Peningkatan produksi merupakan upaya perwujudan swasembada pangan demi mencapai ketahanan pangan nasional. Pemerintah terus berupaya meningkatkan ketersediaan pangan, terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting mengingat jumlah penduduk Indonesia yang kian hari kian besar dengan cakupan geografis yang luas.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), berusaha mewujudkan peningkatan produktivitas pangan di dalam negeri lewat perluasan lahan pertanian dan optimalisasi lahan tidak produktif.Â
Cetak sawah baru dilakukan bekerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lahan-lahan tidur di luar Jawa, antara lain Lampung, Sumatera Selatan (Sumsel), Pulau Kalimatan, dan Papua.
Sinergi percepatan pelaksanaan cetak sawah baru tersebut tertuang dalam penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementan, dinas pertanian di beberapa wilayah dan TNI. Bukan baru kali ini saja TNI terlibat dalam urusan pertanian. Beberapa proyek pertanian yang pernah mengikut sertakan TNI di antaranya adalah pengawasan Luas Tambah Tanam (LTT), pengawalan Serap Gabah (Sergab), sampai penyaluran pupuk bersubsidi.
Pihak Kementan sendiri mengklaim, program cetak sawah bersama TNI juga sudah dilakukan sejak 2015 hingga 2018 lalu. Hasilnya, menurut Kementan, mereka sudah berhasil mencetak sekitar 200 ribu hektar sawah baru yang lokasinya tersebar di seluruh penjuru tanah air.Â
"Khusus untuk kegiatan cetak sawah, dari tahun 2015 sampai dengan 2018, hasil kerjasama dengan TNI berhasil mencetak sawah baru lebih dari 200 ribu hektar yang tersebar di wilayah indonesia," ungkap Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy, beberapa waktu lalu.
Kementan mengklaim selama empat tahun terakhir ini telah mampu mampu mencetak 1,16 juta hektar sawah, dari target yang dicanangkan sebanyak 1 juta hektar. Jumlah ini terbagi atas 900 ribu hektar dari optimalisasi lahan dan lebih dari 211 ribu hektar dari cetak tanah baru.
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementan Indah Megawati mengatakan, tambahan konsumsi sebesar 1,7 juta ton pun dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri. Ini dapat dicapai karena bertambahnya luas tanam melalui optimalisasi lahan dan cetak sawah baru.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan dengan bangganya menyatakan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pertanian Indonesia meningkat tajam dan menempati posisi lima di dunia, naik dari Rp994 triliun menjadi Rp1.462 triliun dan hampir merata di seluruh sektor.
Ekspor dalam bidang pertanian pun dikatakan turut mengalami peningkatan kurang lebih 9-10 juta ton, dimulai dari tahun 2013 sampai 2018. "Ekspor kita di tahun 2013 mencapai 33 juta ton, sedangkan di tahun 2018 itu mencapai 42 juta ton. Kurang lebih 9-10 juta ton peningkatan," jelasnya.
Jika dulu Indonesia rutin impor jagung, bawang merah, cabai, telur, daging ayam dan lainnya, kini Indonesia diklaim telah mampu membalikkan posisi menjadi eksportir jagung, bawang merah, telur unggas, ayam, domba dan produk pertanian lainnya.
Ilusi atau Nyata?
Jika kita menelan mentah-mentah informasi diatas, tentu saja kinerja kementerian yang satu ini tampak sebagai sebuah maha prestasi. Namun, alangkah baiknya jika kita berani bertanya, jika memang ada penambahan luas lahan yang sedemikian besarnya, mengapa negara kita masih saja diguyur jutaan ton impor beras tiap tahunnya?Â
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai US$1,03 miliar sepanjang tahun 2018. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, impor beras di tahun 2018 tercatat sebagai yang tertinggi.
Pada 2015 total impor beras sebanyak 861,60 ribu ton dengan nilai US$351,60 juta. Pada 2016 impor beras tercatat sebanyak 1,28 juta ton dengan nilai US$531,84 juta. Sementara pada 2017 tercatat sebanyak 305,27 ribu ton dengan nilai US$143,64 juta.Â
Kesimpulannya, sejak tahun 2000 hingga saat ini, belum pernah Indonesia absen dari yang namanya impor beras. Aneh bukan? Pertanyaan mendasar dan sederhana ini harus bisa dijawab oleh Kementan.Â
Apa yang salah? Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi menilai perluasan lahan pertanian justru sulit dilakukan karena jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk yang bertambah idealnya diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka.
Hal lain yang menyebabkan perluasan lahan pertanian menjadi sulit adalah gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Kedua hal tersebut tidak jarang harus mengorbankan lahan pertanian.
"Pemerintah sebaiknya fokus pada peningkatkan efisiensi lahan yang sudah ada, peningkatan kapasitas petani dan revitalisasi alat pertanian serta pabrik-pabrik yang sudah tua. Hal ini lebih efektif ketimbang perluasan lahan," jelasnya.
Menurutnya, peningkatan kapasitas petani dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan, memberikan penyuluhan dan bimbingan soal penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam. Revitalisasi alat pertanian dan pabrik juga penting dilakukan karena hal ini sangat memengaruhi produktivitas pangan.
Acuan:
Genjot lahan rawa, Kementan tetap cetak sawah baru
Peningkatan produktivitas pangan tidak hanya butuh perluasan lahan
Sederet alasan kenapa Indonesia masih doyan impor beras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H