Tanggal 2 Desember, polisi menangkap 10 orang dengan tuduhan makar---tidak tanggung-tanggung, mereka dijerat pasal 107 juncto pasal 110 juncto pasal 87 KUHP untuk 8 orang, dan 2 orang dijerat pasal 28 UU ITE. Yang dituduh makar antara lain; Rahmawati Soekarno Putri, Kivlan Zen, Adityawarman Taha, Jamran, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas. Tuduhan “makar” tidak main-main---dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “makar” bermakna; “perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah”. Satu tuduhan yang sangat serius.
Tentunya polisi telah memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menangkap mereka dan menjerat dengan pasal yang hukuman maksimalnya penjara selama 15 tahun---bahkan penjara seumur hidup, terlebih salah seorang adalah putri Proklamator yang memerdekakan bangsa ini: Rahmawati Soekarno Putri.
Menjadi dilematis jika benar dugaan putri proklamator yang memerdekakan bangsa ini berencana berbuat makar pada bangsa yang dimerdekakan oleh bapaknya. Belum genap 24 jam, polisi memutuskan tidak melakukan penahanan terhadap Rahmawati dan enam orang lainnya, kecuali tiga orang yang dianggap tidak kooperatif. Pemeriksaan akan dilanjutkan hingga bermuara pada persidangan.
Setelah sidang kasus kopi bersianida diliput langsung oleh beberapa stasiun telivisi, mungkin disambung pada sidang dugaan penistaan agama oleh Ahok---sidang dugaan makar Rahmawati Soekarno Putri tidak kalah menariknya jika juga persidangan kasusnya disiarkan langsung oleh stasiun televisi.
Setelah diberikan penangguhan penahanan, 7 Desember---Rahmawati mengatakan: "Saya memang secara konsisten ingin menyampaikan petisi tentang kembalikan UUD 45 ke yang asli, karena UUD yang sudah empat kali di tanda tangani Megawati amandennya menjadikan Undang-Undang kita bersifat liberal dan kapitalistik”. Rahmawati juga menegaskan bahwa ia tidak sepakat dengan Sri Bintang yang berkehendak melengserkan pemerintahan Jokowi-JK, dan membentuk pemerintahan transisi.
Patut disimak, untuk kembali ke UUD 1945 asli hanya dapat dilakukan atau diputuskan oleh Sidang Paripurna MPR dalam bentuk amandemen ke lima. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD (pasal 2, ayat 1, UUD 1945). Jika kembali ke UUD 1945 asli maka lembaga DPD dibubarkan karena UUD 1945 asli menyebut anggota MPR terdiri dari anggota DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah. Pertanyaannya, apa mungkin anggota DPD mendukung kembali ke UUD 1945 asli yang membuat lembaga DPD tidak ada? Karena itu, petisi yang akan disampaikan Rahmawati ke MPR---akan sangat sulit dilaksanakan oleh lembaga tersebut. Karenanya, dugaan menunggangi aksi super damai 212 untuk menduduki gedung MPR seperti terjadi pada bulan Mei 1998---pada waktu itu sebagai Panglima ABRI Wiranto, kini Menko Polhukam---langkah polisi mencegah tidak terjadi seperti peristiwa Mei 1998, sudah tepat.
Baik juga disimak fase perumusan dasar negara Indonesia merdeka yang mulai dibicarakan pada persidangan pertama Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia---BPUPKI (29 Mei-1Juni 1945). Sesungguhnya, pada fase itu, sudah terjadi berdebatan intelektual dan lalu-lintas pikiran diantara anggota BPUPKI, dilanjutkan di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), mengenai dasar negara, bentuk negara, serta sistem politik Indonesia merdeka.
Dalam perdebatan itu, pakar hukum tata negara Prof. Dr. Mr. Soepomo mendalihkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menjiplak sistem parlementar yang banyak dianut oleh negara-negara di Eropa kontinental---bukan pula sistem presidensial ala Amerika yang berkiblat pada trias politica absolut---melainkan memakai “Sistem Sendiri”.
Sedangkan Drs. Mohammad Hatta tegas menolak sistem pemilihan ‘one man one vote’, karena tidak dapat disetarakan atau disamakan antara suara seorang profesor doktor dengan seorang buta huruf. Pada awal kemerdekaan, 90% rakyat Indonesia masih buta huruf---70 tahun merdeka, sekitar 70% hanya tamat Sekolah Menengah Pertama.
Sejak Undang-Undang Dasar ’45 Proklamasi dirubah, sistem politik yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa---‘Sistem Sendiri’---berubah menjadi sistem ‘demokrasi liberal’.
Sistem ini mencuat pada abad ke 2 sebelum Masehi sebagai perlawanan rakyat pada waktu itu---merubah monarki menjadi republik, yang digagas oleh Plato. Kemudian dikreasi oleh John Locke dan Montesquie pada abad ke 17 dikenal dengan Trias Politica(pembagian kekuasaan setara). Sedangkan Pancasila merumuskan: “Kerakyatan (bukan ‘kekuasaan rakyat’) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Berbeda rumusan demokrasi konsep John Locke dan Montesquie dengan demokrasi yang dirumuskan oleh para pendiri Republik Indonesia---disebut “Sistem Sendiri”.
"Sistem Sendiri” menstruktur Majalis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi (trias politica-pembagian kekuasaan setara antara eksekutif, legislatif, yudikatif) yang anggotanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-legislatif), dipilih oleh rakyat, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, tidak dipilih melainkan ditunjuk. Mengapa ada yang ditunjuk? Karena kelompok minoritas, etnis tertentu---suku anak dalam, golongan atau kumpulan---mereka yang tidak berafiliasi pada parpol harus terwakili di MPR sebagai representasi atau penjelmaan perwakilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke 4 Pancasila).
UUD ’45 Proklamasi adalah hasil perenungan dan pemikiran bijak dan bajik pendiri bangsa berpuluh tahun di tempat pembuangan di Boven Digoel, Ende, Banda Naere, dan di sel-sel sempit di penjara Banceuy, Sukamiskin, Cipinang, Glodok, Kalisosok, dan di penjara-penjara di Belanda. Buah pikir “jenial” yang menghasilkan mahakarya (master-piece)---yaitu “konstitusi” yang disusun dengan tingkat nalar prima oleh para pendiri bangsa (Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Mr. A.A. Maramis, KH Wahid Hasyim, dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Ahmad Soebardjo, Oto Iskandar Dinata, Ki Bagus Hadikusumo, dkk), sebagai patokan hukum dan politik tertinggi---sebagai monumen hukum dan politik yang menaungi Republik Indonesia.
Sangat disayangkan, master-piecekarya negarawan pendiri bangsa, dirubah di sidang MPR 1999 hingga 2002 oleh sekedar para politisi di Senayan. Sepatutnya peristiwa yang menimpa Rahmawati disikapi dengan membentuk Lembaga Konstitusi, semacam Konstituante---yang anggotanya terdiri dari akedemisi, bukan politikus---mengkaji dengan sungguh-sungguh UUD amandemen. Atau lakukan referendum---tanyakan langsung kepada rakyat---karena rakyat yang merasakan apakah UUD amandemen membuat kemashalatan atau kemudharatan untuk rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H