Mohon tunggu...
Nonblok
Nonblok Mohon Tunggu... -

" harga barang tinggi, tidak ada pilihan lain selain menulis"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Statement Vicky Prasetyo "Selevel" Statement Birokrat (Episode 1)

19 September 2013   00:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada huruf a poinnya adalah pencapaian skala ekonomis,  pada huru b poinnya adalah kecenderungan peningkatan permintaan kendaraan bermotor. Akan tetapi, dari ke dua poin tersebut intinya adalah industrialisasi kendaraan bermotor. Masalah Industrialisasi akan disimpan dulu, kita  akan bahas tentang pencapaian skala ekonomis.

Pencapaian ekonomis di temukan dalam pasal Pasal 2 ayat 1 huruf e yang berbunyi

“Besaran harga jual KBH2 (kendaraan bermotor roda empat hemat energy dan harga murah) setinggi-tingginya Rp. 95.000.000 (belum termasuk, pajak daerah, bea balik nama dan pajak kendaraan bermotor )”

Anggap saja On the road nya sebuah mobil setingginya dibandrol Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) apakah ini yang disebut Pak Menteri adalah mobil murah untuk si miskin? Bila memang si miskin masih menganggap ini harga yang murah dan mampu di beli dengan segala cara (baik hutang lunak maupun kredit bank),  maka apakah sudah siap untuk membeli bahan bakarnya yang mana dipersyaratkan (standardisasi) dalam pasal 2 ayat 2 untuk yang berbahan bakar bensin (cetus api) Oktan 92, bahasa dagangnya adalah pertamax. Tentu akan berpikir seribu kali untuk membelinya. Perlu diketahui bersama bahwa klasifikasi RON 92 itu tergolong jenis premium atau pertamax pun masih simpang siur dan tidak pasti. Mengutip pernyataan  Direktur BBM Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto yang didak memungkiri bahwa terkadang premium yang standarnya RON 90 itu berisikan RON 92 (pertamax). Menguntungkan bagi konsumenkah ? Iya, tapi tidak adanya aturan jelas tentu timbulah masalah dan derita baru akhirnya masyarakatlah yang harus menerimanya.

Yang patut disayangkan adalah dasar pertimbangan  pada point b yaitu kecenderungan peningkatan permintaan kendaraan bermotor. Dasar pertimbangan ini bisa kita analogikan bahwa pola konsumtif masyarakat terus dianalisa seperti apa yang disebutkan pada paragraph ke 7 di atas , kegemaran masyarakat untuk mengkonsumsi barang apa saja sudah di pahami jauh hari sehingga tiba saatnya melalui PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 menjadikan masyarakat sebagai target pasar yang empuk oleh pemerintah bersama pelaku industri kendaraan bermotor.

Di sini kita akan meminjam kosakatanya Vicky yaitu labil ekonomi. Mobil tergolong barang kebutuhan tersier yang juga merupakan symbol status sosial seseorang. Cara pandang masayarakt kini telah terpolakan karena kondisi ekonomi yang tidak menentu sehingga melahirkan pilihan-pilihan gaya hidup yang negatif  dan didukung mudahnya persyaratan kredit dari lembaga pembiyaan kendaraan bermotor, mobil dengan harga murah akan menggiyurkan masyarakat tanpa mengukur batas kemampuan / daya belinya. Dengan bahasa lain ‘seng penting nggaya’ dan urusan kredit macet itu nomor sekian .

Satu lagi dan sekaligus penutup dari edisi 1 tulisan ini, pasal 2 ayat d “Kendaraan yang diproduksi memenuhi ketentuan sebagai berikut  “penggunaan tambahan merek Indonesia, model dan logo yang mencerminkan Indonesia pada KBH2”. Kenapa bukan penilaian prosentase Tingkat Komponen Dalam Negeri( TKDN) yang di kedepankan dan dijadikan acuan PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13? jika jawabanya karena SDA dan SDM Indonesia belum mampu memenuhui unsur TKDN dan masih mendatangkan segala sesuatunya dari luar , maka dapat  di pastikan bahwa keterlibatan SDM masyarakat hanya sebagai kelas pekerja kasar dari Industri otomotif tersebut (sadarlah,  kedelai saja kita impor apalagi yang berbau teknologi). Sehingga, buat apa kita dan banggakah kita (Indonesia) hanya mendapatkan apresiasi sebuah logo / slogan  yang menempel di besi yang sebentar lagi berkarat itu ?

Sumpah demi roh undang-undang bahwa Pasal ini adalah wujud pelecehan besar terhadap asas kedayagunaan dan kehasilguanaan yang bermanfaat bagi bangsa dan Negara. (bersambung)

Kesimpulannya :

Segera kita ajukan uji materi ke Mahkamah Agung, batalkan seluruhnya PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13  karena bertentangan dengan UU lalu – lintas  UU lingkungan Hidup dan UU pembentukan peraturan perundangan

Sumber  bacaan :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun