Tampaknya secara logika, untuk menjawab adanya perbedaan antara analogi dan interprestasi ekstensif sangatlah sulit, sehingga akhirnya pendapat yang muncul menjadi pendapat yang diluar dari rasio logis yang membedakan antara analogi dan interprestasi. hal ini seperti alasan yang dinyatakan Langemeijer. Langemeijer menyatakan bahwa analogi menjadi berbahaya karena hal ini terkait dengan kepercayaan masayarakat terhadap peradilan dan obyektifitas hakim. apabila analogi dibiarkan maka hal ini akan merusak reputasi hakim apabila terdapat hakim yang dengan mudah membuat analogi yang serampangan. adanya analogi akan menyebabkan tingginya subyektifitas hakim dalam memutus dan mempertaruhkan wibawa dari Pengadilan. hal ini diamini oleh van Bemmelen dan Cnopius.
Jika kita mencoba melihat terkait dengan permasalahan tersebut, kita mendapati dua aliran besar yang menolak analogi dan menerimanya. aliran besar yang menolak analogi adalah aliran yang mengagungkan kepastian hukum, dan yang terakhir adalah aliran yang mendambakan keadilan hukum. dalam hal penemuan hukum (oleh hakim), untuk menemukan keadilan hukum, diperlukan hakim yang memiliki intelegensi yang baik, moral yang bersih serta kemampuan berlogika yang mumpuni.
Hukum bukan hanya Undang-Undang
aturan hukum bukan hanya undang-undang. sejatinya, asas legalitas yang sebelumnya kita terima bak kitab suci, saat ini telah menampakan kelemahan-kelemahannya apabila kita secara jujur mengkajinya dengan logika hukum. adanya peradilan yang adil, hakim yang meliputi satu sosoknya sebagai seorang hakim, hal ini dibutuhkan untuk mencapai satu logika hukum yang benar dan keadilan hukum. Karena hukum itu seharusnya hidup sebagaiman mana masyarakat yang berdetak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI