makan. Padahal biasanya tidak berhenti makan, kadang sampai bingung aku melarangnya. Seperti ada naga raksasa yang ada di dalam perut, yang memakan habis semua makanan yang masuk. Ludes! Hehehe…
Sudah masuk hari ke-5 sejak suamiku nggak sukaBiasanya, setiap 30 menit sekali harus ngemil atau makan berat. Memang sich, makannya cuma dalam porsi kecil saja. Tapi aku cukup kerepotan juga, apalagi kalau minta dimasakin. Dapurku jadi kayak dapur restoran, yang nggak berhenti terima order dari customer.
Beberapa hari ini aku sudah tawarkan berbagai macam masakan, tapi ada saja alasan yang bikin suamiku nggak menghabiskan makanannya. Kemaren minta nasi putih telor ceplok, yang dikasih kecap dan ditaburi bawang goreng. Udah aku masakin, tapi cuma dimakan satu sendok saja. Beberapa saat kemudian minta bihun rebus baso. Segera aku masakin, tapi nggak dimakan juga.
Dua hari lalu minta mie ayam dari warung mie langganan. Cuma diicipin sedikit, setelah itu ditinggal. Dipesenin bubur ayam Cianjur langganan, tapi cuma dimakan dua sendok.
Untungnya suamiku masih mau makan roti gandum dari bakery langganan. Tapi cuma makan secuil, nggak selahap biasanya.
Pagi ini tiba-tiba teringat kedai langganan yang dulu sering kami datangi. Namanya “Kedai Gunung Kidul”, letaknya cukup jauh dari rumahku. Pemiliknya asli dari Gunung Kidul – Yogyakarta, sudah sepuluh tahun lalu hijrah ke Jakarta.
Mereka menyediakan berbagai macam menu khas Yogya seperti Sego Berkat, Bihun Godog, Mie Godog, Bihun Goreng, Mie Goreng, Jadah Tempe, Singkong Goreng, Teh Poci Gula Batu, Wedang Uwuh dan macam-macam sate ala angringan.
“Ay... Siang ini kita ma’em di Kedai Gunung Kidul, yuk. Udah lama kita nggak ke sana, lho”. Hampir setahun yang lalu, terakhir kali kami mampir ke sana.
Sejak suamiku sakit, kami jarang sekali piknik dan jajan ke restoran. Banyak tempat healing dan restoran yang tidak wheel chair friendly. Jadi agak sulit buat suamiku, yang masih sering memakai kursi roda.
“Oh iya bener, kok bisa lupa yaa sama Kedai Gunung Kidul? Tombo kangen Yogya, yuuk yuuuk berangkat”, suamiku semangat banget ingin segera pergi. Jadi obat rindu Yogya, karena kami sudah lama nggak mudik.
Kira-kira pukul 11.00 WIB, kami sudah melaju menembus jalan tol Jakarta Outer Ringroad. Aku yang jadi driver, suamiku duduk di sampingku. Dengan memakai kaca mata hitam dan jaket coklat kesayangannya, suamiku tampak sangat menikmati perjalanan.
Sholat Dzuhur kami rencanakan di masjid besar dekat kedai Gunung Kidul saja. Dulu kami juga biasa singgah untuk numpang sholat. Bener-bener seperti piknik, menyusuri tempat-tempat yang biasa kami kunjungi sebulan sekali.
Setelah menempuh perjalanan kira-kira 40 menit, sampailah kami di lokasi. Kedainya sederhana dan tidak terlalu luas. Bernuansa khas pedesaan, lengkap dengan saung-saungnya. Ada area lesehan di saung luar dan area meja makan di ruangan ber-AC. Kami memilih di area dalam saja dan segera memesan semua menu yang sudah dirindukan.
Pilihan jatuh kepada sego berkat komplit, bihun godog, singkong goreng, jadah tempe dan teh poci gula batu. Tak ketinggalan kerupuk legendar sebagai pelengkap makan sego berkat. Masing-masing menu dipesan satu porsi saja, karena kami akan sharing makan berdua.
Tak lama kemudian singkong goreng, jadah tempe dan teh poci gula batu datang. Singkong gorengnya masih panas, renyah dan empuk. Jadah tempenya persis rasanya seperti jadah tempe di Kaliurang Yogya. Teh poci gula batu disajikan dalam teko gerabah, panasnya bikin kemepyar. Hilang semua kantuk dan sakit kepala. Orang Jawa bilang Nasgitel – panas, legi, kentel. Tehnya panas, manis dan kental. Sedapnya…
Bihun godog menyusul disajikan, dalam mangkok blirik hijau yang dialasi piring blirik hijau.
Perlengkapan makan blirik hijau adalah perlengkapan makan jadul dengan motif loreng/blirik yang khas. Perpaduan warna hijau dan putih, terbuat dari seng yang dilapisi enamel supaya awet dan tahan lama. Enamel ini juga berfungi menghindari terjadinya pengendapan zat kimia berbahaya dalam tubuh.
Asap bihun godog mengepul, tercium harum bumbunya yang unik. Rasanya pas, enak, kuah kaldunya gurih dan suiran ayam kampungnya terasa empuk. Membawaku bernostalgia ketika jajan bihun godog di Alun-alun Selatan Yogya.
Walaupun suasana saat ini panas terik, tapi kami tetap menikmati sajian teh poci panas gula batu dan bihun godog dengan asap mengepul. Tak apa semua serba panas, tapi tetap sejuk banget di hati… Hehehe…
Ketika kami baru saja selesai menikmati sruputan terakhir bihun godog, sego berkat komplit-nya datang. Dengan dibungkus daun jati, sego berkat disajikan di atas piring lidi berwarna coklat.
Kami buka perlahan, terlihat nasi putih pulen yang ditaburi bubuk serundeng melambai-lambai. Mengajak kami untuk segera menikmati, walaupun baru selesai makan bihun godog.
Lauknya soun tumis cabe hijau, tempe orek, daging semur dan telor pindang setengah butir. Nggak ketinggalan sambel khas Kedai Gunung Kidul yang rasanya bikin mata langsung melolot, saking enak dan pedasnya.
Mission accomplished!
Kami sangat kenyang dan bahagia. Misi tombo kangen sudah terlaksana dengan baik. Semua makanan ludes dengan harga Rp85.000 saja untuk semua pesanan. Suamiku makan dengan lahapnya karena enak banget dan juga lapar. Maklumlah, sudah hampir seminggu melancarkan mogok makan.
Masyarakat Yogya sudah tidak asing dengan sego berkat, yang biasa hadir saat acara selamatan. Ada makna yang terkandung dalam sebungkus sego berkat yang tadi kami nikmati. Harapannya adalah nasi ini membawa berkah, baik bagi pemilik hajat atau orang yang menerimanya.
Insyaa Allah berkah Allah selalu menyertai kami, bisa pulang lagi ke Yogya dalam waktu dekat. Sebagai tombo kangen – pengobat selaksa rindu yang ada di hati. Aamiin…
Teringat kata-kata puitis pak Joko Pinurbo: “Yogya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan”.
-Jakarta, 24 September 2024-
-nonk-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI