Ibu berlari ke kamarnya. Lelaki itu mengikutinya. Dan mbak Laila tetap pada posisinya semula. Aku berlari memeluk Nat, dan menceritakan semuanya.
~ 0 ~
Sejak saat itu, ibu melarang mbak Laila untuk pergi ke sekolah. Seragam putih abu-abunya tergantung lesu di belakang jendela. Jangankan bersekolah, mbak Laila keluar rumah saja ibu sudah murka. Dua hari yang lalu, ibu pernah berkata jika mbak Laila pindah sekolah ke Jakarta kala ada dua teman mbak Laila bertandang kerumah. Tentu saja ibu tak mempersilahkan mereka masuk. Ada mbak Laila di dalam kamar. Meringkuk dan tak bersemangat.
Di rumah, aku layaknya bocah bodoh. Pura-pura tak mengerti tapi terus mengamati. Ibu tetap memperlakukanku seperti biasa, tapi luar biasa sinisnya kepada mbak Laila. Kepada mbak Laila, ibu tak lagi bersikap seperti ibu yang biasanya. Dan aku mulai curiga, entah apa yang dikatakan lelaki itu kepada ibuku hingga seiring bertambahnya kebencian ibu kepada mbak Laila, kini ibu justru terlihat semakin dekat dan semakin sayang dengan suami barunya itu.
Oh, Nat. Aku semakin benci kepada lelaki itu, pun ibu yang membuat mbak Laila tak mau lagi bermain dan bercanda denganku. Jangankan menanyakan apa yang sedang terjadi antara mbak Laila dan ibu, mendekatinya saja aku tak mampu. Aku hanya sesekali tiba-tiba memberikan minum kepada mbak Laila dan terkadang juga mencoba mengajaknya bercanda seperti biasa, yang hanya ditanggapinya dengan senyum yang jelas dipaksa.
Kini, setiap akan berangkat sekolah, aku selalu menyisihkan sebagian uang sakuku di kotak kecil lucu pemberian mbak Laila saat ulangtahun ke 8 ku. Rupanya aku membutuhkan uang dua kali lebih banyak daripada perkiraanku sebelumnya. Ya, karena sepertinya aku membutuhkan dua pisau untuk membunuh dua orang yang berbeda....
~0~
@fikritaniaa
*ilustrasi gambar: poskotanews.com
Â