Mohon tunggu...
NN ST Serieen
NN ST Serieen Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Putri Kampus Universitas Muhammadiyah Malang 2022 yang senang berorganisasi dan suka berkontribusi sosial dengan lembaga sosialnya yaitu Ruang Edukasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengintip Minoritas Muslim dan Persoalan Feminisme di Kupang NTT

26 Desember 2022   14:02 Diperbarui: 26 Desember 2022   14:09 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merasakan keberagaman di tempat baru pastilah memiliki pengalaman unik. Ada suka duka yang begitu bermakna, adaptasi lah kunci untuk bertahan dengan segala keberagaman. Sama seperti yang dirasakan mahasiwa pertukaran merdeka  yang menjalani kehidupan satu semester di pulau yang berbeda. Progam Pertukaran Mahasiswa Merdeka atau yang disebut juga PMM merupakah salah satu progam MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka ) dibawah naungan Kemendikbud).

Saya dipertemukan dengan 284 mahasiswa di seluruh Indonesia di pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) . Tepatnya menjadi mahasiswa PMM di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang NTT.  Menjadi satu satunya perwakilan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang melakukan pertukaran mahasiswa di UNDANA merupakan tantangan sendiri bagi saya. 

Perasaan menjadi wanita minoritas dari kampus Muhammadiyah dan menjalani pertukaran mahasiswa selama 4 bulan atau satu semester di kampus dengan mayoritas non muslim merupakan pengalaman baru untuk saya. Jika biasanya saat doa bersama dipimpin dengan mengucapkan bismillah namun sekarang dimulai dengan Tuhan Yesus, kami saat ini berdoa. 

Hal itu yang pertama kali saya rasakan saat pembukaan upacara penyambutan mahasiswa PMM di Auditorium Undana. Mungkin kejadian itulah yang menjadi awal perjalanan saya menjadi minoritas perempuan muslim di Kupang. 

Di NTT sendiri ada beberapa mayoritas penduduk muslim yang tinggal di pulau Solor, Ende , Lembata dan banyak di daerah Flores. Namun khusus di Kupang rata - rata mayoritas penduduknya ialah katolik & protestan. Penduduk muslim di kota kupang biasanya merupakan penduduk Sulawesi dan penduduk Jawa yang merantau ke Kupang untuk berbisnis. 

Hal ini membuat mayoritas perempuan muslim berhijab di Kupang dipanggil “bibi” walaupun ia masih remaja. Terkadang panggilan “bibi” ini menjadi panggilan untuk menghargai namun tak jarang juga digunakan untuk cibiran dan bahan olokan kepada kami. 

Memang sisi gelap Kupang salah satunya ialah sering terjadi “catcallling” , catcalling adalah penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan non verbal yang kejadiannya terjadi di tempat umum atau publik. 

Hal ini bukan terjadi pada masyarakat muslim disana namun hampir menyeluruh terjadi di seluruh perempuan di Kupang. Seperti yang dialami oleh beberapa mahasiswa PMM yang sedang berbelanja di pasar inpres, Naikoten Kupang. Beberapa mahasiswa tersebut berasal dari Jakarta, Jambi, Bogor,Purwakarta. 

“Pas belanja ikan langsung di kerumunin abang - abang yang jualan, awalnya biasa aja nawarin ikan tapi lama - lama ditanya juga darimana asalnya, kenapa rapih banget. Sebenarnya lebih keganggu dengan digodain gitu sih sepanjang jalan dan bukan kali ini aja sering banget di pinggir jalan di godain kayak ‘Nona manis, mau kemana ee’ ” Ujar Aqila mahasiswa Al- Azhar]  Jakarta 

Tidak hanya catcalling, tindak kekerasan non verbal dan verbal di NTT terhadap perempuan juga sering terjadi di kehidupan sehari - hari. Menurut Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT mencatat 276 kasus kekerasan terjadi terhadap perempuan sepanjang tahun 2022. 

Kasus - kasus yang tercatat tidak begitu banyak dan banyak pelapor yang melaporkan tindak kekerasan jika sudah sangat keterlaluan seperti kekerasan fisik sampai upaya pembunuhan. Banyak masyarakat NTT yang tidak melapor tindak kekerasan yang dianggapnya ringan salah satu faktornya yaitu faktor psikologis, lingkungan dan budaya. Mayoritas suku di NTT memang patriaki terutama dalam pernikahan. 

Hal ini juga yang memicu kekerasan pada perempuan. Pasalnya sebelum menikah ada yang dinamakan belis atau mahar untuk meminang wanita. Belis di NTT begitu mahal bisa berupa ternak, tanah, uang tunai, gong dll. Belis atau mahar di  berbagai suku di NTT berbeda – beda. Jika Belis di suku Timor biasanya berupa uang dan ternak, di Flores biasanya gading dan Berbeda di daerah Lembata tepatnya di suku Leuhoe Tahake salah satu suku tua di desa Hoeleba berupa Gong dan gading. 

Mengapa saya membahas mengenai belis, karena pada awalnya belis menjadi kebudayaan untuk menghargai wanita namun seiring dengan waktu belis ini malah menjadi suatu hal yang transaksional. Banyak kekerasan terjadi karena suami merasa telah membeli istri sepenuhnya. 

Belis sebagai bentuk budaya patriaki NTT bukan hanya menjadi hal yang menarik bagi perantau seperti kami, bahkan hal ini juga menjadi bahasan menarik untuk masyarakat asli NTT. Terbukti dari pembuatan film “NOKAS” yang merupakan film documenter mengenai Belis atau adat istiadat mahar pernikahan suku – suku di NTT. Nokas bercerita mengenai seorang laki – laki bernama Nokas yang ingin meminangci. Memperlihatkan bagaimana perjuangan Nokas untuk memenuhi belis ci yaitu berupa uang tunai 14 juta, beberapa babi dll. 

Sebagai mahasiswa pertukaran merdeka (PMM) kami diwajibkan bertukar budaya, informasi serta wawasan dan menambah pengetahuan kebudayaan NTT. Maka dari itu terdapat mata kuliah modul nusantara dengan sistem 15 kelompok di UNDANA dan saya merupakan mahasiswa modul nusantara kelompok 1. satu materi modul nusantara ialah mengenai kebudayaan belis yang di pelajari melalui teknik review film NOKAS bersama para staff produksi.  

Dilansir dari tanya jawab mahasiwa PMM modul nusantara kelompok 1 saat mengadakan review film Nokas bersama Kak Irwan asisten sistem produksi film Nokas.Banyak mahasiswa PMM Modnus ( Modul nusantara) Kel. 1 yang berdiskusi mengenai unsur patriaki di kebudayaan belis. 

Ka irwan pun menjelaskan bahwa film ini dibuat untuk mengingatkan kepada dunia bahwa belis bukanlah suatu tranksasi dalam pernikahan. Ka irwan pun bercerita jika belis tidak mampu dibayar maka hukumnya hutang, dan suami yang belum melunasi belis biasanya merasa  tidak enak kepada istrinya, dipenuhi perasaan insecure dan sangat menghargai dan membagi pekerjaan rumah kepada istrinya karena merasa tidak membeli sepenuhnya. 

Tradisi pernikahan NTT yang patriaki juga mempengaruhi pola pikir dan kehidupan sehari - hari perempuan di NTT. Banyak yang mengatakan wanita NTT tangguh dan kuat , tidak manja seperti perempuan lainya. Karena menurut mereka kebebasan yang nyata ialah saat perempuan dapat berdiri di kakinya sendiri. 

Walaupun harga belis akan semakin tinggi jika wanita memikiki darah bangsawan atau memiliki tinggi tingkat  pendidikan, prestasi dan kelebihan lainya. Perempuan NTT berusaha keras melawan kerasnya dunia patriaki di NTT bukan semata hanya karena harga belis, namun karena cita - cita dan keingianan emansipasi wanita dan kesetaraan gender.

Sebagai mahasiswa pertukaran dengan berbagai suku bangsa. Ada beberapa kesamaan dan perbedaan dalam budaya feminisme ini. Salah satunya di  daerah Sumatra Barat suku minangkabau, suku petalangani Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau yang keduanya memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Adapun daerah Makasar juga memiliki uang panai untuk menghormati wanita. 

”Perempuan di Makasar terutama suku Bugis juga memiliki tradisi uang panai, karena wanita bugis di didik untuk menjaga diri dan taat kepada Allah SWT, calon suami pun harus tetap menghargai istri setelah uang panai terbayarkan” Ujar Sri Andini mahasiswa PMM berdarah bugis dari Makasar 

Namun jangan salah, NTT khususnya Kupang memiliki sejuta kelebihan bukan hanya soal persoalan feminisme dan minoritas muslim saja. Kupang memiliki kekayaan kebudayaan yang membuat kami mahasiswa PMM jatuh cinta. Akulturasi kebudayaan yang kami berikan sebagai mahasiswa pertukaran menambah persepsi baru dalam sudut pandang masyarakat NTT yang kami temui. 

Salah satunya dekan FISIP UNDANA Bapak Marsel Neolaka yang bertemu dengan saya selesai saya berkesempatan menjadi pembicara di seminar nasional anti korupsi yang diadakan prodi Ilmu Politik UNDANA. Beliau memberikan tanggapan bahawa mahasiswa PMM memberikan banyak dampak bukan hanya di bidang akulturasi budaya namun pendidikan dan mindset.

Pengalaman menjalani 4 bulan di Universitas Nusa Cendana begitu berarti. Sapaan dan kekeluargaan yang UNDANA berikan akan saya kenang. Saya akan merindukan suasana kota Kupang yang berada di pulau timor yang terlihat seperti kota havana dan mexico Amerika latin membuat saya jatuh cinta dengan kota yang begitu eksotis. Terlihat di pinggiran kota di kelilingin lautan yang begitu indah dengan pengalaman penuh makna. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun