Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MPR Tidak Dapat Mencabut Ketetapan MPRS no XXXIII Tahun 1967

12 September 2024   15:07 Diperbarui: 12 September 2024   15:20 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Noor Johan Nuh

Tap. MPRS no XXXIII dicabut?

Berita pencabutan Tap MPRS no XXXIII tahun 1967 menjadi tranding topic di media massa digital antara lain  di ANTARA Senin (9/9/2024) berjudul---MPR serahkan surat tak berlaku TAP MPRS XXXIII ke keluarga Soekarno.

Ditulis diberita itu; "Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyerahkan surat pimpinan MPR RI tentang tidak lanjut tidak berlakunya lagi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno,  kepada keluarga Presiden Pertama RI Soekarno dan Menkumham Supratman Andi Agtas."

Patut saja pencabutan itu dipertanyakan karena setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara mengalami perubahan keempat, terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di Republik Indonesia.

Dengan perubahan keempat UUD  maka MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bentuk Ketetapan MPR sebagaimana masa lalu karena  perubahan sistem ketata negaraan dimana MPR hanya menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan bukan lembaga tertinggi negara lagi

Wewenang MPR Sekarang

Adapun kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang MPR setelah perubahan keempat UUD adalah;

Pertama; Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat 1 UUD 1945).                                                                                    

Kedua; Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2 UUD 1945).                                                                                             

Ketiga; memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat 3 UUD 1945).

Keempat; Menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden (Pasal 8 ayat 2 UUD 1945).                                                              

Kelima; Menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Prediden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan (Pasal 8 ayat 3 UUD 1945).

Selain itu, perubahan tersebut berpengaruh pada aturan-aturan yang berlaku menurut Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Status Hukum Tap. MPRS dan Tap. MPR

Karena itu lah dibuat Ketetapan MPR no 1 tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari tahun 1960 sampai tahun 2002,  dan merupakan Ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR.

 

Adapun Ketetapan MPR no 1 tahun 2003 membagi Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS dari tahun 1960 sampai 2003 yang berjumlah 139 ke dalam 6 katagori,  sesuai dengan materi dan status hukumnya.                 

Substansi Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tersebut adalah:

Kategori I: Ketetapan MPRS/Ketetapan MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Tap.)

Kategori II: Ketetapan MPRS dan Ketetapan  MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Tap.)

Katagori III: Ketetapan  MPRS/Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Tap.)

Kategori IV: Ketetapan  MPRS/Ketetapan  MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Tap.)

Kategori V: Ketetapan  MPRS/Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Tap.)

Kategori VI: Ketetapan MPRS/Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Tap.)

Adapun Ketetapan MPRS no XXXIII tahun 1967 masuk Katagori VI yaitu Ketetapan yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. 

 

Jelas Tap. MPRS no XXXIII tahun 1967 tidak masuk dalam Katagori I yang tegas menyebut sebagai Ketetapan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

Karena itu apa yang menjadi topik pemberitaan tentang pencabutan Tap. MPRS no XXXIIII tahun 1967 tidak bersesuaian dengan Tap MPR no 1 tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Dan sesuai dengan  kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang MPR setelah perubahan keempat UUD yang sejajar dengan lembaga lain, maka MPR tidak bisa membatalkan atau mencabut Ketetapan MPRS mau pun Ketetapan MPR.

Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta

Apapun itu, Bung Karno sebagai Bapak Bangsa, Presiden pertama sekaligus Proklamator kemerdekaan Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tertulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia.

Jenderal Besar TNI AH Nasution, sebagai Ketua MPRS yang menandatangani  Tap. MPRS no XXXIII, saat berkunjung ke Amerika ditanya  wartawan mengenai Bung Karno, Pak Nas  menjawab; "Pada waktu saya belum mengerti arti kemerdekaan, Bung Karno sudah ke luar masuk penjara untuk memerdekakan bangsa saya."

Sedangkan Bung Hatta tegas mengatakan: "Bung Karno tidak dapat dikatakan bersalah karena tidak ada peradilan yang menyatakan ia bersalah."

Berkaitan dengan pasal 6 Tap. MPRS no XXXIII tahun 1967, Presiden Soeharto mengatakan; "Apa pertanggungjawaban kita pada sejarah jika Proklamator yang memerdekakan bangsa ini diadili."

Lalu Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres no 81 tahun 1986, menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Pahlawan Proklamator. Satu strata atau nilai kepahlawanan tertinggi karena hanya mereka berdua yang berhak menyandangnya, dibandingkan 206 tokoh bangsa lainnya yang bergelar Pahlawan Nasional.

Presiden Soeharto mengabadikan patung Bung Karno dan Bung Hatta di Tugu Proklamasi. Berada di Jalan Pengangsaan Timur no 56, tempat proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan yang pada tahun 1960 dibongkar dan dijadikan Gedung Pola.

Dan pada 5 Juli 1985, pintu gerbang Indonesia diberi nama Bandara Soekarno-Hatta.

Dalam tulisan ini pula, Saya mengusulkan pada Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk  mengganti nama Monumen Nasional yang adalah karya Bung Karno, menjadi "Monumen Soekarno-Hatta."                                                                                                                 

Satu monumen yang dikelilingi empat Jalan Merdeka, sebagai pengingat bahwa kedua tokoh itu  yang menyatakan kemerdekaan Indonesia. Semoga. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun