Sabtu, 12 Agustus 2017, sudah hampir dua jam kami menyusuri jalan Waingapu-Matawai Katingga (salah satu desa di Kecamatan Kahaungweti, Kabupaten Sumba Timur), namun tak juga sampai di tempat tujuan kami. Setiap melihat Sekolah dasar, aku selalu memastikan kepada teman yang membonceng aku dalam perjalanan.
"Itu bukan sekolahnya?" tanyaku.
"Bukan kaka, masih jauh, masih lewat bukit." jawab Ebhan.
Mulai dari jalan aspal mulus hingga berlubang sana-sini tak juga tiba di SD Lapinu, yaitu salah satu sekolah paralel yang ada di Pulau Sumba ini. Tiga puluh orang kami dengan 16 kendaraan roda dua dan satu truk yang memuat barang-barang penting untuk didonasikan akhirnya memasuki jalan setapak menuju kampung Lapinu tempat dimana SD Lapinu berada.Â
Jalanan yang kini kami lewati kian menantang. Medan terjal menanjak dan menurun, jurang disalah satu sisi, batu-batu besar hingga pasir siap menjebak atau menggelincirkan ban kendaraan, lubang-lubang baragam ukuran tak beraturan bertebaran, inilah yang sekarang kami hadapi.Â
Setelah hampir 40 menit menyusuri jalan yang rusak parah tersebut, barulah kami tiba di depan ruangan yang berupa susunan gedeg-gedeg (dinding bambu) dengan anak-anak kecil berseragam berdiri berbaris tak beraturan membelakangi tiang bendera dan menyambut menghadap kami. Kedatangan kami memang telah dikoordinasikan dengan guru di SD Lapinu ini, tepatnya kegiatan ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi di Sumba Timur yakni GMNI, Stube Hemat Sumba dan Ana Humba.Â
Saya sendiri berpartisipasi secara susulan dengan membawa Komunitas Humba Menulis. Anak-anak berseragam lusuh bahkan ada yang tidak berseragam mengenakan sendal jepit bahkan ada yang kaki ayam tersebut merupakan siswa dari sekolah paralel ini. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, berdiri rapuh ruangan tempat mereka belajar. Ruangan yang hanya ditutupi dengan gedeg di bagian bawah, sementara dinding terluar bagian atasnya menganga lebar tanpa sekatan apapun sebelum kemudian ditutup seng diatasnya.Â
Tak jauh dari ruangan kelas, ada beberapa ruangan lain yaitu mess guru. Keadaan mess guru tak jauh menyedihkannya dengan ruangan kelas. Lubang dinding di sana sini, lantai tak beralas dan tak ada lemari di dalamnya. Luar biasa perjuangan para guru untuk tidur dengan keadaan seperti ini.Â
Sekolah ini berdiri sejak 15 Juni 2013 di Kampung Lapinu, Desa Matawai Katingga, Kecamatan Kahaungweti, Kabupaten Sumba Timur. SD ini merupakan sekolah paralel dari sekolah induknya yaitu SD Negeri Matawai Katingga yang terletak 8km dari SD Lapinu tersebut dengan medan jalan berbukit dan kondisi jalan rusak parah.Â
Kebijakan didirikannya sekolah paralel tersebut dikarenakan banyaknya siswa yang berasal dari sekitar kampung tersebut (Kampung Lapinu, Kampung Waikudu dan Kampung Laijawa) sekolah dengan persentase kehadiran yang sangat rendah, 2-3 kali seminggu atau bahkan tidak sekolah selama seminggu.
Pada tahun 2015, kepala sekolah Matawai Katingga pun mengecek dan ricek langsung apa alasan siswa-siswa tersebut sehingga tampak malas untuk sekolah. Beliau pun berjalan kaki langsung ke kampung-kampung tersebut. Sampailah beliau di kampung itu dan mendengar banyaknya orang tua murid yang curhat kepada beliau tentang anaknya yang ketakutan saat melewati hutan menuju sekolah, adanya anak yang pingsan ketika sampai di sekolah dan ketika tiba di rumah akibat kelelahan menerobos perbukitan demi belajar di sekolah, dan lain sebagainya yang masih terkait dengan jarak dan medan perjalanan menuju sekolah.
Oleh karena alasan tersebut, kemudian menjadi pertimbangan sekolah untuk mendirikan sekolah paralel di kampung Lapinu ini yang kemudian diberi nama SD Lapinu. Sudah 3 tahun lebih sejak didirikannya SD tersebut pada, namun tidak banyak perubahan yang mereka rasakan. Masih dengan dinding yang bolong setengah, masih dengan tanpa lantai, beberapa kelas tanpa papan tulis, dan lain sebagainya. Padahal sudah banyak yang berkunjung kesana, mulai dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur, NGO bahkan anggota DPR RI sudah ada pernah kesana.Â
Dari semua itu, tidak sedikit yang menjanjikan perubahan positif untuk sekolah ini terutama dari segi bangunan sekolah, bahkan anggota DPR RI telah membuatkan desain gedung sekolah untuk sekolah tersebut tahun lalu namun tidak kunjung ada kabar baik sejak dikirimnya contoh denah tersebut, kata Pak Yunus (salah satu guru yang ada sejak sekolah didirikan).Â
Dengan berdasarkan rasa solidaritas tersebutlah, kemudian kami dari beragam komunitas dan organisasi melakukan penggalangan bantuan dalm bentuk online dan offline. Bantuan pertama telah dibagikan pada hari Sabtu kemarin yaitu berupa gedeg, baju bekas, buku dan seragam. Besar harapan agar kegiatan ini berkesinambungan dengan harapan anak bangsa dapat merasakan pendidikan yang memerdekakan dirinya dari belenggu ketidaktahuan.Â
Kenyataan sekolah seperti ini masih banyak ditemui di pelosok nusantara terutama di bagian timur Indonesia, oleh karena itu adalah tugas bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperbaiki kondisi pendidikan bangsa tanpa harus menunggu-nunggu bantuan pemerintah yang perlu birokrasi panjang, ribet dan bertele-tele serta berakhiran tidak jadi. Mari merdekakan pendidikan bangsa dimulai dari hal kecil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H