Mohon tunggu...
Nonk Mardjono
Nonk Mardjono Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Tertarik masalah pendidikan, kesehatan, keluarga, wisata, kuliner, kebudayaan dan lain-lain. Mencoba menulis cerita fiksi, mudah-mudahan segera terwujud. Aamiin...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah yang Membebaskan

28 September 2024   16:17 Diperbarui: 28 September 2024   16:32 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SAI - Kampus Mampang

Hari ini adalah jadwal rutin suamiku untuk datang ke klinik terapi getar saraf. Sebagai salah satu ikhtiar untuk menstimulus saraf otak dan saraf ginjalnya. Klinik cukup jauh dari rumah kami, kira-kira 45 menit perjalanan. Kemaren aku sudah daftar by wa, jadi sudah mendapatkan nomer antrian dan perkiraan waktu terapinya. Ketika sampai di klinik, masih ada 3 pasien yang belum diperiksa Shifu -- sebutan untuk terapis getar saraf.

Tak lama setelah duduk di ruang tunggu, datanglah serombongan keluarga. Ternyata beliau bu Dwi bersama anak bungsunya. Tak ketinggalan Lintang gadis kecil berusia 5,5 tahun -- cucu tercinta, ikut menemani. Suami bu Dwi adalah pasien hemodialisa juga, setiap hari Kamis kami selalu bertemu di RS.

Sambil menunggu giliran, kami ngobrol dengan asyiknya. Aku seneng banget memperhatikan Lintang, ingat anak gadisku yang sekarang berusia 23 tahun. Lintang selalu ceria, matanya besar dan pipinya chubby - persis anakku. Cantik, lucu dan menggemaskan. Dia asyik melipat kertas berwarna hijau, sepertinya akan membuat origami kodok. Ternyata hasil karyanya sudah banyak, disimpan di backpack mungilnya. Asyiklah dia story telling dan bermain dengan kodok-kodoknya yang berwarna warni.

Lintang nggak mau sekolah. Sudah dua sekolah TK yang dia coba, tapi cuma bertahan seminggu saja. Akhirnya mogok, nggak mau berangkat sekolah lagi. Ada saja alasannya -- sekolahnya nggak asyik-lah, mainannya nggak banyak-lah, pelajaran itu-itu aja-lah, aku bosen-lah, dan lain-lain alasan. Guru-guru sudah mencoba membujuk, tapi dia keukeuh nggak mau berangkat sekolah. Lintang tetap lincah, tidak menunjukkan ciri-ciri korban bullying. Nggak tau apa yang sesungguhnya terjadi, semua orang bingung dibuatnya.

Gadis kecil ini memilih untuk ikut nenek dan kakek ke mana-mana, ketika ayah dan bunda pergi ngantor. Senang banget menemani nenek mengurus toko, care banget ketika sekali-kali menemani kakek cuci darah. Atau tetap happy saja jika hanya bermain di rumah nenek.

Kalau Lintang ditanya mau sekolah di mana, dia selalu bilang "Mau sekolah di TK X".

TK X - aku sebut saja TK Sunshine, adalah bilingual school yang terletak di Selatan Jakarta. Gedungnya megah, setiap hari dilewati Lintang ketika akan pergi ke rumah nenek. Sekolah itu terkenal dengan uang pangkalnya yang sangat mahal. Untuk level TK saja, masuk ke sana harus merogoh kocek dengan sangat dalamnya - mencapai hampir ratusan juta rupiah. SPP-nya jutaan rupiah setiap bulan, belum termasuk catering. Orang tua Lintang belum berkemampuan jika menyekolahkan di sana.

Teringat aku dengan Sekolah Alam di mana anak-anakku dulu bersekolah sejak Playgroup sampai SMP. Sekolahnya unik, nggak ada gedung kelas berdinding, nggak pakai seragam, biasa pakai sepatu boot dan halaman sekolahnya luas dikelilingi kebun, kolam dan sungai. Untuk kampus kelas kecil -- dari kelas PG sampai kelas 4 SD, bangunan kelas adalah saung kayu bertingkat. Sedangkan untuk kampus kelas besar -- dari kelas 5 SD sampai dengan SMA, bangunan kelas adalah saung besi bertingkat. 

Anak-anakku pindah ke sekolah lain ketika meneruskan SMA, mereka penasaran ingin keluar dari comfort zone. Akhirnya kami ijinkan merantau ke Yogyakarta sejak SMA sampai kuliah. Walaupun anak-anak tidak bersekolah di Sekolah Alam lagi, namun sampai sekarang persaudaraan kami di komunitas Sekolah Alam tetap terjalin amat erat.

Dikutip dari berbagai sumber, Sekolah Alam adalah sekolah alternatif yang mengajarkan anak untuk langsung berinteraksi dengan lingkungan alam. Jadi, anak tidak hanya mendapatkan pelajaran dari dalam kelas, tapi juga dari luar kelas. Dengan harapan, sekolah mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Dan juga menyadarkan anak, bahwa belajar adalah sebuah kebutuhan yang menyenangkan. Anak dapat menjadi lebih kreatif dalam berekspresi dan mengungkapkan keinginan. Anak juga diarahkan untuk menemukan bakat dan kemampuannya.

Teringat lagi ketika anak gadisku masih TK. Pada suatu hari, guru memberikan sehelai kertas dengan berbagai macam gambar barang. Ada payung, sepatu boot, es krim, kue, baju renang, jas hujan, hewan peliharaan, tanaman dan lain-lain. Pertanyan yang diajukan guru adalah, "Waktu turun hujan, teman-teman sering melakukan apa? Tolong dikasih tanda, gambar yang teman-teman pilih yaa."

Ini jawaban anak gadisku: "Aku pilih baju renang, karena kalau hujan aku biasa mandi hujan ditemani ayah. Aku pakai baju renang, biar bebas main hujannya". Yaaa, memang itu yang dia lakukannya. Kalau anak-anakku main hujan, mereka akan memakai baju renang full body seperti baju penyelam. Mereka bebas berlari-lari, bermain di bawah hujan dan meluncur di teras rumah laksana main ski air. Setelah puas main hujan, mereka baru masuk ke rumah untuk mandi.

Teman yang lain ada yang memilih gambar es krim. Guru bertanya, "Kenapa kamu pilih es krim?". Dia menjawab, "Karena udara luar dingin. Kalau makan es krim, badanku juga jadi dingin. Biar sama dinginnya dengan di luar". 

Ada lagi anak yang memilih sepatu boot, payung, kue dan lain-lain. Mereka diberikan kebebasan untuk mengungkapkan pikirannya dan menceritakan dasar alasan memilih itu semua. 

Tidak ada jawaban yang dianggap salah oleh guru! 

Kereeen... Bener-bener sekolah yang membebaskan!

Bagaimana anak-anak nggak jatuh cinta dengan metode pembelajaran seperti itu? Mereka merasa diuwongke, diposisikan sebagai individu yang memiliki ide dan pendapat. 

Bagaimana anak-anak nggak rindu dengan sekolah, jika guru-gurunya asyik seperti itu? Guru-guru yang memahami keunikan dan kecerdasan masing-masing anak.

Waaah, pokoknya keren dech. Ini baru satu contoh saja, lho. Masih banyak lagi proses pembelajaran yang menyenangkan seperti itu. Alhamdulillah kami berhasil menemukan sekolah yang cocok untuk anak-anak dan sesuai dengan visi misi kami.

Sekolah bukan tempat penitipan anak!

Namun harus ada kolaborasi dan kerja sama yang sangat kompak antara orang tua dan sekolah, dalam mewujudkan visi dan misi pembelajaran. Lingkungan rumah dan sekolah yang kondusif, memberikan bekal agar anak menjadi pribadi berakhlak mulia, cerdas dan memiliki leadership yang baik.

Diakhir obrolan aku dengan bu Dwi, tak lupa kuselipkan doa tulus "Insyaa Allah Lintang segera dapat sekolah yang pas untuknya. Cocok juga dengan visi misi Ayah dan bunda. Aamiin..."

-Jakarta, 27 September 2024-

-nonk-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun