Mohon tunggu...
Nofia Fitri
Nofia Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Political Researcher

Doctoral Student of Political Science at the University of Indonesia; Civic Lecturer at Poltekkes Jakarta III; Manager Program of an NGO Aliansi Kebangsaan. An owner of a Big Data Company, Warung Data Indonesia, and a Digital Politics platform Exploiticha.id (Exploration on Global Politics, Computer Technology, and Ethical). My research interest is in the areas of Digital Politics, Global Politics, and Political Ideology.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Fundamentalisme Islam adalah Efek Kegagalan Pemimpin dan Sistem Politik?

29 Mei 2017   09:54 Diperbarui: 30 Mei 2017   04:37 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

III.Fundamentalisme sebagai Penolakan terhadap Modernisme

Sejarah fundamentalisme kontemporer bermula ditahun 1920’an dan erat kaitannya dengan imperialisme dan kolonialisme terhadap kaum muslim. Ekspansi kekuasaan yang dilakukan Barat terhadap negara-negara muslim dengan memaksakan ideologi mereka telah mengakibatkan kemunduran masyarakat itu sendiri. Karena hal inilah, fundamentalisme dimasa lalu sebagaimana dipaparkan Haidar Ibrahim adalah sejarah penolakan terhadap liberalisme (Ibrahim, 2010). Fundamentalisme jenis ini menjadi semacam kekuatan politik yang militan untuk memerangi liberalisme yang menurut mereka pada saat itu mengancam gereja. Sementara itu menurut Azyumardi Azra, akar fundamentalisme Islam adalah merujuk kepada gerakan Wahabi dan Revolusi Islam Iran (Azra, 1996: 107). Dalam pencirian yang dilakukan oleh Roger Garaudy (Garaudy: 1992), fundamentalisme digambarkan sebagai kaum yang menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kaku, dan menentang perkembangan.

Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan historis akar sejarah dari fundamentalisme sesungguhnya berangkat dari pergolakan sosial yang mendorong masyarakat pada upaya untuk mencari keamanan diri, mencita-citakan kondisi yang stabil (Hashemi, 2006). Kondisi sosial yang sudah jauh dari apa yang diharapkan masyarakat akan membawa mereka kembali kepada rasa haus akan pengisi kekosongan diri, dan inilah dimana agama menjadi pilihan. Tidak stabilnya kondisi sosial dan politik adalah juga pemicu munculnya gerakan fundamentalisme. Sama seperti akar pergerakan terroris, bahwa kemiskinan menjadi satu faktor besar yang menumbuhkan idelogi agama sebagai basis gerakan politik. Perasaan tentang ketidakadilan karena sistem, mnendorong mereka untuk berupaya mencari sebuah model Pemerintaahan dan Pemimpin yang tepat, yang dianggap sebagai selusi atas segala ketidakstabilan

Meminjam istilah Haidar, bahwa usaha kaum fundamental dalam menegakan keyakinannya tentang sebuah negara Islam atau masyarakat Islam tidak keseluruhan menolak pembaruan, karena pembaruan juga dibutuhkan untuk beradaptasi dengan realita, seperti hubungan antara akidah dengan Ilmu Pengetahuan. (Haidar, 2010: 4). Pada kondisi dimana fundamentalisme bertentangan dengan modernisme adalah karena fundamentalisme berpaham kekuasaan “nash” yang mutlak, sebaliknya modernisme dianggap “nisbi” berubah-ubah. Karakter Islam Fundamentalis atau yang disebut sebagai kaum revivalis ini dikenal secara luas antara lain prinsip interpretasi literal terhadap teks-teks kitab suci dan memahami pemahaman kontekstual. Pemahaman kontekstual inilah yang menjadi ciri dari modernisme yang mereka tentang.

Satu pernyataan yang cukup kontroversial dari seorang Muhammad Iqbal –tokoh pembaruan Islam Pakistan- bahwa Islam Fundamentalist membaca Al-Quran dengan penglihatan mati, tidak mamu beritjihad dan tidak kritis. Iqbal memang adalah tokoh modernisme yang sekalipun tokoh ini melahirkan negara Islam Pakistan namun memiliki pemikiran visioner tentang pentingnya menerima perkembangan ilmu pengetahuan serta mentafsirkan kitab suci dengan perspektif kekinian. Namun demikian, perbedaan mazhab dalam fundamentalisme itu sendiri juga terjadi.

Dalam islam fundamentalis kita mengenal, empat mazhab besar Ikhwanul Muslimin yang diplopori oleh Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha; Mazhab Salafi atau Wahabi yang dikenal sangat rasis; Mazhab Hizbut Tahrir dan Mazhab Habib. Persoalan penting yang berkembang kemudian, siapa saja dan kelompok apa saja yang dapat digolongkan sebagai Islam Fundamentalis? Adalah Al-Qaedah, Taliban, hingga mundur ke sejarah kita temukan Jamaah Islamiyah. Apakah fundamentalis otomatis mendorong suatu kelompok menjadi radikal dan extreme? Semoga kedepannyanya kajian-kajian yang terus berkembang dalam upaya melestarikan pemikiran politik Islam tersebut selalu mendapat tempat ditengah arus 

modernism.

IV.Fundamentalisme dan Modernisme dalam Konteks Islam danPolitik di Indonesia

Sejarah fundamentalisme sebetulnya lahir dari tradisi agama kristen tentang keyakinan yang berbasis kepada otoritas al-kitab. Perkembangan zaman dianggap mengancam keorisinilan ajaran agama karena ditafsirkan secara elastis dan flexibel, selain itu modernisme juga dianggap telah jauh mengkritik Agama dengan mempersoalkan Yesus yang lahir dari seorang Perawan, Kebangkitan yesus, dll (Soedarmo, 2008:30). Kaum modern yang membawa Ilmu Pengetahuan dan teknologi modern dituduh sudah menjauhkan agama dari negara. Para pakar sebetulnya sudah sepakat bahwa fundamentalisme ada di semua agama, dimana kaum fundamentalist tidak tertarik terhadap isu-isu yang dibawa modernisme seperti demokrasi, toleransi, liberalisasi, dan pluralisme (Armstrong, 2000: 26).

Dunia modern kini menempatkan penolakan terhadap demokrasi, toleransi, dan pluralisme sebagai bentuk fundamentalisme, dan hal ini menarik jika dikaitkan dengan Indonesia. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia, dimana Islam menjadi agama mayoritas sementara ideologi negara adalah Pancasila, apakah memungkinkan bagi pemikiran fundamentalisme untuk berkembang? Kalau kita memperhatikan bagaiman fenomena terorisme cukup berkembang di Indonesia, sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa fundamentalisme ada dan tumbuh di negeri ini. Namun demikian Pancasila pun menjaga keutuhan bangsa dengan memberikan ruang kepada apa yang substansial bagi fundamentalisme yaitu keyakinan kepada Allah SWT. Jika kemudian, muncul gerakan-gerakan yang seolah menyingkirkan prinsip berdemokrasi, toleransi dan pluralism, penting untuk dicari akar permasalahannya.,

Pengamat Politik Islam Sydney Jones baru-baru ini menerbitkan artikelnya yang menarik tentang bagaimana kaum Extremist muncul kembali di Indonesia yang berjudul Why Indonesian Extremists are Gaining Ground”. Apa yang menjadi perhatian dari Jones adalah bahwa Pemimpin negeri ini dianggap gagal untuk menjembatani dan memberi keadilan kepada apa yang menjadi tuntutan kelompok tertentu. Pada akhirnya fundamentalisme tidak hanya menjadi penolakan terhadap kesewenang-kewanangan penguasa, namun juga menjadi alat untuk bercermin tentang kegagalan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun