Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Nature

Laju Deforestasi Indonesia Menurun

21 Maret 2019   16:05 Diperbarui: 21 Maret 2019   16:25 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika publik berbicara tentang deforestasi di Indonesia dan Malaysia, sawit seringkali dijadikan kambing hitam. Permintaan akan minyak nabati yang serbaguna sangat tinggi di seluruh dunia, dengan kedua negara berkontribusi hingga 87% dari kesulurahan pasokan global.

Perkebunan kelapa sawit dan pulp skala industri berkembang pesat di Indonesia dan Malaysia selama beberapa dekade terakhir. Timbul pertanyaan, apakah hutan-hutan tua benar-benar diratakan untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit dan pulp, ataukah perkebunan tersebut dibangun di atas lahan yang memang telah "dibersihkan" di masa lalu untuk keperluan lain?

Untuk menjawab pertanyaan itu, para ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menggunakan serangkaian gambar satelit untuk memetakan perluasan perkebunan kelapa sawit dan pulp. Gambar tersebut menunjukkan hilangnya hutan-hutan tua di Pulau Kalimantan dan wilayah Kalimantan milik Malaysia, dimana hampir setengah dari total industri sawit dunia berlokasi di kawasan dimaksud.

"Setiap tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2017 kami mengukur total kehilangan hutan, berapa banyak area perkebunan yang ditambahkan, dan berapa banyak hutan yang ditebangi dan dikonversi menjadi perkebunan di tahun yang sama. Ini memungkinkan kami untuk menentukan jumlah hutan yang dibuka oleh perusahaan perkebunan," terang peneliti dari Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR), David Gaveau, seperti dilansir dari laman www.forestnews.cifor.org

Menurut riset, antara tahun 2000 dan 2017 ditemukan 6,04 juta hektar hutan tua telah hilang di Kalimantan, turun 14%. Sekitar setengah dari daerah itu akhirnya dikonversi menjadi perkebunan industri, dan 92% dari hutan yang dikonversi diganti dengan perkebunan dalam jangka waktu satu tahun setelah ditebangi.

Pada periode yang sama, perkebunan industri meningkat secara keseluruhan sebesar 170%, atau 6,20 juta hektar, dimana 88% diantaranya untuk kelapa sawit dan 12% untuk pulp.

Indonesia, yang memiliki 73% dari luas wilayah pulau Kalimantan, telah kehilangan 3,74 juta hektar lahan hutannya. Namun mampu mencetak lahan perkebunan terbanyak dengan total 4,35 juta hektar. Sementara wilayah pulau Kalimantan milik Malaysia, jumlah hutan hilangnya lebih kecil yaitu sebesar 2,29 juta hektar hutan dan 1,85 juta hektar digunakan untuk perkebunan.

Meski demikian, tidak semua pengembangan perkebunan mengakibatkan deforestasi. Banyak pengembangan lahan perkebunan, terutama di Indonesia, telah terjadi di daerah yang dibuka sebelum tahun 2000, jauh sebelum perkebunan beroperasi.

 "Jadi jelas bahwa tidak semua perkembangan perkebunan menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan," ujarnya.

Indonesia dan Malaysia telah menetapkan standar keberlanjutan dalam beberapa tahun terakhir -- Standar Indonesia untuk Minyak Sawit Berkelanjutan (ISPO) dan Standar Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) -- serta telah menerbitkan Kebijakan-kebijakan untuk menekan laju konversi hutan menjadi perkebunan.

Di tahun 2011 Indonesia meluncurkan moratorium nasional bagi perkebunan sawit dan pulp baru di hutan primer, yang telah diperpanjang beberapa kali sejak itu. Dan pada tahun 2016 Indonesia menerapkan moratorium emiter karbon terbesar yaitu lahan gambut.

Penguatan kebijakan hukum bagi legalitas lahan masyarakat di Indonesia juga dapat mempersulit perusahaan mendapatkan lahan untuk perkebunan.

Penyebaran perkebunan menunjukkan dua puncak, satu di tahun 2009 dan satu lagi di tahun 2012. Para peneliti menemukan bahwa sejak 2012, terjadi penurunan terus-menerus dalam ekspansi perkebunan ke hutan tua.

Studi ini mengungkapkan beberapa detail yang bisa menjelaskan dinamika di balik naik turunnya tingkat ekspansi. Setiap puncak ekspansi mengikuti satu tahun di mana ada puncak harga minyak sawit mentah. Harga itu telah turun sejak 2011, bertepatan dengan penurunan ekspansi perkebunan.

"Penurunan ekspansi perkebunan mungkin salah satunya karena upaya pemerintah mengatur ekspansi perkebunan ke daerah berhutan. Tetapi korelasi yang sangat kuat antara harga dan ekspansi menunjukkan bahwa kekuatan pasar adalah kekuatan pendorong utama yang mempengaruhi ekspansi," terang Gaveau.

Deforestasi juga mencerminkan faktor-faktor selain ekspansi perkebunan, seperti kebakaran hutan dan perluasan pertanian rakyat.

kebakaran hutan. Foto oleh Wahyudi/AFP
kebakaran hutan. Foto oleh Wahyudi/AFP
Tahun 2017, tren penurunan ekspansi perkebunan, serta pembukaan hutan untuk perkebunan, mencapai tingkat terendah sejak 2003. Harga minyak sawit yang rendah, peningkatan pencegahan kebakaran di Indonesia dan kondisi cuaca yang lebih basah semuanya mungkin berkontribusi pada rendahnya laju deforestasi tahun 2017.

"Tanah dan tenaga kerja juga menjadi semakin sulit untuk didapatkan dan dipertahankan di Kalimantan. Lebih jauh lagi, perhatian dari organisasi non-pemerintah dan jurnalis, tekanan dari konsumen dan negara konsumen, dan pergeseran ekspansi ke wilayah lain di dunia, seperti Papua, Afrika dan Amerika Selatan, mungkin semua faktor ini telah menghambat ekspansi perkebunan," terang dia.

Senada dengan Gaveau, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) menyatakan, Indonesia mampu mencatatakan laju penurunan deforestasi dari 1,92 juta hektare (ha) pada kurun waktu 2014-2015 menjadi 0,48 juta ha pada 2016-2017.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan, pada 2014-2015 deforestasi lahan di kawasan hutan mencapai 0,82 juta ha sementara sisanya 0,28 juta ha terjadi di luar kawasan hutan. Adapun pada 2016-2017 deforestasi area hutan mencapai 0,31 juta ha dan diluar area hutan 0,17 juta ha.

Penurunan angka deforestasi ini merupakan satu bukti keseriusan komitmen pemerintah Indonesia serius dalam menangani laju deforestasi.

"Ini menjadi sangat penting karena internasional selalu address kepada dunia bahwa Indonesia nggak beres soal menangani hutan dan itu sekarang kita tangani dengan baik. Ini artinya juga terkait dengan sawit. Kita menjelaskan kepada dunia bahwa kita mengatasi persoalan deforestasi sehingga jadi kurang layak kalau sawit selalu dipersalahkan dikaitkan dengan deforestasi," jelasnya beberapa waktu lalu.

Siti melanjutkan, kabar gembira datang dari Norwegia. Negara skandinavia tersebut menyatakan siap melakukan pembayaran pertama untuk pengurangan emisi 4,8 juta ton karbon dioksida (CO2) yang dilakukan Indonesia untuk laporan 2016 sampai dengan 2017.

Agroindonesia.co.id
Agroindonesia.co.id
"Nanti sesudah angka emisi terverifikasi secara independen, Norwegia akan menjamin pembayaran kepada Indonesia untuk sekitar 4,8 juta ton CO2 itu," ungkapnya.

Seperti diketahui, tahun 2010 silam Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Norwegia tentang moratorium kehutanan. Dalam kesepakatan tersebut Norwegia bersedia memberikan kompensasi dana hingga sebesar USD1 miliar untuk penyelamatan hutan dan lahan gambut di Indonesia. Moratorium yang pada awalnya berlaku selama dua tahun tersebut sudah beberapa kali diperpanjang sebagai bentuk upaya Indonesia dalam memerangi perubahan iklim.

Kesepakatan bilateral antara Indonesia dan Norwegia ini adalah tindak lanjut perundingan iklim terkait usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global akibat kerusakan hutan. Dana sebesar satu miliar Dolar AS dari Norwegia selanjutnya dimanfaatkan untuk sistem pengawasan hutan dan proyek percontohan di bawah naungan skema PBB untuk perubahan iklim, yang disebut REDD (reduced emissions from deforestation and forest degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Skema REDD ini memungkinkan negara-negara berkembang untuk memperoleh uang, dengan syarat mereka tidak diperbolehkan merusak hutan dan harus menjaga lahan gambut. Hal ini karena hutan dan lahan gambut merupakan elemen yang sangat penting untuk memperlambat pemanasan global.

Acuan

Apakah laju deforestasi di Pulau Kalimantan melambat?
Norwegia sia bayar pengurangan emisi karbon Indonesia
Laju deforestasi Indonesia mulai melambat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun