Mohon tunggu...
Firdaus  Faisal Merdekawan
Firdaus Faisal Merdekawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Hukum UI and Part of LPDP RI

Penggemar perkembangan sains dan teknologi. Menulis untuk melepaskan gagasan yang mengendap pada pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Pentingnya Segera Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

3 Februari 2019   21:50 Diperbarui: 1 Juli 2020   07:04 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)

Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)
Ilustrasi: Kekerasan Seksual. (Sumber: andrewsikpi.wixsite.com)
Catatan kritis terhadap penolakan RUU PKS

Kembali kepada pembahasan RUU PKS, bahwa sejatinya dengan adanya undang-undang ini, diharapkan nantinya dapat melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan kekerasan seksual. 

Rancangan Undang-Undang ini cakupannya terbatas pada tindakan kekerasan seksual bukan menariknya sedemikian rupa hingga hubungan seksual atas suka sama suka pun harus dimasukan. Maka untuk memahaminya secara mendalam kita harus membedakan makna kekerasan seksual, zina dalam artian KUHP, dan hubungan seksual suka sama suka.

Peratama hubungan seks atas dasar suka sama suka yang dilakukan sesama orang dewasa yang keduanya tidak terikat dalam ikatan perkawinan merupakan urusan moral. Formulasi terbaik untuk urusan moral yaitu dengan pendekatan kacamata agama  dan edukasi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, terapi menghilangkan "kumpul kebo" tersebut tidak lah tepat dengan norma hukum pidana. 

Hukum pidana itu lahir karena sebagai upaya pamungkas terakhir (ultimum remedium) jika upaya-upaya lain seperti sanksi sosial dan agama tidak lagi mampu untuk menghalaunya. 

Kalaupun kita menariknya ke dalam norma hukum pidana, tentunya akan memperumit sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana mensyaratkan adanya korban. 

Sedangkan dalam hubungan seksual tersebut siapa yang dapat menentukan seseorang menjadi korban atau pelaku. Tentu sangat sulit untuk membuktikannya. Mengingat mereka sama-sama saling diuntungkan.

Hubungan seksual tersebut baru dapat memuat korban andaikata salah satunya telah terikat dengan perkawinan. Kenapa dapat memuat korban, karena dengan adanya hubungan tersebut dapat mengancam keutuhan suatu lembaga perkawinan. 

Di sini suami/istri yang menjadi korban dalam keutuhan suatu lembaga perkawinan dapat mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang untuk di proses secara hukum, dan ini sudah terjamin dengan Pasal 284 KUHP.

Hal ini berbeda jika dilakukan salah satu atau keduanya masih dikatagorikan sebagai anak di bawah umur. Meski suka sama suka jika orang tua salah satu tidak suka maka dapat memproses secara hukum karena memang dianggap anak di bawah umur masih belum dapat menentukan sikap secara matang. Dan sekali lagi, ini telah diatur dengan UU Perlindungan Anak.   

Karena memang tidak adanya korban, maka sangat muskil mengatagorikan hubungan seks atas dasar suka sama suka yang dilakukan sesama orang dewasa yang keduanya tidak terikat dalam ikatan perkawinan sebagai sebuah kekerasan seksual. Karena secara konsep dan definisi hubungan seks dengan kekerasan seksual tersebut sangat bertolak belakang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun