Mohon tunggu...
Nonik Widyaa
Nonik Widyaa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Televisi dan Bisnis: Kualitas di Bawah Kendali Modal

11 Desember 2018   15:30 Diperbarui: 11 Desember 2018   15:37 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Globalisasi media barat telah menjadi pengaruh besar dalam membentuk budaya media internasional. Meskipun ada kekuatan untuk konvergensi dan homogenisasi, penyebaran model televisi komersial yang profesional di Amerika juga telah membawa perubahan menguntungkan bagi beberapa industri media nasional dan regional yang mengarah pada kebangkitan nasionalisme budaya. 

Dengan perkembangannya tahun 1980-an televisi telah mendominasi layar media hampir disetiap bagian dunia dan ikon-ikon televisi global seperti CNN dan MTV telah menjadi tersebar dimana-mana. Peran televisi dalam konstruksi identitas sosial dan budaya sekarang jauh lebih kompleks daripada di era penyiar nasional tunggal dan ruang publik bersama, yang menjadi ciri khas televisi disebagian negara pada tahun-tahun pasca perang. 

Meskipun dominasi barat terhadap media global dan industri komunikasi tetap luar biasa, interaksi budaya antara produk media barat dan masyarakat non-barat sangat kompleks. Jaringan televisi lintas batas baru muncul, beberapa dari pinggiran ke pusat metropolitan media global diindustri komunikasi. 

Industri media di Indonesia sendiri tidak lagi sama sejak munculnya televisi swasta diakhir tahun 1980-an. Semakin terkaitnya Indonesia pada arus modal internasional seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dunia, telah menimbulkan kekhawatiran pemerintah kala itu. Keberadaan televisi swasta yang bergerak pada industri komersial menggeser eksistensi Televisi nasional (TVRI) yang pada saat itu tidak lagi memonopoli informasi diindustri media sejak terjadinya ledakan perkembangan teknologi didaerah-daerah. 

Penurunan kualitas tayangan dan pembatasan masuknya iklan ditelevisi nasional juga turut menjadi faktor untuk melahirkan televisi-televisi swasta. Ditelevisi swasta, tayangan-tayangan yang sebelumnya tidak memiliki makna diolah menjadi lebih bermakna dan dijadikan "nilai tukar" dengan menjual tayangan tersebut kepada para pengiklan. 

Kemudian dengan laju tayangan yang lebih banyak didasarkan pada orientasi profit ini sebenarnya menjadikan kualitas industri media Indonesia tidak cukup baik. Dalam hal ini para pekerja media lebih banyak dituntut untuk bekerja demi tujuan memperoleh kapital yang ditargetkan. Oleh karena orientasi profit besar-besaran inilah yang kemudian memunculkan konglomerasi media, yakni bagaimana para pemilik media tersebut tidak hanya berkuasa pada satu jenis media saja namun juga terus mengembangkan bisnisnya pada media lain. 

Misalnya pemilik media televisi melakukan akuisisi media konvensional seperti surat kabar, dan majalah maupun sebaliknya. Atau ketika pemilik media menggabungkan perusahaan dari berbagai jenis industri untuk mendapatkan kontrol penuh dengan keuntungan yang berlipat dan mengurangi risiko kerugian disalah satu pasar media.

Televisi menjadi industri yang padat modal, sehingga menjadi ladang bisnis yang begitu menggiurkan namun memiliki siklus investasi yang sangat pendek karena teknologi cepat berganti. Disisilain, risiko program yang tidak laku secara komersial juga cukup besar terlebih jika dilihat dari pasar sumber daya manusianya. 

Namun siklus bisnis tetap disikapi secara positif oleh para pelakunya dengan berbagai cara. Diantaranya melalui preferensi pemirsa yang dibangun melalui branding dan positioning yang kuat secara konsisten sejak lama. Dengan melakukan impor tayangan asing, seperti film-film barat, telenovela, kartun, maupun program lainnya ataupun membuat serialnya dengan kearifan lokal menjadi salah satu strategi pelaku media untuk menjaga eksistensinya dipasar media. 

Selain itu adalah melalui ketepatan strategi pengelolaan program dan produksi yang menuruti kemauan pasar. Contoh sederhananya, secara umum selera orang Asia adalah drama. Baik di Korea, India, Malaysia, maupun Indonesia memiliki pemirsa yang besar pada genre drama, namun perbedaan kualitas tayangan secara nyata bisa terlihat. Ketika produk tayangan drama korea yang akan ditayangkan sejak awal sudah ditentukan target episode-nya, katakanlah 20 episode tamat kemudian akan mencari judul baru, namun bagaimana dengan industri di Indonesia? 

Sinetron yang ditayangkan di Indonesia ketika mendapatkan respon yang baik dari pemirsanya maka akan dikejar terus demi mempertahankan rating dan kapital yang diperoleh. Yang dipertanyakan kembali adalah kualitasnya, hal ini disebabkan oleh terbatasnya kreativitas dari pekerja industri karena tuntutan mengejar modal. Untuk mengembangkan konten yang berkualitas, pelaku bisnis mengakui bahwa pentingnya peran modal sebagai penopang utamanya. 

Sehingga dalam hal ini sebenarnya dari segi kreativitas dan kualitas masyarakat Indonesia tidak kalah dengan luar negeri asalkan masih beriringan dengan kekuatan modal yang besar. Peran televisi dalam periklanan di Indonesia masih mencatatkan kenaikan nilai yang cukup signifikan. Selain itu banyaknya populasi masyarakat dikalangan menengah ke bawah juga menjadi salah satu faktor televisi menjadi media populer dan murah sehingga jalan bisnis baik dari pengiklan yang mampu menjangkau banyak konsumen menjadi terfasilitasi,. Belanja iklan yang sangat tinggi, memberikan keuntungan yang tinggi pula bagi pemilik media swasta. 

Lantas bagaimana dengan kita?

Sementara kita, para penonton televisi akan tetap hanya menjadi pasar yang begitu menggiurkan. Televisi memang seakan lebih "memaksa" penonton untuk mengonsumsi program yang ada, namun hal ini menjadi kebijakan kita untuk mampu memilah mana program-program yang memberikan manfaat ataupun yang tidak bermakna. 

Daftar Pustaka:

Khisan Thissu,Daya.2000.International Communication Continuity and Change.New York Oxford University Press In.

Dan diolah dari berbagai sumber.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun