Mohon tunggu...
Noviana Rahmadani
Noviana Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sudah Sejauh Mana Keamanan Siber dalam Melindungi Hak Aktivis?

14 Februari 2024   00:52 Diperbarui: 16 Februari 2024   06:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan keterangan Bivitri persoalan akses ke media sosial miliknya belum menemukan titik terang, sudah tiga hari terhitung sejak Rabu, 20 April 2022 lalu. Bivitri tetap menyayangkan upaya peretasan terhadap akun sosial medianya. Bivitri menilai peretasan yang dialaminya merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Serangan siber yang dialami oleh Bivitri Susanti diketahui diretas menjelang aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat di Jakarta pada Kamis (21/4/2022) untuk menyuarakan penolakan terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan tuntutan supaya pemerintah segera menurunkan harga pokok dan mengatasi ketimpangan ekonomi yang akan dilaksanakan di kawasan Patung Kuda dan Gedung DPR.

Sejak serangan digital yang dialami Bivitri, ia masih mempertimbangkan apabila harus melaporkan ke polisi. Bivitri memaparkan persoalan peretasan akun jelang demontrasi merupakan bentuk serangan terhadap kebebasan pers sekaligus teror terhadap aktivis. Ia memandang pemerintah kurang melindungi hak informasi pribadi setiap warga negara. Sebab meski dugaan peretasan sebelum unjuk rasa besar sudah berulang kali terjadi, tidak satu pun dari kasus tersebut diselidiki oleh kepolisian sebagai salah satu kejahatan siber.

Serangan digital jelang demonstrasi bukan pertama kali terjadi. Sejumlah akun media sosial milik Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito mengalami peretasan. Peretasan terjadi terhadap aplikasi pesan WhatsApp milik Sasmito dan sejumlah akun media sosial, yaitu Facebook dan Instagram. Selain itu, merujuk laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safanet) dilaporkan bahwa di sepanjang 2021 ditemukan 193 kasus serangan digital. Adapun korban serangan digital secara berturut-turut adalah 50 orang dari kalangan aktivis, 34 warga sipil, 27 mahasiswa, 25 jurnalis dan media. 17 lembaga pemerintah, 12 pegawai swasta, dan 10 organisasi masyarakat sipil.

Berdasarkan penuturan Wijayanto selaku Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, bahwa dalam tiga tahun terakhir dugaan serangan digital termasuk peretasan, teror siber, pengambilalihan akun media sosial dipakai sebagai upaya modus operandi untuk melemahkan gerakan prodemokrasi. Maraknya kasus peretasan menimbulkan pertanyaan terkait tanggung jawab kepolisian dalam menuntaskan persoalan ini. Kepolisian harus proaktif dalam menyelidiki pelaku dibalik serangan digital yang menimpa akademisi Bivitri Susanti dan sejumlah aktivis lain sebelumnya. Apabila tidak diusut secara tuntas akan menimbulkan potensi kasus peretasan yang berulang dan negara dapat dianggap terlibat dalam aksi serangan digital. Pelaku dugaan peretasan akan sulit terungkap karena keengganan untuk melaporkan kasusnya ke polisi. Ketidakpercayaan bahwa kasus akan diungkap sebab timbulnya spekulasi adanya keterlibatan aktor negara dalam praktik serangan digital. Peretasan kepada sejumlah individu dalam waktu yang bersamaan pada umumnya hanya mampu terlaksana apabila memakai peralatan canggih dan dimiliki oleh institusi negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun