Mohon tunggu...
Harirotul Fikri
Harirotul Fikri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psikologi UIN Malang '10| Pengagum sastra | Nyaman berada di kereta, senja dan padang ilalang | Bermimpi jadi penulis dan pebisnis | Penah ingin lanjut S2. Pernah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu dan Lelaki yang Terlanjur Kupanggil Bapak

27 Januari 2016   11:08 Diperbarui: 27 Januari 2016   11:54 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu pikir, dia lelaki baik-baik.

Pikirku jelas tidak! Dia lelaki terjahannam yang pernah ku temui. Setan! Pastia dia menyamar sebagai kesatria di depan ibu yang sedang kesepian.

"Ada hana, Bu...." protesku ketika ibu mengelus kepalaku, menjelaskan akan ada ayah lagi dalam hidupku.

Aku ingat betul saat ibu mengajakku berbicara tentang pentingnya teman hidup buat ibu, Mbak Laila, dan aku pastinya. Padahal aku pernah bersumpah kepada   Nat, jika aku akan menemani ibu sampai akhir hayatku.

Maka datanglah ia, lelaki yang benar-benar telah menjadi srigala. Yang bermanis muka di depan ibunda, dan menjelma menjadi srigala saat bunda tak ada.

Sudah tiga tahun sejak lelaki itu menjadi 'bapak baru' bagi aku dan Mbak Laila. Setiap ada kesempatan, ia selalu mendatangi Mbak Laila, menindihnya dengan membawa pisau kecil di tangannya. Aku sedih melihat kakakku menangis. Aku tau Mbak Laila selalu menahan tangis dan ketakutan yang amat sangat.

Aku selalu berpura-pura tidak tahu. Pura-pura tertidur membelakanginya dengan memeluk Nat, sahabat setiaku. Aku mendengar dengan jelas di sela-sela suara anehnya, ia berkali-kali mengancam akan membunuh Mbak Laila, aku, dan ibuku dengan pisau yang senantiasa digenggamnya jika Mbak Laila tak mau menutup mulutnya rapat-rapat.

Maka aku juga terbungkam meskipun tak ada seorangpun yang membungkamku.

Jika aku sudah besar nanti, aku akan membeli pisau yang lebih besar untuk membunuhnya. Ya. Aku harus membunuhnya. Aku akan menjelaskan kepada ibu betapa bajatnya lelaki itu! Aku berjanji pada Nat disuatu pagi sebelum berangkat sekolah.

~0~

Aku tak pernah mengerti apa yang dipikirkan orang dewasa. Tidak, maksudku, apa yang ada di pikiran ibu dan lelaki itu.

Sebulan yang lalu, di minggu pagi yang yang sedikit mendung, aku terbangun dengan tiba-tiba oleh suara jerit tangis ibuku. Bukan. Ibu tak sedang menangis sedih. Ibu sedang meluapkan amarah. Mendengarnya, aku tak berani beranjak dari tempat tidurku.

Deg!

“Dasar sundal! Siapa yang mengajarimu menggoda bapakmu sendiri? Hah??” Suara ibu menggelegar.

Sayup-sayup terdengar pula suara tangis lirih Mbak Laila. Lalu...

Hweeekkk.. Hweekkk!!

Oh... Mungkin mbak Laila sakit. Tapi mengapa ibu murka? Apa? Menggoda lelaki itu? Mbak Laila memang kerap menggodaku. Tapi, apakah mungkin lelaki itu juga digodanya? Rasanya tidak mungkin.

Kuberanikan diri untuk berjingkat dan mengintip apa yang sedang terjadi antara ibu dan Mbak Laila. Nat untuk sementara kutinggal sendiri di atas kasur. Toh nanti akan aku ceritakan juga kepadanya apa yang sedang aku lihat. Nat adalah teman terbaik. Bonekaku adalah pendengar yang baik!

Oh, Nat! Ada lelaki itu juga disana. Duduk menunduk disebrang ibu yang sedang berlinang air mata lengkap dengan wajahnya yang murka. Sedangkan mbak Laila duduk bersimpuh bersandar di tembok dekat wastafel, tak jauh dari ibu dan lelaki itu berada.

Drama telah di mulai. Ibu kembali berteriak.

“Dan kau! Kurang apa aku sampai kau tergoda dengan Laila yang telah menjadi anakmu sendiri?” Ibu menunjuk-nunjuk lelaki itu dan selanjutnya kembali menjambak rambutnya sendiri. Frustasi.

Tiba-tiba mbak Laila berlari bersimpuh dihadapan ibu untuk memeluk kakinya yang gemetar. Tangis mbak Laila menjadi-jadi. Sepertinya mbak Laila ingin berbicara sesuatu sebelum akhirnya tiba-tiba saja ibu mengibaskan kakinya keras-keras sehingga mbak Laila terjungkal ke belakang.

Ibu berlari ke kamarnya. Lelaki itu mengikutinya. Dan mbak Laila tetap pada posisinya semula. Aku berlari memeluk Nat, dan menceritakan semuanya.

~ 0 ~

Sejak saat itu, ibu melarang mbak Laila untuk pergi ke sekolah. Seragam putih abu-abunya tergantung lesu di belakang jendela. Jangankan bersekolah, mbak Laila keluar rumah saja ibu sudah murka. Dua hari yang lalu, ibu pernah berkata jika mbak Laila pindah sekolah ke Jakarta kala ada dua teman mbak Laila bertandang kerumah. Tentu saja ibu tak mempersilahkan mereka masuk. Ada mbak Laila di dalam kamar. Meringkuk dan tak bersemangat.

Di rumah, aku layaknya bocah bodoh. Pura-pura tak mengerti tapi terus mengamati. Ibu tetap memperlakukanku seperti biasa, tapi luar biasa sinisnya kepada mbak Laila. Kepada mbak Laila, ibu tak lagi bersikap seperti ibu yang biasanya. Dan aku mulai curiga, entah apa yang dikatakan lelaki itu kepada ibuku hingga seiring bertambahnya kebencian ibu kepada mbak Laila, kini ibu justru terlihat semakin dekat dan semakin sayang dengan suami barunya itu.

Oh, Nat. Aku semakin benci kepada lelaki itu, pun ibu yang membuat mbak Laila tak mau lagi bermain dan bercanda denganku. Jangankan menanyakan apa yang sedang terjadi antara mbak Laila dan ibu, mendekatinya saja aku tak mampu. Aku hanya sesekali tiba-tiba memberikan minum kepada mbak Laila dan terkadang juga mencoba mengajaknya bercanda seperti biasa, yang hanya ditanggapinya dengan senyum yang jelas dipaksa.

Kini, setiap akan berangkat sekolah, aku selalu menyisihkan sebagian uang sakuku di kotak kecil lucu pemberian mbak Laila saat ulangtahun ke 8 ku. Rupanya aku membutuhkan uang dua kali lebih banyak daripada perkiraanku sebelumnya. Ya, karena sepertinya aku membutuhkan dua pisau untuk membunuh dua orang yang berbeda....

~0~

@fikritaniaa

*ilustrasi gambar: poskotanews.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun