Dari tahun 1952 hingga 2011, Mesir diatur oleh pemerintahan militer yang memegang kendali politik. Dominasi militer selama lebih dari setengah abad menyebabkan Mesir berada di bawah rezim otoriter yang dikuasai oleh pemimpin militer. Pada tahun 1952, kekuasaan Raja Farouk beralih ke tangan kelompok "Perwira Bebas" yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser. Di bawah kepemimpinan Nasser, sistem pemerintahan Mesir berubah dari monarki menjadi republik, sementara Nasser sendiri mengadopsi pendekatan otoriter terhadap gerakan Islam yang berkembang di negara itu, termasuk kelompok Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al Banna pada tahun 1928.
Setelah kematian Nasser pada tahun 1970, Mohammed Anwar Al Sadat menggantikannya sebagai pemimpin Mesir. Meskipun pemerintahan Sadat juga memiliki elemen militeristik, ia membangun sistem pemerintahan yang lebih sekuler dan cenderung konservatif daripada pendahulunya. Pada masa pemerintahan Nasser, Mesir mengadopsi ideologi "Nasseris" yang bersifat sosialis nasionalis, sementara pada masa pemerintahan Sadat, ada lebih banyak ruang bagi kegiatan politik dan ekonomi.
Kebijakan Sadat yang lebih terbuka digunakan untuk mendapatkan dukungan dari gerakan Islam, termasuk Ikhwanul Muslimin, yang pada tahun 1972 mengakibatkan pembebasan sekelompok tahanan politik dari kelompok tersebut. Meskipun demikian, Sadat tetap menggunakan tindakan represif terhadap gerakan Islam yang menentang pemerintahannya, dan sikap otoriternya menuai kritik dari komunitas internasional. Kepemimpinan Sadat berakhir tragis dengan pembunuhan oleh rakyatnya sendiri.
Dua minggu setelah kematian Sadat, pada 14 Oktober 1981, Hosni Mubarak menjadi presiden Mesir. Sebagai mantan Komandan Angkatan Udara Mesir, Mubarak menerapkan kebijakan-kebijakan otoriter selama tiga dekade pemerintahannya. Gelombang revolusi Timur Tengah pada tahun 2011 akhirnya berhasil menjatuhkan rezim otoriter Mubarak, menciptakan momentum demokratisasi di kawasan tersebut.
Revolusi ini, yang dikenal sebagai Arab Spring atau Musim Semi Arab, dimulai dengan protes oleh seorang pemuda bernama Mohammed Bouazizi di Tunisia. Aksi protes Bouazizi, yang membakar diri sebagai protes terhadap ketidakadilan pemerintahan Presiden Ben Ali, menjadi pemicu demonstrasi massal di Tunisia dan negara-negara lain di Timur Tengah, termasuk Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok radikal, turun ke jalan untuk menuntut sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Sebagian besar negara di Timur Tengah mengadopsi sistem pemerintahan monarki absolut atau semi-demokrasi yang cenderung otoriter (Nashrullah, Propaganda Demokrasi di Tengah Musim Semi, 2015). Presiden Hosni Mubarak, yang memerintah selama 32 tahun di Mesir, terpengaruh oleh gelombang demokrasi. Pemerintahan Mubarak yang terkenal korup dan otoriter menjadi pemicu aksi demonstrasi di beberapa kota Mesir. Revolusi Mesir pada 25 Januari 2011 dimulai sebagai gerakan anti-rezim Mubarak yang dipimpin oleh aktivis Mesir melalui platform sosial media seperti Facebook. Aktivis Mesir, Asmaa Mahfouz, mengeluarkan seruan untuk protes di Tahrir Square pada 25 Januari 2011. Seruan tersebut, yang dirilis pada 18 Januari 2011, menginspirasi ribuan warga Mesir untuk turun ke jalan dalam demonstrasi besar di Lapangan Tahrir, Kairo, menuntut turunnya rezim otoriter Hosni Mubarak dari jabatannya (Mandey, 2014).
Demonstrasi besar selama 18 hari di Mesir berhasil menggulingkan rezim otoriter Mubarak. Pada 11 Februari 2011, Mubarak secara resmi mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Omar Suleiman sebagai presiden de facto sejak 10 Februari 2011. Kekosongan kepemimpinan di Mesir kemudian diisi oleh Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces-SCAF) di bawah pimpinan Mohamed Hussein Tantawi. SCAF sepenuhnya mengendalikan kekuasaan eksekutif Mesir (Abdurahman, Dinamika Pemerintahan Mesir Menuju Negara Yang Demokratis: Ditandai Persaingan Antara Demokrat Islam Dengan Militer, 2014).
Meskipun jatuhnya rezim Mubarak tidak langsung mengakhiri dominasi militer di Mesir, pemerintahan sementara dipegang oleh SCAF. Pada 30 Maret 2011, SCAF melakukan amendemen terbatas pada Konstitusi Mesir untuk memperkuat posisi militer. Meskipun begitu, tekanan dari masyarakat Mesir dan komunitas internasional tetap mendorong kelanjutan proses demokrasi. Oleh karena itu, SCAF memberikan kesempatan kepada elit sipil untuk terlibat dalam politik melalui pemilihan umum (Basyar, 2015).
Partai FJP memenangkan pemilu parlemen dalam tiga tahap, memberikan harapan baru bagi oposisi Ikhwanul Muslimin. Pada pemilu presiden, FJP mengusung Muhammad Mursi sebagai kandidat presiden, dan pada 24 Juni 2012, Mursi terpilih dalam putaran kedua. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah politik Mesir bahwa seorang elit sipil terpilih sebagai presiden melalui proses demokratis setelah tumbangnya rezim otoriter sejak tahun 1952. Namun, pemerintahan Mursi masih dipengaruhi oleh militer, dengan SCAF tetap memiliki wewenang untuk memilih Dewan Konstituante baru (Lisbet, 2013).
Setelah dilantik sebagai Presiden Mesir pada 30 Juni 2012, Mursi bersikap bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya Mursi untuk mengembalikan anggota parlemen yang dibubarkan oleh MK melalui Dekrit 8 Juli 2012 tidak berhasil, dan parlemen tetap dibubarkan pada 17 Juli 2012.
Tidak lama setelah itu, Mursi mengeluarkan Dekrit pada 12 Agustus 2012 yang mencabut kekuasaan SCAF di tingkat legislatif. Peran Militer Mesir menjadi semakin lemah, terutama setelah ketegangan antara Presiden Mursi dan militer mengakibatkan pemecatan Kepala SCAF, Mohamed Hussein Tantawi. Namun, beberapa bulan kemudian, Mursi kembali mengeluarkan Dekrit pada 22 November 2012, memberinya kekuasaan yang hampir tanpa batas. Sikap Mursi yang mengekang kekuasaan Militer Mesir akhirnya memicu protes dari rakyat, terutama dari kelompok liberal sekuler. Mursi kemudian mengeluarkan dekrit, salah satunya mencabut dekrit sebelumnya, sebagai upaya untuk meredam protes dari oposisi dan masyarakat Mesir (Basyar, 2015).