Mohon tunggu...
Nofail Hanf
Nofail Hanf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nofail Hanf_20107030095. Selamat Membaca dan Semoga bermanfaat.

Jangan lupa tersenyum dan bersyukur.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Hidup dari Penjual Bakso, Pandemi Menyatukan Saya

26 Juni 2021   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2021   03:21 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semalam saya mengunjungi seorang teman lama di kampung halaman. Pun juga saya sebagai orang yang pernah merasakan hidup jauh dari kampung halaman, jauh dari rumah, kesepian. Pun saya masih kuliah di kota besar, Yogyakarta. Semoga kedatangan saya bisa sedikit menghibur, membuatnya lupa sejenak kerinduan pada saya, dan tatapan teduh yang lama tidak bertemu.

Nah, sepulang dari ruman teman, saya bertemu dengan Mas penjual bakso di pinggir jalan. Saya heran saja, tadi masih sepi ketika berangkat ke rumah teman, sekarang sudah ada yang jual bakso. Memangnya ada yang beli? Kan, kalau sudah malam pasti tidak ada orang yang lewat. Pada waktu itu rumah tetiba jadi restoran mendadak, rumah tetangga juga demikian, dikarenakan ada pernikahan di sebelah rumah saya, nampaknya di hari itu pula kita (keuarga saya) lebih rajin sikat gigi dari biasanya. Kedua, emang Mas ini gak pulang kampung ya atau tidak menjadi petani di rumahnya? Itulah pertanyaan yang berkelindan di kepala saat itu.

Untuk menjawab rasa penasaran itu. Saya putuskan untuk menepikan motor, makan bakso Rembulan, sebelumnya saya sudah makan nasi putih di rumah teman di 4 rumah berbeda, 5 dengan rumah saya sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi perut saya saat itu?

Perut saya memang kenyang, tapi jiwa saya lapar akibat penasaran. Saya butuh berbincang dengan orang lain. Ya, mau gimana lagi, mau berbincang dengan kamu udah gak bisa. Jurang pemisah kita udah terlalu jauh. ekekek

"Baksonya masih ada?" tanyaku, basa basi.

"Bungkus atau makan sini?" balas Masnya.

"Makan sini saja Mas."

dokpri
dokpri

Setelah semangkok bakso di tangan, saya mengeluarkan jurus andalan, memulai percakapan:

Nah, berikut ini beberapa hal yang saya tangkap dari perbincangan kami di malam yang melankolis, akibat gerimis itu:

Mas ini, sudah menjual bakso di Ganding sejak tahun 2014, artinya sudah 5 tahun. Sudah lama sekali, saat itu saya masih kelas 1 SMP saya tidak tahu bakso Rembulan, sebab saya mondok. Kabar baiknya, dari hasil kerja kerasnya itu, beliau sudah bisa memiliki warung sendiri, plus mobil angkutan. Dan lagi Mas yang jualan bakso ini ternyata sepupuan dengan saya, namanya Mas Pandi.

Sejak mewabahnya virus Covid-19 di Indonesia, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga terkena imbasnya. Hal itu dirasakan oleh sepupu saya yang jualan bakso Rembulan. Sayangnya, warungnya diminta tutup, tidak boleh berjualan dulu. Saat berjualan keliling pun nasibnya tak jauh beda. Saat dagangan lagi laris-larisnya, banyak yang beli. Ehh, malah disuruh bubar. Ya, mau gimana lagi, keadaan memang mengharuskan kita begini. Tidak boleh berkerumun. Praktis, omsetnya pun menurun drastis, hingga Mas Pandi gak bisa mengirim uang lagi untuk anaknya yang berada di pondok. Ditelpon pun, anaknya nangis. Mungkin rindu, mungkin anaknya ingin pulang. Namun, ya mau gimana lagi, keadaannya tidak memungkinkan untuk pulang.

Kata Mas Pandi, di Jawa itu kalau pulang, karantinanya bukan di rumah, tapi di tempat khusus. Sebab anaknya mondok di Jawa sekaligus pengin mampir sekaligu menetap di rumah neneknya di Jawa agar tidak bolak-balik. Beda dengan kita di Madura, karantina mandiri di rumah. Itu pun masih banyak yang melanggar, padahal cuman berdiam diri di rumah. Tidak disuruh ambil rumput sapi. Alasan lain Mas Pandi, mungkin karena memang biaya pulkam untuk anaknya tidak ada. Maklumlah, kondisi serba sulit sekarang ini.

Lanjut cerita, Mas Pandi juga pernah mengalami putus modal. Gak ada pemasukan sama sekali. Untungnya, saat masalah itu diceritakan pada temannya, Mas Pandi dibantu modal 500 ribu. Itulah yang kemudian ia putar kembali. Sehat terus untuk teman yang dermawan. Sampai sini, kita patut sadar, masih banyak orang diantara kita yang baik hati. Jangan selalu diambil negatifnya atau overlah.

Apa yang dialami oleh Mas Pandi ini, juga dialami oleh teman-teman rantaunya yang berada di Jawa maupun di daerah-daerah lainnya, salah satunya di Madura. Bahkan ada yang harus merelakan jual motor agar bisa tetap survive di tengah pandemi ini, tapi sampai kapan kalau tak ada pemasukan? Sedang hidup mesti terus berlanjut, life must go on.

"Saya pribadi sih maunya, normalkan saja kembali, dengan tetap memastikan protokoler kesehatan yang ada. Kalau kondisinya seperti ini terus, kami sama saja dibunuh secara perlahan, anak dan istri saya mau makan apa?" Kata Mas Pandi.

Saya tidak mau memperdebatkan ini terlalu jauh. Saya hanya mencoba merekam sedikit 'keluhan' salah satu masyarakat kita. Saya pribadi masih percaya pada pemerintah, saya yakin mereka yang di atas sedang memutar otak, mencari jalan keluar terbaik, dengan meminimalisir resiko. Mungkin bukan yang paling baik, tapi setidaknya di antara pilihan-pilihan yang ada, keputusan yang diambil kelak adalah yang paling sedikit mendatangkan mudarat. Semoga.

dokpri
dokpri

Dalam pertemuan hampir dua jam itu, kami mempercakapkan pelbagai hal. Termasuk perspektif Mas Pandi yang melihat virus ini erat kaitannya dengan politik dunia, elit global alias politik konspirasi. Sampai di sini, saya gak berani mengekplorasi lebih jauh. 

Beban hidupku ini sudah berat, Dek. Tolong jangan ditambah lagi dengan teori macam-macam. Mas pusing. Apalagi, sampai mengaitkan larangan ke masjid dengan kebangkitan PKI. Ini, udah ngawur banget. Iki opo toh, Dek. Yang dilarang itu bukan ibadahnya, tapi kumpul-kumpulnya.

Tapi mall dan bandara kok dibuka, ramai pula, berdesak-desakan? Ya begitulah, Dek. Layaknya pacar. Pemerintah juga kadang sulit dimengerti maunya apa. Belum lagi komunikasinya yang berantakan, membikin kita yang di bawah makin bingung. Yang A bilang begini, yang B bilang begitu.

Perbincangan malam itu sungguh mengalir, hingga merembet pada bagaimana masing-masing suku kami melihat pernikahan. Namun, saya tak hendak membagikannya di sini. Saya masih trauma bicara yang begitu. Kamu gak usah tahu alasannya. Yang jelas, bukan karena saya lagi mengeja buku Sayap-Sayap Patah dari Kahlil Gibran. Bukan itu.

Malam itu, kami tertawa bersama. Menertawakan apa saja, meski gak lucu-lucu amat juga. Sepertinya, saya dan Mas Pandi sudah menjalani hubungan atau pertemuan yang tidak dijanjikan dan lagi kami punya masalah yang sama-sama berat. Dan bercerita adalah medium yang tepat. Pada akhirnya, bicara perihal hidup adalah tentang keberanian mengahadapi tantangan dan masalah.

Pertemuan kami, berakhir happy ending. Apa pasal? Saya mendapat pesan mendalam dari Mas Pandi sepupu saya, "Hidup itu soal bersyukur saja. Saya ini gak bermimpi jadi kaya, bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak saja sudah cukup. Kekayaan seringkali membuat orang lupa. Teman saya banyak yang begitu. Lupa kalau 2,5 % hartanya itu ada hak orang lain."

Mas Pandi juga senang, karena malam itu. Saat saya pamit, saya memesan lagi untuk dibawa ke rumah buat oleh-oleh. Semoga laris.

Malam itu, saya makan bakso 10 ribu. untuk harga baksonya bermaca-macam, pertama, 5 ribu dapet yang kecil-kecil sebanyak 7 biji kedua, 8 ribu dapet yang kecil sebanyak 6 plus yang besar satu ketiga, 10 ribu dapet yang jumbo. Dan masih ada menu-menu lainnya untuk saranku apalagi untuk wilayah Ganding, Madura saya menyarankan belinya yang jumbo, tenang dipikiran kenyang diperut nan lezat apalgi dicampur dengan mi yoki. Itupun cukup untuk membuat saya ngantuk di atas motor. Namun, 10 ribu juga adalah harga yang teramat murah untuk sebuah pelajaran hidup. Saya adalah orang yang meyakini bahwa kebijaksanaan itu berserakan di mana saja. Sisanya terserah kita, mau memungutnya atau tidak. Mau belajar atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun