Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia, Republik Salah Nama?!

6 Mei 2016   20:47 Diperbarui: 6 Mei 2016   21:05 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Apalah arti sebuah nama?”, ujar   William Shakespeare.  “That which we call a rose by any other name would smell as sweet”---Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum. Namun demikian, Shakespeare pasti “ngamok” jika namanya dipanggil:  “Monkey”.

Kusno menjadi Sukarno

Tanggal 6 Juni 1901, kala fajar menyingsing, lahir bayi mungil dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai---bayi itu diberi nama Kusno. Sejak kecil hingga usia belasan tahun Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah  saat ia berumur sebelas tahun. Sakit thypus menyerang Kusno sangat parah—hingga keluarga dan kerabat menyangka Kusno sudah diambang sakratul maut.                                                                          

Sukemi yang gandrung pada  lakon Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu---suatu hari berkata kepada Kusno; “Kus, namamu akan aku ganti dengan Karna.  Karna adalah salah seorang pahlawan  dalam cerita Mahabharata.” Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “a” menjadi “o”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi Karno---Sukarno. Setelah berganti nama,  Sukarno tidak lagi sakit-sakitan. Sukarno  kemudian menjadi Proklamator Kemerdekaan, Presiden pertama Republik Indonesia. Apakah jika ia tidak berganti nama akan menjadi tokoh sebesar itu? Yang pasti---kita tidak kenal Bung Kusno, tapi Bung Karno.                                                                                                                                 

Metafisika dan Indonesia

Nama dibutuhkan untuk memanggil seseorang atau objek. Nama bukanlah sekedar kata atau kumpulan huruf, melainkan mengandung ideasi dan energi. Ilmu fisika menyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk nama.

Seorang pakar yang sudah bergelut di dunia metafisika selama 20 tahun, Arkand Bodhana Zeshaprajna, doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat---mengusulkan agar nama negara Indonesia diganti menjadi Nusantara. Nama Indonesia dalam dunia metafisika tidak memberi energi yang positif bagi bangsa ini.                                             

Arkand mendalilkan bahwa dalam pandangan metafisika---nama Indonesia hanya memiliki Synchronicity Value sebesar 0.5. Synchronicity Value adalah paramater dalam “Arkand Secret Code” untuk menganalisa sebuah nama. Rentang Synchronicity Value berada di kisaran 0,05 hingga 1,0. Sedangkan Synchronicity Value yang positif berada di angka 0,8 hingga 1,0. Nama Indonesia sendiri kata Arkand hanya memiliki Synchronicity Value 0,5.

Paramater lain yang digunakan  adalah Coherence Value. Coherence Value menunjukkan struktur kode-kode dalam diri sendiri yang saling berkaitan satu dengan kode yang lainnya. Rentang Coherence Value berada di kisaran 0,1 hingga 1,0. Sedangkan nilai positifnya di kisaran 0,7 hingga 1,0. Indonesia hanya memiliki Coherence Value sebesar 0,2. Hal ini jauh dari bagus sehingga nama Indonesia harus diganti.                                                                     

Asal kata Indonesia

Adapun nama Indonesia muncul pertama kali di masa penjajahan Belanda. Pencetus nama Indonesia  adalah George Samuel Windsor Earl, seorang pengacara kelahiran London, yang bersama James Richardson Logan, seorang pengacara kelahiran Scotlandia, menulis artikel tentang Indonesia di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia,pada tahun 1850.                                             

Mereka  menamakan penduduk Hindia-Belanda bagian barat yang berasal dari Proto-Malaya (Melayu tua) dan Deutero-Malaya (Melayu muda), sebagai Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India---Nesia, bahasa Yunani, artinya kepulauan). Sedangkan penduduk di wilayah Hindia-Belanda bagian timur masuk ke dalam kategori Melanesians(Mela = hitam. Melanesia = kepulauan orang-orang hitam). Oleh karena itu, Windsor Earl  kemudian cenderung menggunakan istilah Melayu-nesians, untuk menamakan penduduk Hindia-Belanda bagian barat. Dan kemudian Richardson Logan menyebut kata  Indunesia---Indos dan Nesos, keduanya berasal dari bahasa Yunani.

Selanjutnya Adolf Bastian, seorang dokter dan sekaligus etnolog Jerman, yang mempopulerkan nama Indonesia ketika menerbitkan laporan perjalanan dan penelitiannya di Berlin, yang diterbitkan dalam buku 5 jilid (1864 – 1894) dengan judul “Indonesien, oder die Inseln des malaysischen Archipels”.                                             

Lain lagi Eduard Douwes Dekker dalam bukunya “Max Havelaar” menyebut Hindia-Belanda dengan nama Insulinde, variasi bahasa Belanda untuk Kepulauan India. Ketika Indische Partij (Partai Hindia)  yang dibuat oleh saudara Douwes Dekker dilarang oleh Pemerintah Hindia-Belanda tahun 1913, kemudian para anggotanya mendirikan Partai Insulinde.

Baik Indunesia, Indonesien atau Insulinde semua artinya adalah Kepulauan India, untuk menunjukkan identitas pribumi yang hidup di bagian barat wilayah Hindia- Belanda, sedangkan yang hidup di wilayah timur –Flores, Timor, Maluku dan Papua-sebenarnya adalah orang-orang Melanesia (kepulauan orang-orang hitam).

Jadi,  kata Indonesia yang sampai sekarang digunakan oleh Republik Indonesia artinya tak lain adalah: “Kepulauan Hindia”. Apakah kita merasa bahwa negeri ini memang tepat dinamakan "Kepulauan Hindia", atau menilai---negeri ini bukanlah bagian dari India!

Para pendiri bangsa ini pada awal gerakan kemerdekaan ingin meninggalkan dan menanggalkan nama Netherlands-Indië, yang artinya Hindia-Belanda. Nama ciptaan penjajah ini untuk membedakan dengan British-India, yaitu India yang dijajah oleh Inggris. Mungkin kurang mencermati arti dan dampaknya di kemudian hari---para pendiri bangsa malah memilih kata “Indonesia”, untuk: Bangsa, Bahasa, Tanah Air, pada  28 Oktober 1928, di era penjajahan Belanda.

Sebelumnya, tahun 1917,  Prof Cornelis van Vollenhoven, mengusulkan  mengganti kata “Indisch”   menjadi “Indonesisch”.Inlander (pribumi) menjadi Indonesier (orang Indonesia). Tahun 1922 Indische Vereeniging(Perhimpunan Hindia) resmi menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), didirikan oleh antara lain Mohammad Hatta.  Kemudian kata Indonesia digunakan oleh Bung Karno dalam pembelaannya yang fenomenal---“Indonesia Menggugat”, dihadapan peradilan kolonial, tahun 1930.

Kapan Indonesia lahir

Apakah benar Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Jawabnya, tidak! Yang dijajah Belanda adalah gugusan pulau-pulau bernama Hindia-Belanda, bukan Indonesia. Belanda  menjajah kerajaan-kerajaan yang berserak di Hindia-Belanda yang berakhir pada 9 Maret 1942, Belanda ditaklukan Jepang.

Lalu sejak kapan eksitensi Indonesia? Tepatnya pukul 10.10 tanggal 17 Agustus 1945—Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. De fakto saat itulah  Indonesia lahir---de jure menyusul dengan pengakuan beberapa negara yang dimulai oleh Mesir.

Era Perang Kemerdekaan

Bagaimana nasib Indonesia setelah lahir? Sangat memprihatinkan! Sejak kelahirannya (proklamasi) sampai akhir tahun 1949 (hampir 5 tahun), terjadi perang kemerdekaan---perang mempertahankan kemerdekaan melawan  Belanda dibantu Sekutu yang berkehendak menjajah kembali koloninya bernama Hindia-Belanda. Mendapat perlawanan dari TNI dan Rakyat, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949---bukan 17 Agustus 1945.                                             

Pengakuan kedaulatan hasil KMB juga memutuskan pemerintahan yang akan dibentuk (RIS), harus menanggung utang pemerintah Hindia-Belanda sebesar 3 ½ miliar gulden karena RIS mengambil alih kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Selain harus berperang melawan Belanda, keadaan Indonesia di periode ini bertambah runyam dengan terjadinya pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948---dan diproklamirkan Negara Islam Indonesia-Darul Islam, oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949. 

Kartosuwiryo baru ditangkap 13 tahun kemudian, tahun 1962---dan dihukum mati. Sedangkan pemberontakan PKI di Madiun berhasil ditumpas dalam tempo dua bulan, sayang tidak ada keputusan politik dari pemerintah untuk membubarkan partai ini dalam situasi bangsa Indonesia menghadapi agresi militer Belanda kedua, hingga PKI kembali berontak pada 30 September 1965.

Era Demokrasi Liberal

Dari tahun 1950 sampai tahun 1959, berdasarkan UUD Sementara tahun 1950, Indonesia menganut sistem parlementer---demokrasi liberal. Dengan sistem tersebut, kerap terjadi tawuran antar partai politik di parlemen---kabinet jatuh bangun, bahkan ada kabinet yang berusia kurang dari 3 bulan. Di periode ini hampir tidak ada pembangunan---ditambah lagi terjadi pemberontakan Andi Aziz, Kahar Muzakar, PRRI/Permesta, Daud Beureh, DI TII---sampai akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit presiden pada 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Akibat kegaduhan politik sepanjang dekade tahun limapuluhan, berdampak tidak ada pembangunan---rakyat tetap terbelit kemiskinan. 

Era Demokrasi Terpimpin

Sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 sampai tahun 1967, kita menganut demokrasi terpimpin. Beberapa pemberontakan sudah berhasil dipadamkan, namun DI TII Kartosuwiryo dan Daud Bereuh, serta pemberontakan Kahar Muzakar belum berhasil ditumpas.  Berbagai masalah di dalam negeri tidak tertangani---ditambah masalah Irian Barat yang menurut KMB akan dirundingkan antara pemerintah Indonesia dan Belanda mengalami jalan buntu.                                                                

Kemudian Presiden Sukarno mencetuskan Trikora: tiga komando rakyat---merebut Irian Barat dari tangan Belanda dengan kekuatan militer. Untuk itu pemerintah membeli secara utang dari Rusia peralatan perang besar-besaran hingga Angkatan Perang kita pada waktu itu menjadi angkatan perang yang terkuat dibelahan selatan khatulistiwa. Selanjutnya Presiden Sukarno menetapkan Mayor Jenderal Suharto sebagai Panglima Mandala untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Komando Mandala yang terdiri dari unsur tiga matra---dalam posisi combat ready merebut Irian Barat, Belanda melalui PBB menyatakan mengembalikan  Irian Barat melalui perundingan. Tanggal 1 Mei 1963, badan PBB---UNTEA---menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.                                                                                     

Selesai masalah Irian Barat, tanggal 3 Mei 1964, Presiden Sukarno mencetuskan Dwikora---dalam rangka mengganyang yang disebut negara boneka Malaysia.     Pada saat operasi menyerang Malaysia berlangsung, terjadi pemberontakan G30S/PKI. Karena disibukan masalah-masalah dalam negeri yang tidak kunjung usai, dan negara sibuk dengan perang (Trikora-Dwikora),  pada peralihan kekuasan dari Presiden Sukarno ke Pejabat Presiden Suharto, tahun 1967, laju inflasi mencapai 650%.

Era Demokrasi Pancasila

Suharto melanjutkan kepresidenan dari Sukarno dalam kondisi perekonomian yang sedemikian rusak. Untuk menggambarkan  betapa rusaknya perekonomian dengan tingkat inflasi sebesar 650%---bandingkan dengan tingkat inflasi pada kisaran 10% (dua digit). Beberapa tahun terakhir ini dimana inflasi selalu satu digit---pernah inflasi naik mendekati dua digit, sektor fiskal dan moneter langsung terpengaruh, termasuk sektor riil, pasar uang dan pasar modal---yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat---yakni penurunan daya beli. Dapat dibayangkan betapa hancur perekonomian suatu negara mengalami inflasi sebesar 650%.

Setelah berhasil meredam inflasi, membenahi sektor fiskal dan moneter yang rusak parah, Presiden Suharto mulai pembangunan dalam koridor trilogi yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Selama 30 tahun tingkat pertumbuhan pada kisaran 7 sampai 9 persen hingga Indonesia dijuluki Macan Asia bersama Korea Selatan dan India. Hingga terjadi krisis moneter di Thayland pada Juli 1997, berimbas paling parah ke Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto berhenti digantikan oleh BJ Habibie.

Era Kembali ke Demokrasi Liberal--Reformasi

BJ Habibie menjadi presiden dalam kondisi krisis moneter---inflasi 60%. Untuk mengatasi, Presiden BJ Habibie mengundang Gubernur Bank Sentral Jerman---memprogram pembenahan ekonomi. Dalam alam yang disebut era reformasi, Presiden BJ Habibie mengadaptasi sistem demokrasi yang malah kembali pada tahun limapuluhan---demokrasi liberal. Kemudian ia digantikan oleh Abdurraman Wahid. Lanjut ke Megawati, SBY, dan kini Presiden Joko Widodo.                                   

Apa yang terjadi selama 16 tahun era reformasi? Terlalu nyelimet untuk memaparkan dan  membandingkan dengan era sebelumnya. Yang mudah dicerna secara sederhana adalah; Pada waktu Presiden Suharto  mengantikan Presiden Sukarno utang Indonesia 3 ½ miliar dolar. Peralihan dari Presiden Suharto ke Presiden BJ Habibie utang Indonesia 58 miliar dolar---16 tahun era reformasi, utang Indonesia kini 4.234 triliun rupiah atau  setara dengan 372 miliar dolar. Dengan nilai aset seluruh BUMN pada 2016 sebesar 5.395 triliun rupiah, artinya, utang Indonesia sekarang sebesar  78,5% dari seluruh aset BUMN yang kita miliki. Tidak perlu teknokrat ekonom  yang brilian untuk mewaspadai   bahwa utang Indonesia sudah di ambang batas yang sangat-sangat mengkhawatirkan. Jika laju pertumbuhan utang sebesar 20%---3 tahun ke depan utang Indonesia sudah melampoi seluruh nilai aset BUMN. Apa maknanya? Jangan samapai Indonesia bangkrut seperti dialami Yunani.

70 Tahun Merdeka

Secara singkat dipaparkan di atas  apa yang terjadi  selama 70 tahun Indonesia merdeka. Pada kenyataannya, Indonesia kini jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara yang merdeka jauh kemudian setelah Indonesia merdeka  seperti Malaysia, Singapura, India, bahkan hanya setara dengan Vietnam yang selama lebih dari 20 tahun menjadi medan pertempuran---negerinya hancur porak-poranda akibat  bom yang dijatuhkan di Vietnam lebih banyak dari bom yang dijatuhkan selama perang dunia kedua.

Apa yang salah dengan republik ini? Negeri yang berlimpah sumber daya alam tapi tetap sebagai negara miskin---pengekspor babu terbesar di dunia. Apakah sistem politik yang salah? Apakah sistem budaya yang salah implementasi? Apakah sumber daya manusia yang tidak mumpuni? Berbagai analisa telah dibahas dan ditulis oleh berbagai pakar namun nasib republik ini  bergeming. Shakespeare mengatakan, apalah arti sebuah nama---dapat dimaknai bahwa nama bukanlah paten suci tak terganti. Andai Sukemi tetap menamakan anaknya Kusno---apakah Kusno akan sedahsyat Bung Karno? Pakar yang bergelut di dunia metafisika  Arkand Bodhana Zeshaprajna---beri saran mengganti nama Indonesia dengan nama  yang telah 1000 tahun digunakan oleh nenek moyang kita: Nusantara.                                                  

Banyak Negara Mengganti Nama

Seandainya bangsa ini sepakat untuk meninggalkan nama yang diciptakan oleh orang Eropa, maka Indonesia bukanlah negara pertama yang mengganti nama peninggalan masa penjajahan. Faktanya banyak negara setelah merdeka mengganti nama yang diciptakan atau diberikan oleh penjajahnya, seperti Ceylon menjadi Sri Lanka, Burma menjadi Myanmar, Indo-Cina menjadi Vietnam, Rhodesia menjadi Zimbabwe, Gold Coast menjadi Ghana, South-West Afrika menjadi Namibia.

Selain Indonesia, negara yang masih kekeh menggunakan nama warisan penjajahnya adalah Philipina (Filipina). Nama ini dibuat ketika orang-orang Spanyol menguasai wilayah tersebut, sebagai persembahan kepada raja Spanyol, Philip, jajahan itu diberi nama Philipina. Nasib Indonesia pun 11-12 dengan Philipina. Bidang politik sama-sama gaduh. Bidang ekonomi sama-sama negara pengutang dan masuk negara berkembang pada tataran bawah. Di bidang TKW sama-sama pengekpor. Philipina punya Abu Sayyap, Indonesia ada Santoso.

Grup band legendaris Koes Plus sudah sejak dulu menyuarakan  kedigdayaan Nusantara melalui syair-syair lagunya. Kapankah kedigdayaan yang disuarakan Koes Plus dapat  terwujud? Kapan Indonesia terbebas dari belenggu kemiskinan? Mungkin jika bekas tanah jajahan Belanda yang bernama Hindia-Belanda---yang oleh George Samuel Windsor Earl, James Richardson Logam, dan Adolf Bastian, yang dinamai Indonesia---menjadi Republik Nusantara. Wallahualam bisawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun