ABSTRAK
Inilah kita (masyarakat pembaca) yang sering terjebak dan selalu menjadi kudapan lezat propaganda media, sehingga menyeret pembacanya untuk latah memutuskan / menghakimi benar tidaknya sebuah isu tanpa menganalisa lebih dalam lagi. Mengapa tidak ? coba kita bandingkan dan perhatikan saling serangnya antara media satu dengan yang lain di balik tokoh-tokoh yang dijadikan garda depan. Masyarakat kian optimis, seiring perkembangan teknologi informasi, kita sudah bisa menebak kemana arah media itu berafiliasi dan untuk tujuan apa keterpihakan mereka dengan mengolah sedemikian rupa sebuah isu menjadi dogma yang akan menancap kuat di pikiran kita semua.
Tentu di era online serba tombol ini gerakan literasi yang melekat pada pembaca media tak kuasa membendung gempuran bertubi-tubi sebuah berita. Medialah berperan kuat dalam menentukan semuanya mulai dari pencitraan heroik sampai pencitraan bual-bualan masa.
Mengamati Statement Vicky yang fenomenal berada pada rating puncak beberapa pekan ini, tapi tentunya lebih pada hujaman pemberitaan yang negatif. Publik mengamini bahwa sederet pembicaraan Vicky hanyalah mencari sensasi, sok-sokan yang tergolong melantur serta tidak ada korelasinya antara kalimat satu dengan lainnya. Apakah benar demikian? dan apakah hanya Vicky saja yang berstatement demikian? Siapakah yang mengemasnya hingga menjadi heboh? Tentu tak lepas dari peran besar media yang berseliweran di depan mata kita.
Ada yang menarik di tengah-tengah peristiwa munculnya kosakata fenomenal Vicky Prasetyo. Bila kita lebih dewasa menelaah berbagai macam pemberitaan, ‘penyakit’ yang diderita Vicky juga diderita oleh para birokrat kita dan parahnya itu tertuang dalam berbagai bentuk kebijakannya. Mari kita ‘telanjangi’ beberapa kebijakan dan juga statement birokrat yang hadir pada beberapa pekan lalu.
Masih menyisakan perih yang mendalam setelah keputusan naiknya BBM pada akhir Juni 2013 lalu , sebagai penyesuainnya maka harga bahan pokok ikut ‘unjuk gigi’ atas keputusan tersebut. Seleksi alam pun mulai nampak, siapa yang kuat akan bertahan. Lebih dari 40.000 pekerja sektor padat karya diPHK dengan dalih perusahan tidak mampu lagi menyesuaikan kenaikan harga. Segala paket dan rayuan pemerintah dikeluarkan untuk menggandeng pelaku usaha agar tidak mengurangi jumlah karyawannya. Menyusul lagi peristiwa dhasyat yakni kenaikan dollar atas rupiah yang menembus angka hampir 12.000 per dolar amerika. Semua yang bergantung pada impor harus rela menerima kenyataannya.
BELANJA PANGKAL KAYA ADALAH IDE BASI YANG MEMBIUS
Bagaikan petir di siang hari, dengan mengeluarkan statement (jangka pendek) keep buying strategy, Menteri Keuangan RI M Chatib Basri menyatakan aktivitas belanja masyarakat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,4 % pada 2014. Dengan kata lain semakin kita meningkatkan daya konsumsi maka perekonomian Nasional akan selamat. Boleh juga logika ini diterapkan dalam prespektif makro ekonomi, bebereapa alasannya
- Denga kegemaran berbelanja yang lebih tinggi maka perputaran uang tidak menumpuk dan menambah laju angka inflasi
- Aktifitas produksi akan terus berjalan karena permintaan terhadap barang, sehingga perusahaan tidak melakukan PHK terhadap karyawannya dan akan lebih menyerap tenaga kerja.
Kita semua sadar, pada prinsipnya masyarakat ingin memenuhi kebutuhannya secara lebih dan lebih lagi. Akan tetapi harus diuji beberapa pertanyaan
- Dengan cara seperti apa kita dapat berbelanja yang lebih, mengingat kondisi ekonomi yang lesu seperti sekarang ini? Apakah dengan cara kredit tidak timbul masalah baru ? mengingat pola konsumtif masyarakat didominasi kredit
- Belanja barang dan jasa apa saja yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian kita? Apakah segala sesuatu yang didatangkan dari luar negeri dan minim unsur dalam negeri akan membantu pemulihan ekonomi ?
Pernyataan di atas dapat dipastikan kadaluwarsa alias basi, Kejadian serupa pernah ada di tahun 2008, pada saat itu Jusuf Kala sebagai wakil presiden juga pernah memberikan statement ’’Kalau ada pepatah hemat pangkal kaya, dalam keadaan krisis seperti sekarang, negara justru harus sedikit lebih boros”. Maka seketikita itu salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah segera melonggarkan likuiditas rupiah dengan menggelontorkan dana APBN sekitar Rp 120 triliun. Kita tidak akan bicara bahwa ini merupakan akar rumpun kasus penyelewengan dana bail out Bank Century dengan dalih kegagalan sistemik. Fokus kita untuk membandingkan kejadian yang serupa di tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Direktuf Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Dodi Budi Waluyo telah sadar dan insyaf mengatakan, pemerintah dan seluruh masyarakat memang harus melupakan sementara pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Karena berkaca pada realita di lapangan sungguh sebuah mimpi di siang bolong untuk mengerjar pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 %.
Ganjalan di atas ternyata tidak menylutkan niat birokrat untuk terus ‘membujuk’ masyarakat lebih gemar berbelanja. Kegemaran masyarakat terus di teliti untuk mengejar pertumbuhan ekonomi diatas 6% . Meski harus tega mengeluarkan statement dan kebijakan yang menggelitik, Ini indikasi kuat bahwa pemerintah tidak mau dianggap gagal mendekati pemilu yang sebentar lagi digelar, lain kata, bila terpenuhinya target pertumbuhan ekonomi maka pemerintah dinilai sukses menyelamatkan Indonesia dari krisis.
REGULASI DICIPTAKAN MERANGSANG LIBIDO KONSUMTIF MASYARAKAT
Sebagai bentuk kebingungan menentukan cara bagaimana agar masyarakat tidak mengencangkan ikat pinggangnya dan tetap bersemangat untuk berboros boros ria, maka diciptakanlah sebuah peraturan susulan entah itu merubah, menambahi, bahkan membentuk yang baru.
Alhasil, di rombaklah Peraturan Pemerintah RI No .41 Tahun 2013 yang sebelumnya telah mengalami enam kali perubahan Tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, selanjutnya disebut PP 41/13. Dalam pasal 3 ayat 1 huruf c tersebut adalah rumusan yang mengundang perkara (ngajak geger) dan diperdebatkan beberapa kalangan
Bunyinya adalah :
“Pajak penjualan atas barang mewah atas barang kena pajak yang tergolong mewah yang termasuk dalam kendaraan bermotor dihitung dengan dasar pengenaan pajak sebesar 0% dari harga jual untuk kendaran bermotor yang termasuk program mobil hemat energy dan harga terjangkau dengan beberapa kriterianya. hematnya, mobil yang ikut program mobil murah tidak kena pajak.
Untuk menindak lanjuti itu (sebagai kepanjangan tangan PP 41/13) maka lahirlah Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 33/ M-IND/PER/7/2013 Tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau, selanjutnya disebut PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13.
Sebelum masuk pada pembahasan peraturan menteri tersebut, mari kita simak kutipan pernyataan Menteri Perindustrian MS Hidayat dari sebuah media
“Indonesia sudah 68 tahun merdeka, masa rakyat miskin tidak boleh membeli mobil murah” .
Pernyataan ini muncul setelah Joko Widodo mengancam akan memberlakukan perda antisipasi PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 di wilayah kekuasaannya (DKI Jakarta). Di sini kita tidak akan membahas tentang Joko Wi dan paparazinya , dimana pembahasan Joko Wi akan di bahas pada edisi selanjutnya dengan judul “Perang Antar Media Sehebat Perang Antar Jendral”.
Kembali ke pokok pembahasan, selain istilah ‘basi’ belanja pangkal kaya yang dilontarkan oleh menteri perekonomian, kita dapat menganggap bahwa pernyataan MS Hidayat ini tak jauh beda derajadnya (selevel) dengan kosakata ala Vicky Prasetyo (labil ekonomi, harmonisisasi, konspirasi kemakmuran) ,bahkan kosakata ‘vickynisasi’ itu lebih bisa saya terima dan bisa dijabarkan maksudnya. Betapa tidak, definisi dari konsep “miskin” ternyata tidak dipahami benar oleha si empunya kebijakan itu sendiri. Sebagai warga Negara yang baik, konsep miskin dapat kita cari definisinya dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang mengkategorikan miskin dengan 14 kriteria :
- Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
- Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
- Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
- Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
- Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
- Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
- Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
- mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
- membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
- sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
- Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
- Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
- Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
- Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
Perlu kita ketahui bersama bahwa BPS juga sebagai rujukan Peraturan Menteri Perindusterian itu sendiri (baca pasal 2 ayat 6 huruf a PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13)
Akan ada beberpa pertanyaan mendasar dari statemen sang Menteri tersebut :
- apakah orang / masyarakat dengan kriteria miskin berdasarkan konsep miskin dari BPS tersebut pernah bermimpi/ berangan-angan untuk memiliki sebuah mobil meski dengan harga semurah-murahnya?
- Bila tidak, lalu siapa target market sesungguhnya dengan akan dimulainya produksi masal mobil hemat dan murah itu?
Masih terngiang di telinga kita jargon kampanye hemat BBM yang digembar-gemborkan “BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin”. Praktek di lapangan itu sangatlah ‘nol besar’ , bahkan pelaku industri yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi dan diancam pidana sebuah aturan pun nekat menggunakan BBM bersubsidi untuk rakyat miskin. Kebijakan tipu muslihat menjadikan si miskin sebagai kambing hitam tidak akan pernah berhasil, karena Ini berlawanan dengan naluri prilaku konsumen (mencari harga yang murah untuk mendapatkan daya guna yang sama).
Dari segudang pengalaman tersebut dapat kita pastikan bahwa kebijakan mobil murah untuk “memaksa“ si miskin memiliki kendaraan roda empat akan ‘mandul’ sepanjang hayat dan secara otomatis 'ereksi' untuk mengkonsumsi mobil itu akan diambil alih oleh kelas ekonomi yang lain (menengah ke atas). Apabila kepemilikan ini telah menjadi milik kaum menengah ke atas maka timbul masalah baru, salah satunya yakni lonjakan populasi kendaraan di tiap kota. mengutip bahwa penyebaran mobil murah ini akan dilakukan di 400 kota se indonesia
Mengapa kita semua tidak pernah berkaca pada program mobil pabrikan Jepang merk xe**a dan av**sa yang dulu di gagas oleh Jusuf Kala sebagai alternatif mobil murah 100 jutaan. Apakah xe**a dan av**sa yang masih beredar dan terus produksi itu dimiliki oleh kelas menengah kebawah?
Tidak bisa berhenti sampai di sini untuk menguatkan argumen dan membuktikan bahwa ini semua adalah “akal-akalan”.
Mari kita uji PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 tersebut berdasarkan asas pembentukannya sebagai mana yang diperintahkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harus meliputi diantaranya (ada 7 asas) :
- Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Asas Kejelasan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Dari total 17 buah Pasal dan puluhan sub pasal di PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 tersebut tidak ada satupun rumusan yang mendekati asas kedayagunaan dan kejelasan tujuan. Semua rumusan pasal hanya berputar-putar pada aturan main antara pemerintah dan pelaku industri yang akan tergabung dalam program mobil murah tersebut. Keesampingkan dulu dugaan masyarakat tentang transaksional deal proyek antara investor asing dengan birokrat. Kata-kata masyarakat hanya sebagai pelengkap kalimat manis di bibir saja. Perlu diketahui bersama bahwa wajib hukumnya PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 sebagai aturan main untuk mengakomodir 3 (tiga) kepentingan yakni, pemerintah , masyarakat baik dalam arti luas dan sempit serta pelaku industri (investor)
Mari kita gali lebih dalam lagi landasan filosofi ,sosiologi di sumber hukum konsideran (menimbang) dari PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 ini yang berbunyi
a) Bahwa dalam rangka mendukung terciptanya pencapaian skala ekonomis dalam kegiatan produksi kendaraan bermotor roda empat pemerintah perlu mengembangkan kemandirian industri kendaraan bermotor roda empat dalam pembuatan motor penggerak, transmisi yang berdaya saing
b) Bahwa dalam rangka menghadapi kecenderungan peningkatan permintaan kendaraan bermotor yang hemat energy dan harga terjangkau maka perlu dilakukan penguatan kemampuan industry kendaraan bermotor dengan pemberian fasilitas yang mendukung kemandirian industry
Pada huruf a poinnya adalah pencapaian skala ekonomis, pada huru b poinnya adalah kecenderungan peningkatan permintaan kendaraan bermotor. Akan tetapi, dari ke dua poin tersebut intinya adalah industrialisasi kendaraan bermotor. Masalah Industrialisasi akan disimpan dulu, kita akan bahas tentang pencapaian skala ekonomis.
