Mohon tunggu...
Firdaus  Faisal Merdekawan
Firdaus Faisal Merdekawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Hukum UI and Part of LPDP RI

Penggemar perkembangan sains dan teknologi. Menulis untuk melepaskan gagasan yang mengendap pada pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Pentingnya Segera Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

3 Februari 2019   21:50 Diperbarui: 1 Juli 2020   07:04 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)

Di tengah hiruk-pikuk kondisi perpolitikan dalam negeri, publik dikejutkan dengan munculnya petisi penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah dirancangkan sejak tahun 2016 silam. Petisi ini dimotori oleh Maimon Herawati, Seorang Pegiat perempuan yang juga merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. 

Maimon yang sebelumya juga pernah menggalang petisi penolakan iklan grup pop asal Korea, Blackpink karena dianggap dapat menyebarkan provokasi, menilai bahwa RUU PKS mendukung perzinahan dan tindakan LGBT yang oleh sebab itu harus ditolak.

Jika mengurai lebih detail dalam pesan yang dipaparkan dalam petisi tersebut, terdapat beberapa poin yang menarik untuk disoroti, diantaranya menuding bahwa RUU PKS ini melegalkan aborsi yang dilakukan secara suka rela, kemudian bahwa dengan diundangkannya RUU PKS ini nantinya akan membuka kran kebebasan hubungan seksual baik hetero maupun homo seksual asalkan atas dasar suka sama suka.

Narasi yang hendak disampaikan kepada publik lewat petisi tersebut cenderung hanya berapi-api seakan-akan Pemerintah dan Dewan telah bersekongkol dalam pembahasan aturan sedemikian rupa ini, padahal dalam memahami persoalan inti aturan ini kita harus melihat dengan kecermatan dan pembahasan secara komperhensif.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya merupakan sebuah instrumen hukum untuk menutup celah hukum dalam fenomena kejahatan seksual yang selama ini terjadi di Indonesia. Berbagai instrumen hukum terkait seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hingga KUHP tidak mampu untuk memihak kepada korban kekerasan secara seksual atau mendorong upaya pemulihan dan pencegahan korban.

Hal ini dapat dilihat dari tujuan adanya RUU PKS adalah sebagai upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. 

Titik utama ini ada pada penanganan korban, karena kalau melihat data kasus kekerasan seksual di Indonesia posisi korban selalu lemah hingga tidak berani untuk mengungkap kasus yang sedang terjadi.

Berbicara mengenai korban yang dalam posisi lemah, mungkin memori kolektif kita mengingatkan terhadap kasus Baiq Nuril, seorang mantan guru honorer yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan secara seksual dari atasanya yang merupakan seorang Kepala Sekolah. 

Baiq Nuril sering kali menerima telepon dari sang Kepala Sekolah dengan bernada melecehkan, bahkan pada suatu titik tertentu Baiq Nuril beberapa kali diajak menginap di hotel. 

Namun siapa sangka, berharap membawa kasus ini ke meja hijau untuk mendapatkan keadilan, Baiq Nuril justru diganjar dengan hukuman penjara di Kasasi Mahkamah Agung meski sempat dinyatakan tidak bersalah pada pengadilan tingkat pertama.

Mungkin Baiq ini salah satu contoh kecil korban kekerasan seksual yang tidak memperoleh keadilan karena absennya perangkat hukum yang mendukung. Bisa jadi di luar sana banyak sekali korban seperti Baiq yang tidak nampak ke permukaan.

Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)
Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)
Catatan kritis terhadap penolakan RUU PKS

Kembali kepada pembahasan RUU PKS, bahwa sejatinya dengan adanya undang-undang ini, diharapkan nantinya dapat melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan kekerasan seksual. 

Rancangan Undang-Undang ini cakupannya terbatas pada tindakan kekerasan seksual bukan menariknya sedemikian rupa hingga hubungan seksual atas suka sama suka pun harus dimasukan. Maka untuk memahaminya secara mendalam kita harus membedakan makna kekerasan seksual, zina dalam artian KUHP, dan hubungan seksual suka sama suka.

Peratama hubungan seks atas dasar suka sama suka yang dilakukan sesama orang dewasa yang keduanya tidak terikat dalam ikatan perkawinan merupakan urusan moral. Formulasi terbaik untuk urusan moral yaitu dengan pendekatan kacamata agama  dan edukasi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, terapi menghilangkan "kumpul kebo" tersebut tidak lah tepat dengan norma hukum pidana. 

Hukum pidana itu lahir karena sebagai upaya pamungkas terakhir (ultimum remedium) jika upaya-upaya lain seperti sanksi sosial dan agama tidak lagi mampu untuk menghalaunya. 

Kalaupun kita menariknya ke dalam norma hukum pidana, tentunya akan memperumit sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana mensyaratkan adanya korban. 

Sedangkan dalam hubungan seksual tersebut siapa yang dapat menentukan seseorang menjadi korban atau pelaku. Tentu sangat sulit untuk membuktikannya. Mengingat mereka sama-sama saling diuntungkan.

Hubungan seksual tersebut baru dapat memuat korban andaikata salah satunya telah terikat dengan perkawinan. Kenapa dapat memuat korban, karena dengan adanya hubungan tersebut dapat mengancam keutuhan suatu lembaga perkawinan. 

Di sini suami/istri yang menjadi korban dalam keutuhan suatu lembaga perkawinan dapat mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang untuk di proses secara hukum, dan ini sudah terjamin dengan Pasal 284 KUHP.

Hal ini berbeda jika dilakukan salah satu atau keduanya masih dikatagorikan sebagai anak di bawah umur. Meski suka sama suka jika orang tua salah satu tidak suka maka dapat memproses secara hukum karena memang dianggap anak di bawah umur masih belum dapat menentukan sikap secara matang. Dan sekali lagi, ini telah diatur dengan UU Perlindungan Anak.   

Karena memang tidak adanya korban, maka sangat muskil mengatagorikan hubungan seks atas dasar suka sama suka yang dilakukan sesama orang dewasa yang keduanya tidak terikat dalam ikatan perkawinan sebagai sebuah kekerasan seksual. Karena secara konsep dan definisi hubungan seks dengan kekerasan seksual tersebut sangat bertolak belakang. 

Namun bukan berarti RUU PKS ini mendukung adanya perbuatan tersebut. Hal ini juga berlaku terhadap hubungan homo seksual. Sampai saat ini, homo seksual tidak diakui secara hukum sebagai sebuah bentuk perkawinan, karena definisi kawin menurut UU Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara pria dan wanita, bukan pria dengan cowok atau wanita dengan cewek. Jadi sangat tidak berasalan jika menuding RUU PKS ini mengandung unsur melegalkan hubungan homo seksual.  

Kedua dalam hal tidak diaturnya aturan mengenai aborsi secara sukarela bukan berarti RUU PKS ini melegalkannya. Larangan tersebut terdapat pada aturan lain yang telah mengatur sebelumnya, seperti UU Kesehatan dan KUHP. 

Kedudukan dari RUU PKS ini merupakan hukum tersendiri (lex specialis) yang hanya mengatur pemaksaan pengguguran kandungan sebagai bagian dari kekerasan seksual sehingga kemudian jika tidak diatur hal lain di luar konteks kekerasan seksual dalam kaitannya aborsi maka harus merujuk kepada UU Kesehatan dan KUHP.

Ketiga RUU PKS tidak melegalkan prostitusi. Sejatinya prostitusi itu dilarang jika dilakukan dengan cara pemaksaan atau eksploitasi kepada pelaku prostitusi, hal ini berlaku bagi pihak ketiga yang menghubungkan antara pelaku dan penjaja (mucikari) sementara pelaku prostitusi dipandangan sebagai korban. 

Sekali lagi telah di atur dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Orang dengan catatan terdapat unsur eksploitasi. Jika tidak terdapat unsur ekspoloitasi maka dipandang sebagai hubungan seks biasa seperti penjelasan point pertama, namun bagi mucikari tetap terkena jerat hukum karena melanggar Pasal 296 dan 506 KUHP.

Dukung RUU PKS sebagai upaya penyelamatan korban!

Melihat dari beberapa uraian yang telah disampaikan di atas, maka perlu kiranya untuk mendesak agar RUU PKS ini segara disahkan menjadi sebuah undang-undang. Mengingat banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap di Indonesia, kalaupun terungkap tidak membawa perlindungan dan keadilan kepada korban.

Bukankah dengan adanya sebuah aturan hukum dan menaatinya sebagai sebuah sistem menegakkan hukum merupakan suatu konsensi patriotisme yang paling utama sebagai sendi-sendi berperilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum sebagai sebuah tujuan hukum.

Mahasiswa Hukum Tingkat Akhir
Direktur Ekskutif LKBHMI Cabang Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun