Mohon tunggu...
Nona .G
Nona .G Mohon Tunggu... -

sang moralis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayan

18 Juni 2016   09:51 Diperbarui: 18 Juni 2016   10:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu petang bekerja lah gue di satu penerbangan Jepang.

Tertangkaplah oleh mata, ditengah-tengah barisan penumpang gue, sesosok cici dengan tas jingga mentereng bermerek kereta kuda ditemani kokoh dengan saudara-saudara kokoh yang masih remaja.

Karena cici dan kokoh lancar berbahasa inggris, sepanjang penerbangan gue berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa inggris. Bukannya gue sombong loh! Buat gue berbicara selang-seling bahasa inggris – bahasa indonesia tidak mudah adanya. Kerap kali struktur kalimat bahasa indonesia gue kalau tidak menjadi kacau balau, tidak formal, maka campur aduk lah seperti Mbak Cinta Laura.

Kalau penumpang gue memang bisa berbincang dalam bahasa inggris ya gue akan terus bersua dalam bahasa inggris.

Okeh, kembali ke cici dan kokoh.

Sepanjang perjalanan gue dari negara tetangga menuju negara matahari terbit itu gue tempuh tanpa insiden yang berarti. Mereka tergolong penumpang yang baik awak budinya.

Tiba saatnya kapten menyuarakan notifikasi bahwa pesawat akan segera mendarat. Perlu diketahui, rentang waktu ini adalah salah satu masa tersibuk para awak kabin kala mempersiapkan kabin dan segala penghuninya untuk layak mendarat dengan selamat tanpa harus terjadi pertumpahan darah.

Di tengah huru hara itu, tetiba si cici meminta secangkir teh peppermint dari gue.

Aturannya, setelah pengumuman dari awak kokpit berkumandang, segala pelayanan yang tidak bersangkutan dengan keselamatan penumpang akan dinomorduakan. Namun karena si cici sebangsa dan senegara dengan gue, dan sesungguhnya kehadiran tasnya masih berkesan di dalam benak gue, gue mengajukan naik banding ke bos gue.

Tuntutan gue dipenuhi. Gue pun diijinkan untuk menyuguhkan secangkir teh dengan syarat dan ketentuan berlaku: gue lah yang harus membereskan meja si cici nantinya. Permintaan si cici pun gue kabulkan.

Sembari menanti cici menghabiskan teh beliau, gue menghampiri penumpang-penumpang lainnya yang kebetulan mayoritas berkebangsaan negara matahari terbit.

Apa hubungannya sih orang Jepang sama si cici, G?! Lo rasis banget deh!

Korelasinya memang agak rasis namun terbukti adanya bahwa mayoritas orang Jepang memiliki ketaatan diatas rata-rata. Kerap kali mereka siap sedia sebelum gue sempat mengingatkan mereka untuk merapihkan tempat duduk mereka. Konon katanya, gengsi bagi mereka apabila mereka harus ditegur untuk merapihkan meja mereka.

Pasalnya, sebelum pesawat mengudara dan sebelum pesawat mendarat, ada sembilan hal yang harus dilakukan oleh penumpang.

  1. Menaikkan tutup jendela.
  2. Menegakkan sandaran kursi.
  3. Melipat meja.
  4. Menyimpan remote sistem hiburan.
  5. Menaikkan pijakan kaki.
  6. Memakai sabuk pengaman.
  7. Menyimpan alat elektronik berukuran besar seperti laptop.
  8. Menyimpan tas dikolong depan atau di kompartemen atas.
  9. Mengatur ponsel dalam mode penerbangan atau (dalam beberapa penerbangan) menonaktifkan ponsel.

Dari sembilan hal diatas, cici dan kokoh melewati enam poin. Satu dari tiga poin yang ditaati pun sesungguhnya karena mereka tidak duduk di dekat jendela.

Risih rasanya, namun karena si cici masih menyeruput cantik tehnya, gue memutuskan untuk melewatkan mereka dan patroli siskamling keliling kabin  mengamati penumpang-penumpang lain terlebih dahulu.

Bolak-balik dua putaran, tak kunjung usai cici meminum tehnya. Hingga akhirnya kolega yang bekerja dengan gue menghampiri cici dan kokoh untuk membereskan tempat duduk mereka. Menging perjanjian kerja yang sudah gue sepakati dengan bos gue, gue pun turut menghampiri meja cici dan kokoh untuk kemudian mengambil alih.

Mau tidak mau gue harus membereskan tempat duduk cici dan kokoh yang porak poranda itu. Kala gue sedang membantu menyimpan remote si kokoh, si cici mencibir dalam bahasa yang sangat akrab di telinga gue.

“Ni cewek resek juga ya!”

Terhenyak lah gue.

Di benak gue, gue menoleh kepada si cici sembari berucap, “Mbak, tasnya bagus kok kelakuan nggak sebagus tasnya?”

Namun gue mengurungkan niat gue karena enggan menginisiasi perang saudara diatas pesawat.

Tidak mendapat solusi yang lebih damai, selesainya gue menyimpan remote si kokoh dan si cici, gue lantas bergumam, “’MAYAANNN…” kearah mereka dan kemudian melengos menuju galley.

Muka gue memerah karena dongkol. Namun sepercik euforia kemenangan menyisip dihati gue, tentunya karena gue mampu memberikan tamparan yang ’mayan pada cici dan kokoh yang sebelumnya tidak sadar bahwa gue adalah orang Indonesia.

Ketika lampu tanda sabuk pengaman menyala dan gue harus patroli terakhir kalinya sebelum mendarat, gue bergegas keluar galley untuk menghampiri tempat duduk cici dan kokoh. Gue temukan tempat penahan gelas si kokoh belum tersimpan.

Dengan lugas gue berucap, “bapak, plastic cup holder-nya tolong disimpan ya. Terima kasih.” Saat itu gue gagal menemukan terjemahan yang tepat bagi kata penampung gelas. Maka Cinta Laura lah bahasa indonesia gue. Tak apalah. Yang penting cici dan kokoh semakin teguh bahwa gue fasih berbahasa indonesia.

---

Sepanjang sejarah karir gue yang seumur jagung ini, kisah ‘mayan adalah kisah yang paling bermakna bagi gue. Gue belajar banyak dari momen ini. Gue yakin si cici dan si kokoh pun begitu adanya.

Cukup yakinlah gue si cici dan si kokoh akan lebih berhati-hati dalam berucap di dalam kabin karena sesungguhnya awak kabin berkebangsaan Indonesia tidak hanya tersebar di maskapai lokal.

Pada hakikatnya, gue adalah oknum yang belajar paling banyak dari kejadian ini. Malam itu dan malam-malam sesudahnya, gue berdiam untuk bertanya pada Yang Maha Kuasa Empunya Kebijaksanaan Ilahi apabila kejadian si cici dan si kokoh ini terulang lagi dalam penerbangan gue di masa depan.

Selain bertanya pada Sang Khalik gue turut bertanya pada senior-senior terhormat yang pengalamannya bertahun-tahun lebih lama dari gue. Dengan sepenuh hati mereka pun memberi wejangan-wejangan yang hakiki.

Gue yang kini sedikit lebih bijak, sadar bahwa yang gue ucapkan pada cici dan kokoh dahulu memang kurang berkenan.

Oleh karena itu, dengan segenap perasaan gue haturkan maaf gue yang setulus-tulusnya pada cici dan kokoh. Cici dan kokoh, boleh lah kita bersua lagi. Dan apabila kita mengulangi momen yang sama, akan gue sambut dengan respon yang lebih tajam. Eh, yang lebih baik maksudnya.

seperti yang diterbitkan pada http://ceritakabin.com/2016/06/18/mayan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun