Ganjalan di atas ternyata tidak menylutkan niat birokrat untuk terus ‘membujuk’ masyarakat lebih gemar berbelanja. Kegemaran masyarakat terus di teliti untuk mengejar pertumbuhan ekonomi diatas 6% . Meski harus tega mengeluarkan statement dan kebijakan yang menggelitik, Ini indikasi kuat bahwa pemerintah tidak mau dianggap gagal mendekati pemilu yang sebentar lagi digelar, lain kata, bila terpenuhinya target pertumbuhan ekonomi maka pemerintah dinilai sukses menyelamatkan Indonesia dari krisis.
REGULASI DICIPTAKAN MERANGSANG LIBIDO KONSUMTIF MASYARAKAT
Sebagai bentuk kebingungan menentukan cara bagaimana agar masyarakat tidak mengencangkan ikat pinggangnya dan tetap bersemangat untuk berboros boros ria, maka diciptakanlah sebuah peraturan susulan entah itu merubah, menambahi, bahkan membentuk yang baru.
Alhasil, di rombaklah Peraturan Pemerintah RI No .41 Tahun 2013 yang sebelumnya telah mengalami enam kali perubahan Tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, selanjutnya disebut PP 41/13. Dalam pasal 3 ayat 1 huruf c tersebut adalah rumusan yang mengundang perkara (ngajak geger) dan diperdebatkan beberapa kalangan
Bunyinya adalah :
“Pajak penjualan atas barang mewah atas barang kena pajak yang tergolong mewah yang termasuk dalam kendaraan bermotor dihitung dengan dasar pengenaan pajak sebesar 0% dari harga jual untuk kendaran bermotor yang termasuk program mobil hemat energy dan harga terjangkau dengan beberapa kriterianya. hematnya, mobil yang ikut program mobil murah tidak kena pajak.
Untuk menindak lanjuti itu (sebagai kepanjangan tangan PP 41/13) maka lahirlah Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 33/ M-IND/PER/7/2013 Tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau, selanjutnya disebut PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13.
Sebelum masuk pada pembahasan peraturan menteri tersebut, mari kita simak kutipan pernyataan Menteri Perindustrian MS Hidayat dari sebuah media
“Indonesia sudah 68 tahun merdeka, masa rakyat miskin tidak boleh membeli mobil murah” .
Pernyataan ini muncul setelah Joko Widodo mengancam akan memberlakukan perda antisipasi PerMenPrind 33/M-IND/PER/7/13 di wilayah kekuasaannya (DKI Jakarta). Di sini kita tidak akan membahas tentang Joko Wi dan paparazinya , dimana pembahasan Joko Wi akan di bahas pada edisi selanjutnya dengan judul “Perang Antar Media Sehebat Perang Antar Jendral”.
Kembali ke pokok pembahasan, selain istilah ‘basi’ belanja pangkal kaya yang dilontarkan oleh menteri perekonomian, kita dapat menganggap bahwa pernyataan MS Hidayat ini tak jauh beda derajadnya (selevel) dengan kosakata ala Vicky Prasetyo (labil ekonomi, harmonisisasi, konspirasi kemakmuran) ,bahkan kosakata ‘vickynisasi’ itu lebih bisa saya terima dan bisa dijabarkan maksudnya. Betapa tidak, definisi dari konsep “miskin” ternyata tidak dipahami benar oleha si empunya kebijakan itu sendiri. Sebagai warga Negara yang baik, konsep miskin dapat kita cari definisinya dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang mengkategorikan miskin dengan 14 kriteria :
- Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
- Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
- Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
- Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
- Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
- Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
- Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
- mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
- membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
- sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
- Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
- Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0, 5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan.
- Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
- Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya