Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Putri Proklamator Akan Makar?

8 Desember 2016   09:32 Diperbarui: 8 Desember 2016   09:46 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda rumusan demokrasi  konsep John Locke dan Montesquie dengan demokrasi yang dirumuskan oleh para pendiri Republik Indonesia---disebut “Sistem Sendiri”.

"Sistem Sendiri” menstruktur Majalis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi (trias politica-pembagian kekuasaan setara antara eksekutif, legislatif, yudikatif) yang anggotanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-legislatif), dipilih oleh rakyat, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, tidak dipilih melainkan ditunjuk. Mengapa ada yang ditunjuk? Karena kelompok minoritas,   etnis tertentu---suku anak dalam, golongan atau kumpulan---mereka yang tidak berafiliasi pada parpol  harus terwakili di MPR sebagai representasi atau penjelmaan perwakilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke 4 Pancasila).                                                                   

UUD ’45 Proklamasi adalah hasil perenungan dan pemikiran bijak dan bajik pendiri bangsa berpuluh tahun di tempat pembuangan di Boven Digoel, Ende, Banda Naere, dan di sel-sel sempit di penjara  Banceuy, Sukamiskin, Cipinang, Glodok, Kalisosok,   dan di penjara-penjara di Belanda. Buah pikir “jenial” yang menghasilkan mahakarya (master-piece)---yaitu “konstitusi” yang disusun dengan tingkat nalar prima oleh para pendiri bangsa (Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Mr. A.A. Maramis, KH Wahid Hasyim, dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Ahmad Soebardjo, Oto Iskandar Dinata, Ki Bagus Hadikusumo, dkk),  sebagai patokan hukum dan politik tertinggi---sebagai monumen hukum dan politik yang menaungi Republik Indonesia.                                   

Sangat disayangkan, master-piecekarya negarawan pendiri bangsa,   dirubah di sidang MPR 1999 hingga 2002 oleh sekedar para politisi di Senayan. Sepatutnya peristiwa yang menimpa Rahmawati  disikapi dengan membentuk Lembaga Konstitusi, semacam Konstituante---yang anggotanya terdiri dari akedemisi, bukan politikus---mengkaji dengan sungguh-sungguh UUD  amandemen. Atau lakukan referendum---tanyakan langsung kepada rakyat---karena rakyat yang merasakan apakah UUD amandemen membuat kemashalatan atau kemudharatan untuk rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun