Bunga Pertempuran
Fakta sejarah bahwa  Serangan Umum 1 Maret adalah  kolaborasi  antara sipil dan  militer. Kolaborasi antara pasukan Wehrkreisi III  dan  rakyat Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta ikut dalam serangan itu berdasarkan "dawuh Ngarso Ndalem", sedangkan pasukan Wehrkreise III berdasarkan perintah komandannya Letnan Kolonel Soeharto.
Menyebut serangan itu "dirancang" oleh Pak Dirman dan Sri Sultan adalah sangat tidak mungkin. Saat itu Jenderal Soedirman  berada di Desa Sobo,  Kecamatan Pakis Baru, Kabupaten Pacitan,  Jawa Timur (buku Laporan  Dari  Banaran, oleh Jenderal TB Simatupang, penerbit Sinar Harapan, 1980), sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono berada di Keraton  Yogyakarta.  Bagaimana mungkin dari tempat yang berjarak ratusan kilometer mereka berdua merancang serangan umum sedangkan alat komunikasi saat itu dapat dikatakan tidak ada kecuali komunikasi melalui kurir.Â
Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, Jenderal AH Nasution, pada saat peristiwa itu sebagai Panglima Komando Jawa berkedudukan di Yogyakarta, Â menuliskan di memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas---Kenangan Masa Gerilya, penerbit CV Haji Masagung, 1983, jilid 2, halaman 134; "Letnan Kolonel Soeharto mengambil keputusan untuk menyerang kota Yogya tanggal 1 Maret, sehingga mata internasional terbuka." Pada halaman 135 ditulis; "Pak Dirman puas sekali dengan keadaan di Yogya. Dalam satu surat beliau kepada saya, disebutkan bahwa Letnan Kolonel Soeharto adalah 'bunga pertempuran'."
Adalah sejarah sebagai dinamika masa lalu tentang sebuah peristiwa, merupakan interaksi  dan dialektika tokoh tokoh yang terlibat  dalam satu peristiwa yang menjadi sejarah. "Sejarah adalah guru kehidupan," kata filsuf Yunani Tullius Cecero. Peristiwa apapun yang terjadi di masa lampau adalah pembelajaran yang membawa pesan  untuk melangkah ke  masa depan yang lebih baik. Dari sejarah kita belajar. Â
Saya akhiri tulisan pendek ini dengan mengutip potongan kata pengantar  Budayawan Radhar Panca Dahana (almarhum) di buku saya, 100 Tahun Pak Harto; "Karena itu, sejarah sudah mestinya ditegakkan seperti tiang bendera besi yang lurus lempang, bukan rumput atau benang basah yang meliuk atau bengkok hanya dengan tiupan angin kecil. Suharto saya kira mesti diperiksa, dipelajari dan dinilai kembali secara obyektif, berdasarkan data-data obyektif, menempatkannya secara proporsional dalam sejarah bangsa ini. Sebagaimana dulu Suharto melakukan pada pendahulunya. Sebagaimana seharusnya bangsa yang beradab, atau bangsa yang ingin mengembalikan keluhuran adabnya. Dengan memulihkan secara profesional pemimpin besar (sebagaimana banyak pengakuan dari pelbagai negarawan dunia) Suharto, sesungguhnyalah kita juga memulihkan keadaban kita agar tidak lebih jatuh dari kenadiran yang mencekam saat ini." []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H