Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kapan Buruh Tani Berdikari di Tanah Sendiri?

14 Maret 2019   13:55 Diperbarui: 14 Maret 2019   14:09 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perwujudan cita-cita luhur Reforma Agraria yang dicoba dilaksanakan pemerintahan Jokowi-JK lewat pembagian sertifikat tanah gratis sebagai bagian dari program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) terbukti belum mampu "memerdekakan" seluruh tumpah darah Indonesia.

Apa pasalnya? Meski Jokowi menegaskan bahwa tak ada biaya yang harus dikeluarkan saat mengurus sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ternyata masih ada saja yang harus membayar.

Antara
Antara
Bahkan untuk membiayai program tersebut masyarakat harus merogoh kocek cukup dalam. Kabarnya, di Kelurahan PondoK Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan ada warga yang mengatakan harus membayar hingga Rp 2,5 juta untuk mengurus PTSL.

Salah seorang warga di Kelurahan Pondok Cabe Ilir bercerita bahwa label gratis untuk sertifikat tanah tersebut tidak benar. Ia mengatakan demikian karena keluarganya diminta membayar Rp 2,5 juta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program kebanggaan Jokowi itu.

"Bapak saya ikut program ini kan karena katanya gratis, tapi pas tanya ke RT ternyata harus bayar sekitar Rp 2,5 juta," kata warga yang enggan disebut Namanya.

Parahnya lagi, menurut penuturannya ternyata kejadian serupa terjadi bukan hanya di wilayahnya saja. Di beberapa wilayah lain pun disebut harus membayar untuk mengikuti PTSL. Bahkan bayarannya lebih besar, rata-rata pembayarannya berkisar di atas Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta.

Yang lebih parah, Naneh, seorang lansi berusia 60 tahun, diharuskan membayar hingga Rp200 juta jika ingin memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanahnya sekarang. Ini karena tanah yang didiami pemilik warung nasi di RT 2 RW 5 ternyata milik pemerintah daerah.

Besaran Rp 200 juta muncul dari hitungan uang pemasukan untuk daerah, rumusnya 25 persen kali luas tanah kali NJOP tahun berjalan menurut Pergub Nomor 239 Tahun 2015. "Saya enggak sanggup, saya mau batalkan saja," ujarnya seperti dikutip dari  Tempo.co pada Rabu 13 Februari 2019.

Sertifikasi Tanah Bawa Masalah Baru
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menilai, program Reforma Agraria yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK tidak berhasil mengurangi monopoli kepemilikan lahan garapan di berbagai daerah. Sebaliknya, program reforma agraria yang mengandalkan kebijakan sertifikasi tanah rakyat tersebut justru meningkatkan monopoli tanah di tangan segelintir tuan tanah besar baik perusahaan swasta maupun negara.

Mereka memandang program sertifikasi tanah Jokowi-JK hanyalah land administration project (LAP) atau hanya mendata dan melegalisasi tanah-tanah yang sebelumnya sudah dimiliki perorangan.

"Secara hakikat, reforma agraria yang dilakukan Jokowi-JK adalah sertifikasi tanah. Jadi, tidak ada sejengkal pun tanah yang diambil dari tangan tuan-tuan tanah dan dibagikan kepada petani tak bertanah. Jadi, tak sejengkal pun tanah yang dimonopoli berhasil dikurangi melalui program itu," ujar Ketua Umum AGRA Rahmat Ajiguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun