Pemahaman isi dan perolehan pengetahuan dianggap sebagai satu dimensi efek media yang paling signifikan karena karakteristik sosio-politiknya. Seperti yang ditunjukkan oleh studi, pesan yang dikirimkan meskipun media audiovisual dapat meningkatkan respons emosional, sekaligus membawa pada memori yang lebih baik. Di satu sisi, penelitian psikologis menunjukkan bahwa beberapa "emosi negatif meningkatkan perhatian, minat, dan pembelajaran". Ketika sebuah cerita jurnalistik memicu kemarahan, penonton cenderung mengingat laporan berita, merangsang minat politik sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran.Â
Di sisi lain, membandingkan dengan hanya membaca teks, otak manusia "menyerap lebih banyak informasi saat pesan bersifat audiovisual". Informasi yang disajikan dalam banyak modalitas tidak hanya menarik perhatian, namun elemen multimedia juga memberi pembaca metode decoding yang beragam untuk menafsirkan dan memahami makna. Karena konten jurnalistik disampaikan melalui berbagai platform, ia memiliki kesempatan lebih besar untuk menarik lebih banyak receiverdaripada informasi yang disajikan dalam satu saluran
Laporan multimedia, apalagi, berkontribusi pada kontekstualisasi kejadian yang dibahas dalam berita. Dengan memberikan laporan real-time melalui penyiaran tradisional dan konten digital, bentuk praktik jurnalistik ini menawarkan klarifikasi mengenai fakta atau sistem yang sulit dimengerti. Menurut Stevens, pengiriman lintas platform dan konten multimedia memberikan informasi tambahan dan sudut alternatif saat melaporkan berita, berkontribusi pada jurnalisme gratis. Seperti kantor berita hari ini yang mengikuti tren transformasi multimedia, berita dapat disajikan dalam lingkup yang lebih memadai, apakah meski media yang berbeda atau melalui elemen multimedia tambahan hidup berdampingan dalam sebuah laporan berita di halaman web. Misalnya, dalam sebuah laporan berita yang dipublikasikan melalui Internet, dengan memasang wawancara video real-time korban gempa bumi dengan sebuah bagan yang menjelaskan berbagai skala gempa, secara efisien dapat menginformasikan kepada masyarakat tentang pengetahuan tentang gempa bumi.
- Dampak terhadap ideologi jurnalisme
Alih-alih hanya sebuah teknologi komunikasi yang muncul, media baru perlu dipahami sehubungan dengan penggunaan praktis mereka. Sarjana seperti Deuze dan Peters menawarkan pandangan wawasan tentang hubungan multimedia dengan jurnalisme. Praktik jurnalistik digambarkan oleh lima konsep utama: pelayanan publik, objektivitas, otonomi, kedekatan, dan etika. Menurut Deuze, ideologi jurnalistik ditingkatkan dan dibentuk kembali oleh kekuatan multimedia.
Pertama, ideologi pelayanan publik menjelaskan tanggung jawab wartawan untuk menginformasikan masyarakat dengan melayani sebagai penjaga masyarakat. Gant mengklaim bahwa "wartawan merujuk pada layanan publik yang mereka lakukan saat mengejar jalan yang umumnya tertutup untuk umum". Ekosistem multimedia hari ini memberi keragaman pendapat, memperluas jangkauan diskusi publik. Wartawan memberikan berbagai platformuntuk meningkatkan kesempatan partisipasi rakyat, memastikan inklusi publik yang luas. Dengan demikian, suara warga didengar oleh wartawan, dan oleh karena itu mereka dapat mencari cara yang memuaskan untuk melayani kebutuhan individu.
Objektivitas, konsep kedua, dianggap sebagai salah satu nilai terpenting identitas profesional jurnalis. Ini mewajibkan wartawan untuk bersikap netral, netral, dan adil. Dengan mengenalkan teknologi komunikasi interaktif, warga negara dapat ikut serta dalam proses praktik jurnalistik, baik melalui komentar maupun pembuatan kontennya sendiri. Mereka terkadang berbagi peristiwa yang terjadi di sekitar mereka sebagai jurnalis tradisional, melaporkan secara obyektif dengan mencari kebenaran. Namun, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa tren tersebut mengancam nilai profesional jurnalis. Sulit untuk membedakan kepercayaan konten di dunia maya karena kelompok partisipatif berkembang secara eksponensial dan menjadi lebih beragam. Munculnya multimedia sehingga dapat meningkatkan dan melemahkan ideologi objektivitas.
Ketiga, otonomi mengacu pada independensi wartawan, tanpa campur tangan kekuatan eksternal seperti penyensoran pemerintah. Jurnalisme multimedia menjamin otonomi seperti itu karena mendorong keterlibatan warga negara. Karena internet telah menjadi forum untuk kebebasan berbicara, komunitas virtual yang dibuat di dunia maya lebih demokratis daripada masyarakat kehidupan nyata. Konten berita dapat didistribusikan secara mandiri, tidak harus menjalani pemeriksaan pengawas dan peraturan politik.
Konsep keempat, kedekatan, adalah komponen lain yang menjadi pusat ideologi jurnalisme profesional. Artinya kemampuan menyampaikan berita tepat waktu dan tuntas. Salah satu ciri khas teknologi digital adalah kecepatan transmisi informasi yang tinggi. Sementara organisasi berita memperluas cakupan distribusinya, terutama Internet, berita disampaikan dengan cepat dan segera.
Kelima, etika adalah peraturan moral, menginstruksikan wartawan untuk "memiliki rasa benar dan salah, atau etis, berlatih". Ideologi ini ditantang oleh ekosistem berita masa kini. Meskipun jurnalis idealnya harus tidak bias dan obyektif, bertindak sebagai penjaga untuk mencari kebenaran; kebutuhan pribadi dan tekanan eksternal selalu bertentangan dengan ideologi profesional ini. Namun, gerai multimedia kontemporer "bersaing untuk memenangkan peringkat" atau untuk mendapatkan pembaca dengan "melihat seberapa jauh mereka dapat menurunkan bar tanpa terluka saat meliput selebriti". Wartawan, selain itu, mereka menginginkan byline, posisi, dan akses ke sumber; terkadang mereka harus mengutamakan suara mereka yang berkuasa.
- Dampak terhadap tenaga kerja
Jurnalisme multimedia, sebagai hasil konvergensi media, mengenalkan serangkaian perubahan dalam praktik jurnalistik. Wartawan multimedia hari ini menciptakan konten untuk surat kabar, televisi, radio, situs web, dan sebagainya. Banyak ilmuwan percaya bahwa jurnalis masa depan harus terbiasa dengan berbagai jenis media. Perusahaan media telah mengubah struktur kelembagaan kantor berita mereka agar memungkinkan jurnalis menghasilkan lebih banyak konten untuk berbagai platform media. Karena itu, batas antara wartawan yang bekerja untuk berbagai sektor sekarang kabur. Misalnya, operasi online telah terintegrasi ke dalam ruang berita siaran, jurnalis tradisional yang penekanan kerjanya pada penulisan dan pelaporan televisi sekarang berubah menjadi konten digital.
Dalam konteks ruang berita konvergen ini, semakin banyak jurnalis diwajibkan untuk menjadi multi-terampil. Keyakinan umum, "semua jurnalis harus melakukan segala sesuatu" menjadi filosofi bawaan di antara editor berita. Secara positif, banyak jurnalis menganggap terampil sebagai tren yang baik, memberikan peluang dan peluang baru bagi pekerja berita muda. Kemampuan multi-skill memungkinkan magang untuk secara bebas mengubah lapangan kerja mereka, mulai dari surat kabar hingga website. Namun, persyaratan kerja tersebut niscaya memberlakukan beban kerja yang berat pada wartawan. Karena teknologi digunakan oleh tingkat manajemen untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan, tekanan kerja menjadi masalah umum di kalangan jurnalis.