Learning Loss Dalam Masa Pandemi Bagi Anak-Anak Sekolah
Dalam beberapa kesempatan , seperti dikutip koran Tempo 28/09/21 dan kompas.com 25/10/21, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online bakal mengakibatkan anak-anak mengalami learning loss . Riset dari Mendikbud, kata beliau, membuktikan bahwa anak-anak Indonesia telah kehilangan satu tahun pembelajaran, terutama bagi yang PJJ.
Apa yang disebut sebagai learning loss tersebut ? Learning loss adalah istilah yang dipakai untuk menyebut hilangnya pengetahuan dan ketrampilan, baik itu secara umum maupun spesifik , atau terjadinya kemunduran proses akademis karena faktor tertentu. Adapun faktor yang dapat menyebabkan learning loss antara lain adalah karena libur panjang, putus sekolah atau ditutupnya pembelajaran tatap muka (PTM) .
Selama masa pandemi Covid – 19 yang sudah berjalan di Indonesia hampir 1 tahun 9 bulan , pembelajaran tatap muka belum banyak dijalankan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh secara online (daring) . Siap atau tidak siap , dunia pendidikan memang harus mengadopsi hybrid learning yang memadukan antara pembelajaran tatap muka dengan pemakaian sarana digital seperti halnya pembelajaran jarak jauh secara daring . Namun ternyata pandemi Covid – 19 ini menyebabkan para guru dan orang tua kalang kabut karena mereka tidak siap dan gagap dalam menghadapi masalah ini .
Pihak guru sekedar memindahkan mata pelajaran yang biasanya diajarkan secara tatap muka di sekolah menjadi pelajaran secara digital di mana bahan pelajaran, tugas, pekerjaan rumah tersebut disampaikan secara satu arah lewat zoom atau google classroom kepada para siswa . Gawai yang dipakai seperti laptop atau handphone sebagai sarana pembelajaran sangat terbatas atau jadul sehingga kalau tokh ada sangat lelet karena kurang memori atau kecepatannya , koneksi internet yang sangat lemah dan tidak stabil , apalagi di tempat -tempat yang terpencil di mana internet belum terjangkau .
Para siswa harus duduk berjam-jam melihat di depan laptop atau handphone sehingga mereka gelisah , kurang bisa terkonsentrasi dan menjadi bosan . Belum lagi para orang tua yang kerepotan selain mereka sebelum pandemi banyak memasrahkan pendidikan anak-anak mereka kepada pihak sekolah , pokoknya tahu beres, sekarang mereka mau tak mau harus membimbing dan mendampingi anak-anak mereka dalam belajar mereka secara daring.
Ada orang tua yang kebingungan karena mereka sendiri tidak memahami mata pelajarannya , ada pula dari mereka karena kesibukan kerja atau aktivitas lainnya jadi tidak secara penuh bisa berkonsentrasi pada waktu pendampingan kepada anak-anak mereka . Akibatnya para orang tua bisa menjadi tidak sabar dan mudah marah terhadap anak-anak mereka . Sama- sama frustrasi , baik itu para guru, anak-anak siswa maupun para orang tua mereka ! Hal tersebut dapat diindikasikan dengan motivasi belajar anak yang menurun dan ogah-ogahan dalam belajar. Di negara-negara miskin dan berkembang , masalah ketidak-efektifan dalam metode pembelajaran diperparah dengan infrastruktur seperti koneksi internet yang lemah, listrik yang tidak stabil dan kondisi geografis yang menjadikan banyak titik buta (blind spot).
Namun masalah pendidikan dan pembelajaran itu bukan hanya sekedar urusan mentransfer pengetahuan atau ketrampilan yang berlangsung dalam ranah kognitif . Pendidikan dan pembelajaran harus bersifat komprehensif dan holistik , artinya ada integrasi antara olah pikir (kognitif) , olah rasa (emosi) dan olah karsa (kehendak) yang diramu dengan pendidikan karakter dan perubahan perilaku . Karena manusia adalah makhluk sosial , maka manusia berinteraksi dengan manusia lainnya , termasuk dalam hal belajar.
Ada bagian yang hilang (missing) dalam proses pembelajaran , yakni bagaimana interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, terutama dalam mencontoh atau meniru satu sama lain. Pertanyaannya , apakah dalam proses belajar secara daring tidak terjadi tiru – meniru antara siswa yang satu dengan lainnya selain guru ? Jawabannya , pasti ada . Namun secara jujur kita harus katakan bahwa hal tersebut sangat minim terjadi karena bagaimanapun belajar secara daring dengan memakai zoom atau google meet misalnya memiliki keterbatasan karena bidang pandangnya tertentu saja misalnya wajah mereka tanpa bisa disoroti apa yang dikerjakan teman-teman lainnya .
Berikut akan kita bicarakan mengenai suatu teori yang disebut teori belajar sosial (social learning theory ) yang dipopulerkan oleh Albert Bandura pada tahun 1977. Menurut Bandura, manusia mempelajari sesuatu dengan cara meniru perilaku orang lain . Teori ini disebut juga Observational Learning theory , karena seseorang belajar dengan cara mengobservasi apa yang dilakukan orang lain. Penggunaan teori ini sebagian akan menjelaskan mengapa Pertemuan Tatap Muka (PTM) lebih efektif daripada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring , terutama karena kurangnya pembelajaran yang bersifat meniru atau modelling .
Pembelajaran yang bersifat pengetahuan seperti sejarah atau bahasa Indonesia misalnya mungkin lebih mengandalkan kemampuan menghafal dari seorang siswa , namun jangan lupa bahwa ketika seseorang mencoba menghafal pelajaran tadi , dia mengamati siswa lainnya dan juga ada suasana berbeda karena suasana kelas yang tidak tergantikan yang bisa dirasakan langsung oleh para siswa tersebut , yakni suasana keceriaan dan bahkan keributan yang membawa semangat belajar dari para siswa tersebut . Belum lagi dalam percakapan informal maupun formal di antara para siswa yang kebetulan mungkin beberapa di antara mereka adalah sahabat dekat . Mereka belajar dan saling mengomentari termasuk meniru apa yang disebutkan oleh temannya . Dengan cara seperti itulah belajar menjadi pengalaman mengasyikkan dan bisa lebih “masuk”.
Bagaimana dengan pelajaran yang bersifat motorik atau ketrampilan ? Ambil contoh pelajaran olah raga , bulu tangkis misalnya . Biar diajarkan teori dan aturan dalam bermain bulu tangkis sampai hafal mati , kalau mereka tidak mempraktekkannya , sangat sulit membayangkan mereka bisa bermain tepok bulu angsa ini.
Ada orang yang bilang belajar main bulu tangkis dapat lewat video latihan bulu tangkis . