Entah apa yang ada di kepala Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan saat melontarkan ancaman Indonesia bisa saja keluar dari Kesepakatan Paris (The Paris Agreement), sebagai bentuk reaksi sikap diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap sawit.
Jikalau masih sekedar melaporkan ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) atau separah-parahnya memboikot produk-produk UE, mungkin masih bisa dimengerti. Tapi sampai keluar dari Kesepakatan Paris? Apakah perlu sampai sejauh itu?
Perlu kita ketahui, dengan meratifikasi Kesepakatan Paris Indonesia telah setuju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya tanpa syarat hingga 29% dan dengan persyaratan hingga 41% di tahun 2030. Penandantanganan kesepakatan tersebut merupakan bukti komitmen pemerintah Indonesia bersama lebih dari 150 negara di berbagai penjuru dunia dalam menjaga iklim global dengan cara mengurangi emisi gas karbon di atmosfer.
Ancaman menarik diri dari Kesepakatan Paris sebagai bentuk retaliasi atau langkah perlawanan atas keluarnya Delegated Act Komisi UE terkait diskriminasi kelapa sawit, tentu saja terdengar berlebihan, malah bisa dibilang cenderung sembrono. Sekalipun hal tersebut dilakukan atas dasar demi melindungi kepentingan nasional.
Berbicara di forum pemangku kepentingan sawit, Luhut Binsar Pandjaitan, menteri koordinator yang mengawasi sumber daya alam dan maritim, menegaskan Uni Eropa "sebaiknya tidak meremehkan Indonesia" dan berjanji bahwa pemerintah akan secara tegas mempertahankan kepentingan nasional.
"Jika Amerika Serikat dan Brasil bisa meninggalkan kesepakatan iklim, kami akan mempertimbangkan hal itu. Kenapa tidak?" ujar Luhut, kemarin.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Menko Luhut yang menyebut pemerintah Indonesia mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris sangatlah tidak tepat.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Eksekutif Nasional Walhi Yuyun Harmono mengingatkan, keikutsertaan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang telah menjadi kekhawatiran global. Oleh karena itu, ancaman penarikan diri dari kesepakatan internasional tersebut tentu saja bertentangan dengan komitmen presiden.
Menurutnya, komitmen seorang kepala negara tidak dapat serta merta dibantah oleh pejabat selevel menteri. Tidak hanya itu, pernyataan Menko Luhut itu juga dinilai lebih merupakan pernyataan pribadi dan melangkahi kewenangan DPR-RI karena dilontarkan tanpa persetujuan parlemen.
"Ini jadinya kontradiktif. Presiden menyatakan terlibat menurunkan emisi tingkat global, sementara menteri lakukan itu demi kepentingan perdagangan dan ekonomi dan bukan mewakili kepentingan rakyat, tapi kepentingan korporasi sawit."
Acuan:
Walhi kritisi ancama Menko Luhut keluar dari kesepakatan Paris
Diskriminasi sawit, RI ancam mundur dari kesepakatan Paris
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H