Lalu pada tahun 1972 Greenpeace Internasional mulai terbentuk. Hal ini berimplikasi pada bertambah luasnya lingkup kampanye lingkungan yang dilakukan. Dalam level ini, Greenpeace Internasional fokus pada non-violent direct action (NVDA), yang dilakukan secara menyeluruh menggunakan media. Carter (1999: 268), dalam Susanto (2007), menjelaskan bahwa NVDA merupakan contoh dari pembangkangan sipil secara kolektif. Lebih lanjut, ia mengatakan demikian; this method could conceivably empower people who are engaged in it, while simultaneously disempowering the state. In practise, NVDA leads to autonomous cooperation among activists. NVDA helps the activists to reach a collective decision about actions and to gain a mutual support through participation within affi nity groups. Direct action is also a symbolic way to demonstrate opposition and more recently, to create a media event to increase the coverage of a particular campaign.
      Konsekuensi dari pemilihan strategi ini adalah kebanyakan aksi protes dari Greenpeace mampu mendapat perhatian dari media. Dengan memberi gambaran yang spektakuler pada media, Greenpeace Internasional membuat publik menjadi saksi dan tanggap akan situasi degradasi lingkungan untuk secara kolektif mengembangkan solusi. Dengan mendapat penghargaan publik melalui media massa,  Greenpeace dilihat sebagai sebuah organisasi yang cukup berpengaruh pada saat itu.
      Strategi pembangkangan sipil dengan metode NVDA (Non-Violent Direct Action) dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang cukup konvensional dan radikal. Upaya untuk mengadakan perubahan sosial dan politik secara fundamental melalui jalur formal terkesan benar-benar dihindari. Pada masa ini media yang digunakan tentunya adalah media konvensional seperti koran, majalah, dll. Media massa digunakan sebagai ruang protes yang cukup radikal.
      Namun strategi ini mulai berubah pada tahun 1990an. Karena perkembangan lingkup organisasi yang semakin besar, Greenpeace memodifikasi strateginya menjadi lebih moderat. Mereka melakukan rasionalisasi di dalam institiusinya. Lee (1995: 9), dalam Susanto (2007), menjelaskan demikian; …. as Greenpeace International grew in size and wealth, it adopted the more moderate tactics in the environmental mainstream, which engages in lobbying and press conference more of ten than in environmental campaign. For instance, Greenpeace International constructs the environmental messages, derived from complex scientific information, by translating them into more accessible language. Greenpeace International became expert at penetrating, synthesizing, and publicizing contemporary environmental science and uses its action as a strategic form of public education.
      Semenjak perubahan yang lebih moderat, Greenpeace mulai untuk melakukan gerakan sosial lingkungan dengan beberapa cara seperti, riset dan dialog untuk mempengaruhi kebijakan politik serta mengembangkan pengetahuan di sektor pemerintah dan industri yang berkaitan dengan lingkungan. Selain itu perubahan strategi juga dilakukan dengan pengaturan hirarki organisasi secara lebih terstruktur, dengan harapan adanya legitimasi politik serta sistem keanggotaan yang terdaftar rapi. Di saat yang sama, sebenarnya masih nampak adanya gerakan radikal direct action, yang mendukung aktivis akar rumput, peningkatan untuk menarik perhatian media, dan kesetiaan pada filsafat ekosentris di banyak isu, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
      Media selalu menjadi bagian dari strategi Greenpeace dalam gerakan lingkungannya. Dari sifat strategi yang murni radikal hingga lebih moderat, terlebih saat lingkup Greenpeace mencapai internasional, media menjadi alat untuk mendapat perhatian publik. Melalui media, Greenpeace mampu mendukung banyak aktivisme lingkungan, dengan tetap berbasis pada direct action. Perubahan strategi tidak mengubah nilai dasar dari gerakan lingkungan Greenpeace yang berbasis pada direct action, sebagai bentuk dari tindakan kolektif dari masyarakat sipil.
 Model Kerja Baru dengan Penggunaan Komunikasi Digital
      Dalam aktivitasnya, Greenpeace menaruh perhatian khusus pada penggunaan media untuk mendukung gerakan lingkungan dan perdamian dunia. Bahkan, perhatian ini sudah nampak sejak lama sebelum ada perubahan strategi Greenpeace dari yang cukup konservatif ke yang lebih moderat.
      Khusus konteks Asia Tenggara, dalam laporan tahunan kerja tahun 2011-2013, direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, yakni Von Hermandez, dalam sambutannya mengatakan bahwa tahun 2013 merupakan tahun peralihan yang krusial bagi Greenpeace Asia Tenggara. Terdapat perencanaan untuk dilakukan model kerja global baru. Model kerja global baru merupakan sebuah program strategis yang menerima perubahan mendasar dalam kondisi dunia saat ini, khususnya pada pergeseran peta politik dunia di mana negara-negara berkembang memainkan peran penting dalam pembangunan global, bahkan di saat mereka sangat memiliki dampak pada kemampuan bumi sebagai penyangga kehidupan.
      Model kerja baru ini juga mencakup dampak besar penggunaan komunikasi digital masa kini di dalam politik global. Asia Tenggara, terlepas dari posisinya yang berada di antara dua kiblat, merupakan sebuah kawasan di mana kerusakan lingkungan terjadi dan juga menjadi wilayah yang paling terdampak. Kawasan ini merupakan wilayah kunci di mana penentuan perjuangan penyelamatan bumi akan berhasil ataupun gagal.
      Dalam laporan tersebut, Greenpeace mencatat beberapa data statistik terkait dukungan masyarakat melalui media, khususnya media baru atau media digital. Greenpeace Asia Tenggara memiliki lebih dari sejuta pendukung yang secara aktif ikut menandatangani petisi online, mengkuti perkembangan kampanye-kampanye melalui e-mail, dan tergabung dalam media sosial. Ada 64, 521 orang menandatangani petisi online yang terdiri dari tiga negara, yakni Indonesia (37%), Thailand (21%), dan Filipina (42%). Selain itu juga terdapat 892, 752 netizen yang terdaftar di media sosial Greenpeace, yang berada di beberapa negara, seperti Indonesia (531, 237), negara lain se-Asia (8, 717), Thailand (115,939), dan Filipina (238,572). (www.greenpeace.org/ 15 April 2016)