Mohon tunggu...
Noor Afeefa
Noor Afeefa Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Kebijakan Pendidikan

"Ketahuilah, sesungguhnya pintu terbesar manusia yang dimasuki oleh iblis adalah kebodohan” (al-Hafidz Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rekomendasi RNPK, Solusi atau Masalah?

27 Februari 2019   10:51 Diperbarui: 2 Maret 2019   22:47 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Noor Afeefa

RNPK (Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan) 2019 sudah usai digelar pad 11-14 Februari lalu.  Forum yang mengumpulkan para pemangku kepentingan pendidikan dan kebudayaan di seluruh Indonesia itu telah mendiskusikan lima poin besar persoalan pendidikan di Indonesia.  Kelima bidang tersebut, yaitu penataan dan pengangkatan guru, sistem zonasi pendidikan, revitalisasi vokasi, pemajuan kebudayaan dan penguatan sistem perbukuan serta gerakan literasi.

Rekomendasi tentang penataan guru berupa pembukaan formasi CPNS untuk guru secara periodik setiap tahun sesuai peta kebutuhan guru di sekolah dan daerah.  Pengangkatan guru akan disesuaikan dengan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik yang dipersyaratkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.  Sedangkan sertifikat profesi guru akan dievaluasi secara berkala dan diusulkan agar berlaku selama lima tahun.

Rekomendasi tentang sistem zonasi diantaranya perlunya pemahaman tujuan dan strategi yang sama tentang tata kelola pendidikan berbasis zonasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.  Kemudian pelaksanaan PPDB harus ditempuh dengan tiga jalur, yaitu jalur zonasi (sebesar 90 persen), jalur prestasi (5 persen) dan jalur perpindahan orang tua (5 persen).

Untuk revitalisasi vokasi, merekomendasikan harmonisasi sistem sertifikasi BNSP dengan DUDI untuk pengakuan sertifikasi, harmonisasi sistem sertifikasi antara SMK, SMA-LB, Paket C Vokasi, serta lembaga kursus dan pelatihan.  Direkomendasikan pula pemenuhan jumlah dan kualitas asesor dan Tempat Uji Kompetensi (TUK).

Adapun tentang budaya, diantaranya mengonsolidasikan program pembangunan di bidang kebudayaan lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator.  Kemudian memperkuat pelibatan publik dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan melalui dewan kesenian, dewan kebudayaan, majelis adat, komunitas, dan masyarakat lainnya dengan memanfaatkan ruang-ruang publik.

Sedangkan rekomendasi penguatan literasi diantaranya penyediaan buku bermutu, murah, dan merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah 3T dengan berbagai strategi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kemudian peningkatan peran pemerintah daerah dalam menjamin ketersedian buku bermutu, murah, dan merata di daerahnya.

Demikianlah, sepintas begitu banyak rancangan program yang bakal dilakukan Negara bagi peningkatan pendidikan di Indonesia.  Namun, semua itu layak dikritisi, mengingat sejatinya ada problem mendasar penting yang menyelimuti dunia pendidikan di Indonesia. Dan Rembug Nasional tidak menyentuh hal tersebut.  

Diskusi dan hasil rekomendasi forum tersebut tidak menyoal sedikitpun tentang akar persoalan pendidikan di Indonesia.  Padahal berbagai problem, baik penataan guru, pemerataan kualitas pendidikan, pendidikan vokasi hingga problem budaya dan kemampuan literasi, memiliki akar persoalan yang sama.

Bahwa lemahnya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh paradigma pendidikan yang keliru.  Kondisi ini pun terimplementasi dalam kurikulum dan manajemen sekolah yang kapitalistik.  Pendidikan dalam sistem kapitalis tak bisa dilepaskan dari konsep Knowledge Based Economy (KBE).  Ketika perekonomian modern mendasarkan perkembangannya pada pendidikan, maka pendidikan dijadikan faktor penting dalam berbagai proyek ekonomi.  Arah dan kebijakan pendidikan pun harus selaras dengan konsep dan arah perekonomian.  Pendidikan lambat laun bergeser dari mengarahkan manusia agar selamat dari dampak-dampak buruk perekonomian modern menjadi alat untuk mengeruk keuntungan pihak-pihak yang menguasai perekonomian.  Berbagai problem dan solusi yang dirancang pun akhirnya tak lepas dari konsep dan paradigma ini.

Dalam pengelolaan guru, misalnya.  Negara tidak bisa sepenuhnya memperhatikan guru karena minimnya anggaran.  Dan patut dipertanyakan, mengapa Negara tidak memberikan anggaran penuh bagi pendidikan?  Bukankah kebutuhan pendidikan memang banyak.  Dan jika tidak dipenuhi tentu akan berdampak luas, diantaranya problem guru ini.  Hitung-hitungan anggaran tidak lepas dari konsep kapitalistik terhadap nilai pendidikan.  Bahkan tunjangan guru pun harus dikorbankan. 

Demikian pula dengan problem pemerataan kualitas pendidikan.  Sistem zonasi sejatinya tak perlu hadir, jika saja negara tidak mengadopsi konsep KBE ini.  Sebab, sekolah hadir ke tengah masyararakat seharusnya untuk mencerdaskan masyarakat seluruhnya, bukan untuk mencari keuntungan materi melalui kepopuleran dan kompetisi yang tidak sehat. Masyarakat diberi kesempatan yang sama di semua sekolah, karena sekolah memiliki tugas yang sama dalam mendidik masyarakat tanpa pandang bulu.

Adapun dalam pengelolaan pendidikan vokasi, kekeliruan paradigmatik telah mengantarkan pendidikan kejuruan ini ke dalam jeratan kapitalis.  Ketika standar keberhasilan hanya diukur dari keterserapan lulusannya di dunia usaha dan industri, maka pemerintah telah berani menggadaikan perannya kepada pengusaha (korporat).

Pendidikan vokasi pun menjadi salah satu faktor penting berkembangnya dunia usaha dan industri yang mayoritas dikuasai korporat.  Kurikulum tak lagi mencerminkan kehendak negara untuk mengabdikan hasil-hasil pendidikan vokasi ini bagi kemajuan masyarakat secara umum.  Namun, lebih menguntungkan korporat.

Demikianlah, ketika paradigma pendidikan yang keliru terus berjalan dan tak pernah menjadi perhatian dalam setiap upaya untuk keluar dari problem pendidikan di negeri ini.  Alih-alih keluar dari problem, yang dilakukan hanyalah sibuk melakukan hal-hal teknis yang tidak mengubah wajah pendidikan di Indonesia secara signifikan.

Dalam persoalan guru misalnya, kalaulah pemerintah menjanjikan jumlah guru akan terpenuhi pada 2024 mendatang, benarkah persoalan guru akan selesai?  Berbagai upaya peningkatan kompetensi memang beriringan dilakukan.  Namun, kompetensi apa yang selama ini berjalan.  Ketika kurikulum pendidikan tersusun dalam konsep KBE, tentulah pendidikan lebih menekankan pada kemampuan akademik yang dituntut oleh perkembangan teknologi dan peradaban.  Kemampuan guru baik dalam konten maupun pedagogi pun tak akan keluar dari arah tersebut.

Jadi, nampaklah bahwa bangsa ini memiliki problem besar pendidikan.  Bangsa ini membutuhkan arah baru pengelolaan pendidikan. Sistem pendidikan yang berlaku nyata-nyata hanya menghasilkan output pendidikan yang hanya menguasai teknologi tapi lemah dalam menuntaskan problem-problem kemanusiaan.  Padahal sejatinya, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang siap menyelesaikan seluruh problem manusia dari semua sisi.  

Di sinilah urgensi hadirnya rezim pelaksana sistem pendidikan Islam, yakni khilafah. Sebab, sistem pendidikan Islam bertujuan menghasilkan sumber daya manusia yang berkepribadian Islam dan mampu menghadapi tantangan kehidupan global (dengan bekal ilmu-ilmu kehidupan dan tsaqofah Islam).  Sistem ini memastikan output pendidikan yang memberi kebaikan bagi kemajuan peradaban.  Oleh karena itu, harapan hadirnya sistem Khilafah kian membuncah.  Sebab, di atas sistem ilahiyah inilah, sistem pendidikan Islam bisa terwujud. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun