Selain itu, KLHK juga menuding PT BMH tidak melakukan upaya pemadaman sehingga kebakaran tidak bisa dipadamkan. Majelis hakim menilai tuduhan ini tidak berdasar karena BMH memiliki satu unit menara api, 2 unit mesin pompa shibura, 1 unit selang, kanal dengan lebar 6 meter per 500 meter dan 6 unit mesin ringan ministriker, alat pemadam kebakaran, alat pengukur angin, 4 unit mobil, 2 speedboat, menara pengawas, eksavator, dengan tenaga 10 orang di Simbang Tiga dan 80 orang di Sungai Biyuku.
Seperti dilansir Detikcom, Ahmad Taufik dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, kuantitas sarana pemadam kebakaran PT BMH sudah cukup yaitu regu kebakaran 244 orang, 4 menara api, sejumlah pemukul api dan 6 unit pompa air. Oleh karena itu, majelis hakim menilai tidak ada hubungan kausalitas antara terjadinya kebakaran tersebut dengan tanggung jawab yang harus ditanggungnya. Menurut Ahdtja Sondjaja ahli yang juga mantan hakim agung hubungan kausul antara kesalahan dan kerugian, tidak terpenuhi yang merupakan salah satu syarat atau unsur pada Pasal 1365 KUHPerdata.
Lihat berita tersebut disini : http://news.detik.com/berita/3110680/tolak-gugatan-rp-79-t-hakim-klhk-tak-bisa-buktikan-bmh-langgar-kuhperdata
Dalam putusannya tersebut, majelis hakim meyakini dan membenarkan ada kebakaran di lahan di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Biyuku, sebagai salah satu wilayah konsensi PT Bumi Mekar Hijau. Namun, KLHK tidak bisa membuktikan bahwa PT BMH sebagai penyebab kebakaran tersebut karena sampel yang diambil tidak cukup mewakili 20 ribu hektare. KLHK hanya mengambil sampel di tiga titik.
“Memang benar adanya kebakaran di wilayah usaha Tergugat, akan tetapi kebakaran tersebut ditimbulkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, Tergugat tidak membuka lahan dengan cara membakar, Tergugat/PT. BMH membuka lahan tanpa membakar dan yang terbakar merupakan lahan tanaman akasia yang berusia 2 sampai 6 tahun telah siap panen, sehingga justru Tergugat yang sangat dirugikan, selain itu bahwa tentang standard minimum kelengkapan saranan dan prasarana pengendalian kebakaran tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan,” ujar Majelis Hakim dalam putusan tersebut.
Jadi, dengan melihat berbagai fakta itu, masih terus mau mencaci Parlas Nababan??
Mari kita lihat kelanjutanya. Pemerintah sudah melakukan banding atas kasus ini. Kita kawal bersama secara objektif siapa yang ngaco.
Selain itu, perlu digaris bawahi banyak kasus yang lebih besar. Masih banyak perusahaan-perusahaan hutan dan perkebunan, yang lebih besar dari sekedar pihak ketiga seperti PT BMH, yang terindikasi membakar hutan belum terungkap dengan jelas, belum juga digugat di persidangan. Pemerintah pun masih terkesan menutup-nutupi identitas perusahaan besar itu.
Pemerintah hanya menyebutkan di media, ada 23 perusahaan yang digugat, 3 izin yang dicabut, 16 perusahaan dibekukan dan paksaan pemerintah untuk menguasai lahan 4 perusahaan. Siapa perusahaan-perusahaan itu? Pemerintah sepertinya masih enggan menyebutkan dengan gamblang dengan alasan agar kondisi tak gaduh dan menjaga kestabilan ekonomi.
Jangan-jangan kasus BMH ini hanya pengalih untuk menutupi kasus-kasus yang lebih besar. Publik telah terkecoh dengan hanya ramai-ramai menghujat Parlas Nababan.