesimpulan karena memaksakan metode ilmiah pada masalah sosial.

Sebagai contoh, betapa sering siswa mendapatkan pembahasan tentang manusia purba.  Jika menggunakan pendekatan HOTS, maka siswa (tingkat dasar hingga menengah) didorong memahami ciri-ciri fisiknya, bagaimana cara berjalannya, bentuk rahang dan gigi, dagu, kening dan sejenisnya.  Padahal secara hakiki, anak-anak ini seharusnya didorong untuk memahami hakikat kehidupan manusia purba.  Yakni, bahwa bagaimana pun kondisi mereka -kalaupun ada perbedaan fisik dengan manusia saat ini, manusia purba adalah makhluk Allah SWT berjenis manusia.  Mereka sama kududukannya dengan manusia saat ini.  Mereka makhluk berakal, berjenis laki-laki dan perempuan dengan kebutuhan hidup yang sama dengan manusia sekarang.  Mereka pun diperintah untuk menyembah Allah SWT Tuhan manusia.  Mereka bukan hasil evolusi dari kera dan tidak ada hubungan apapun dengan binatang.

Dalam banyak hal, pendekatan soal HOTS dalam bidang sosial tidak serta merta membentuk kepribadian Islami.  Bahkan siswa menjadi lebih disibukkan oleh hal-hal rumit di luar kebutuhan dan kehidupannya.  Soal-soal HOTS kerap dipandang rumit dan di luar nalar kehidupan mereka sehari-hari.  Padahal persoalan terdekat kehidupan mereka saja tidak mampu mereka hadapi dan selesaikan.

Capaian nilai PISA yang rendah, sejatinya disebabkan oleh lemahnya sistem pendidikan (baik dalam kurikulum maupun pengelolaan lembaga pendidikan).  Akidah sekuler yang mendasari sistem pendidikan saat ini tidak mendorong peserta didik untuk mengembangkan taraf berpikirnya.  Kemampuan mereka akhirnya hanya pada level C1 hingga C4 dalam taksonomi Bloom.  Ini semua terjadi karena sekulerisasi pendidikan.

Pendidikan Islam Maju tanpa HOTS
Yang menjadi persoalan, jika tidak dengan HOTS, mampukah kita meningkatkan taraf berpikir peserta didik?  Mampukah kita meningkatkan daya kreasi siswa untuk memecahkan berbagai persoalan bahkan menemukan berbagai terobosan baru untuk menghadapi era digital yang serba canggih?  Tentu saja bisa.  Dan hal itu tidak harus dengan HOTS yang berbasis sekulerisme.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun