Mohon tunggu...
Nofail Hanf
Nofail Hanf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nofail Hanf_20107030095. Selamat Membaca dan Semoga bermanfaat.

Jangan lupa tersenyum dan bersyukur.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Hidup dari Penjual Bakso, Pandemi Menyatukan Saya

26 Juni 2021   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2021   03:21 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, berikut ini beberapa hal yang saya tangkap dari perbincangan kami di malam yang melankolis, akibat gerimis itu:

Mas ini, sudah menjual bakso di Ganding sejak tahun 2014, artinya sudah 5 tahun. Sudah lama sekali, saat itu saya masih kelas 1 SMP saya tidak tahu bakso Rembulan, sebab saya mondok. Kabar baiknya, dari hasil kerja kerasnya itu, beliau sudah bisa memiliki warung sendiri, plus mobil angkutan. Dan lagi Mas yang jualan bakso ini ternyata sepupuan dengan saya, namanya Mas Pandi.

Sejak mewabahnya virus Covid-19 di Indonesia, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga terkena imbasnya. Hal itu dirasakan oleh sepupu saya yang jualan bakso Rembulan. Sayangnya, warungnya diminta tutup, tidak boleh berjualan dulu. Saat berjualan keliling pun nasibnya tak jauh beda. Saat dagangan lagi laris-larisnya, banyak yang beli. Ehh, malah disuruh bubar. Ya, mau gimana lagi, keadaan memang mengharuskan kita begini. Tidak boleh berkerumun. Praktis, omsetnya pun menurun drastis, hingga Mas Pandi gak bisa mengirim uang lagi untuk anaknya yang berada di pondok. Ditelpon pun, anaknya nangis. Mungkin rindu, mungkin anaknya ingin pulang. Namun, ya mau gimana lagi, keadaannya tidak memungkinkan untuk pulang.

Kata Mas Pandi, di Jawa itu kalau pulang, karantinanya bukan di rumah, tapi di tempat khusus. Sebab anaknya mondok di Jawa sekaligus pengin mampir sekaligu menetap di rumah neneknya di Jawa agar tidak bolak-balik. Beda dengan kita di Madura, karantina mandiri di rumah. Itu pun masih banyak yang melanggar, padahal cuman berdiam diri di rumah. Tidak disuruh ambil rumput sapi. Alasan lain Mas Pandi, mungkin karena memang biaya pulkam untuk anaknya tidak ada. Maklumlah, kondisi serba sulit sekarang ini.

Lanjut cerita, Mas Pandi juga pernah mengalami putus modal. Gak ada pemasukan sama sekali. Untungnya, saat masalah itu diceritakan pada temannya, Mas Pandi dibantu modal 500 ribu. Itulah yang kemudian ia putar kembali. Sehat terus untuk teman yang dermawan. Sampai sini, kita patut sadar, masih banyak orang diantara kita yang baik hati. Jangan selalu diambil negatifnya atau overlah.

Apa yang dialami oleh Mas Pandi ini, juga dialami oleh teman-teman rantaunya yang berada di Jawa maupun di daerah-daerah lainnya, salah satunya di Madura. Bahkan ada yang harus merelakan jual motor agar bisa tetap survive di tengah pandemi ini, tapi sampai kapan kalau tak ada pemasukan? Sedang hidup mesti terus berlanjut, life must go on.

"Saya pribadi sih maunya, normalkan saja kembali, dengan tetap memastikan protokoler kesehatan yang ada. Kalau kondisinya seperti ini terus, kami sama saja dibunuh secara perlahan, anak dan istri saya mau makan apa?" Kata Mas Pandi.

Saya tidak mau memperdebatkan ini terlalu jauh. Saya hanya mencoba merekam sedikit 'keluhan' salah satu masyarakat kita. Saya pribadi masih percaya pada pemerintah, saya yakin mereka yang di atas sedang memutar otak, mencari jalan keluar terbaik, dengan meminimalisir resiko. Mungkin bukan yang paling baik, tapi setidaknya di antara pilihan-pilihan yang ada, keputusan yang diambil kelak adalah yang paling sedikit mendatangkan mudarat. Semoga.

dokpri
dokpri

Dalam pertemuan hampir dua jam itu, kami mempercakapkan pelbagai hal. Termasuk perspektif Mas Pandi yang melihat virus ini erat kaitannya dengan politik dunia, elit global alias politik konspirasi. Sampai di sini, saya gak berani mengekplorasi lebih jauh. 

Beban hidupku ini sudah berat, Dek. Tolong jangan ditambah lagi dengan teori macam-macam. Mas pusing. Apalagi, sampai mengaitkan larangan ke masjid dengan kebangkitan PKI. Ini, udah ngawur banget. Iki opo toh, Dek. Yang dilarang itu bukan ibadahnya, tapi kumpul-kumpulnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun