RUU) Perkelapasawitan sangat minim urgensi dan berpotensi sarat masalah, tidak serta merta menjadikan pembahasan nya dihentikan. Yang terjadi justru sebaliknya, DPR RI justru menunjukkan sikap setuju untuk mengesahkan RUU dimaksud dan menempatkannya dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sekalipun Rancangan Undang-Undang (Hal tersebut terlihat dari hasil kajian koalisi #Vote4Forest terhadap rekam jejak anggota DPR di Badan Legislasi (Baleg) periode 2014-2019 Â yang menunjukkan dari 30 anggota DPR RI yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan, sebanyak 28 anggota akan kembali mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Anggota Legislasi (Pileg) 2019.
 "Sebanyak 13 dari 28 anggota Baleg berasal dari Dapil yang di dalamnya terdapat korporasi besar sawit yang berkonflik dengan frekuensi beragam," ungkap Adrian Putra dari WikiDPR, lembaga non-profit yang menyoroti praktik kerja anggota DPR RI, seperti dilansir dari www.greeners.co, kemarin.
#Vote4Forest merupakan inisiatif kolaborasi dari Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR dan Change.org Indonesia untuk memberikan informasi publik terkait rekam jejak anggota DPR RI akan isu lingkungan jelang Pemilu 2019.
Adrian mengatakan, kajian Rekam Jejak Anggota DPR RI dalam proses legislasi ini dilakukan terhadap anggota DPR RI di Badan Legislasi (Baleg) Periode 2014-2019 dan terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dari 30 anggota DPR RI yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan, sebanyak 28 anggota akan kembali mencalonkan diri dalam Pileg 2019.
Sementara itu, ia memandang kekukuhan pendirian wakil rakyat dalam upaya mengesahkan RUU ini tidak terlepas dari indikasi eratnya hubungan pejabat teras partai baik secara kepemilikan atau pun relasi industri di sektor kelapa sawit ini. Selain ditentukan oleh ada atau tidaknya korporasi besar sawit dan konfliknya di Dapil mereka, sikap anggota Baleg DPR RI juga dipengaruhi oleh partai politik pengusungnya dan kaitan pendanaan partai politik dari korporasi besar sawit maupun patron klien yang dimiliki anggota Baleg yang bersangkutan.
Adrian melanjutkan, hasil kajian juga menemukan sejumlah 53% anggota Baleg terindikasi mendukung RUU Perkelapasawitan ini segera disahkan. Sementara 36% bersikap netral atau tidak menunjukkan keberpihakan dan 11% menolak kelanjutaan dibahasnya RUU Perkelapasawitan.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan, jika ditelusuri relasi dan kepemilikan bisnis sawit dalam struktur partai politik yang terlibat dalam RUU Perkelapasawitan, setidaknya ada 6 partai dengan pejabat teras teridentifikasi memiliki hubungan bisnis sawit. Beberapa pejabat teras partai tersebut diduga memiliki ataupun dekat dengan industri sawit.
"Kedekatan politis tersebut akan mendorong terakomodasinya kepentingan bisnis tersebut dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif, termasuk RUU Perkelapasawitan ini. Bahkan Fraksi Golkar dan PDIP merupakan pengusul RUU Perkelapasawitan," akunya.
Kukuhnya pendirian wakil rakyat dalam upaya mengesahkan RUU ini tidak terlepas dari indikasi eratnya hubungan pejabat teras partai baik secara kepemilikan atau pun relasi industri di sektor kelapa sawit ini.
Hal tersebut dibenarkan oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR Komisi VIII dan BKASP 2014-2019. Ia mengatakan kalau hampir semua keputusan kebijakan berada di tingkat tertinggi, seperti Pimpinan Partai, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi), Sekretaris Fraksi, atau Ketua Komisi. Sangat jarang pengambilan keputusan berdasarkan individu (anggota legislatif).
"Berbicara proses pengambilan keputusan, kalau misalkan ada dari teman-teman atau masyarakat ingin melobi sebuah kebijakan, yang dilobi adalah pimpinan partai atau kapoksi dan sekretaris fraksi. Kapoksi pasti akan mewakili kebijakan partai dan tidak mungkin kapoksi akan melawan. Kapoksi juga pengambil keputusan suatu regulasi dilanjutkan atau mau diapakan. Jadi, individu di DPR itu digunakan sebagai alat kendaraan politik saja, yang mengambil keputusan tetap para pimpinan," terang dia.
Ia menjelaskan, keputusan dalam lembaga legislatif ditentukan oleh tiga pihak, yakni ketua partai, ketua-sekretaris fraksi, dan Ketua kelompok fraksi (Kapoksi). Menurut Saraswati, bila seseorang ingin melobi dan mempengaruhi hasil pembahasan suatu RUU dalam DPR, maka setidaknya tiga orang itu harus menjadi sasaran lobi.
"Kalau kita bicara proses pengambilan keputusan sama seperti RUU lain mana pun, lobi sebuah kebijakan itu harus tepat sasaran," ujar Rahayu.
Acuan:
#VOTE4FOREST: RUU PERKELAPASAWITAN MINIM URGENSI DAN SARAT MASALAH
RUU Perkelapasawitan Pro Pengusaha Sawit, LSM Kritik DPR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H