Pencapaian ekonomis di temukan dalam pasal Pasal 2 ayat 1 huruf e yang berbunyi
“Besaran harga jual KBH2 (kendaraan bermotor roda empat hemat energy dan harga murah) setinggi-tingginya Rp. 95.000.000 (belum termasuk, pajak daerah, bea balik nama dan pajak kendaraan bermotor )”
Anggap saja On the road nya sebuah mobil setingginya dibandrol Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) apakah ini yang disebut Pak Menteri adalah mobil murah untuk si miskin? Bila memang si miskin masih menganggap ini harga yang murah dan mampu di beli dengan segala cara (baik hutang lunak maupun kredit bank), maka apakah sudah siap untuk membeli bahan bakarnya yang mana dipersyaratkan (standardisasi) dalam pasal 2 ayat 2 untuk yang berbahan bakar bensin (cetus api) Oktan 92, bahasa dagangnya adalah pertamax. Tentu akan berpikir seribu kali untuk membelinya. Perlu diketahui bersama bahwa klasifikasi RON 92 itu tergolong jenis premium atau pertamax pun masih simpang siur dan tidak pasti. Mengutip pernyataan Direktur BBM Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto yang didak memungkiri bahwa terkadang premium yang standarnya RON 90 itu berisikan RON 92 (pertamax). Menguntungkan bagi konsumenkah ? Iya, tapi tidak adanya aturan jelas tentu timbulah masalah dan derita baru akhirnya masyarakatlah yang harus menerimanya.
Yang patut disayangkan adalah dasar pertimbangan pada point b yaitu kecenderungan peningkatan permintaan kendaraan bermotor. Dasar pertimbangan ini bisa kita analogikan bahwa pola konsumtif masyarakat terus dianalisa seperti apa yang disebutkan pada paragraph ke 7 di atas , kegemaran masyarakat untuk mengkonsumsi barang apa saja sudah di pahami jauh hari sehingga tiba saatnya melalui PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 menjadikan masyarakat sebagai target pasar yang empuk oleh pemerintah bersama pelaku industri kendaraan bermotor.
Di sini kita akan meminjam kosakatanya Vicky yaitu labil ekonomi. Mobil tergolong barang kebutuhan tersier yang juga merupakan symbol status sosial seseorang. Cara pandang masayarakt kini telah terpolakan karena kondisi ekonomi yang tidak menentu sehingga melahirkan pilihan-pilihan gaya hidup yang negatif dan didukung mudahnya persyaratan kredit dari lembaga pembiyaan kendaraan bermotor, mobil dengan harga murah akan menggiyurkan masyarakat tanpa mengukur batas kemampuan / daya belinya. Dengan bahasa lain ‘seng penting nggaya’ dan urusan kredit macet itu nomor sekian .
Satu lagi dan sekaligus penutup dari edisi 1 tulisan ini, pasal 2 ayat d “Kendaraan yang diproduksi memenuhi ketentuan sebagai berikut “penggunaan tambahan merek Indonesia, model dan logo yang mencerminkan Indonesia pada KBH2”. Kenapa bukan penilaian prosentase Tingkat Komponen Dalam Negeri( TKDN) yang di kedepankan dan dijadikan acuan PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13? jika jawabanya karena SDA dan SDM Indonesia belum mampu memenuhui unsur TKDN dan masih mendatangkan segala sesuatunya dari luar , maka dapat di pastikan bahwa keterlibatan SDM masyarakat hanya sebagai kelas pekerja kasar dari Industri otomotif tersebut (sadarlah, kedelai saja kita impor apalagi yang berbau teknologi). Sehingga, buat apa kita dan banggakah kita (Indonesia) hanya mendapatkan apresiasi sebuah logo / slogan yang menempel di besi yang sebentar lagi berkarat itu ?
Sumpah demi roh undang-undang bahwa Pasal ini adalah wujud pelecehan besar terhadap asas kedayagunaan dan kehasilguanaan yang bermanfaat bagi bangsa dan Negara. (bersambung)
Kesimpulannya :
Segera kita ajukan uji materi ke Mahkamah Agung, batalkan seluruhnya PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 karena bertentangan dengan UU lalu – lintas UU lingkungan Hidup dan UU pembentukan peraturan perundangan
Sumber bacaan :
- UUD 1945 Amandemen
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Peraturan Pemerintah RI No .41 Tahun 2013 Tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
- Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 33/ M-IND/PER/7/2013 Tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/08/19/1409428/Chatib.Basri.Belanja.Pangkal.Kaya
- http://nasional.kompas.com/read/2013/09/12/1507206/Menteri.Perindustrian.Kasih.Tahu.Pak.Jokowi.Mobil.Murah.untuk.Rakyat.Kecil
- http://sosialbudaya.tvonenews.tv/berita/view/38202/2010/05/04/inilah_14_kriteria_orang_miskin_versi_bps.tvOne
- http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=10418
- http://finance.detik.com/read/2013/04/25/113102/2230086/1034/salahkah-bensin-premium-di-spbu-ternyata-pertamax-92
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI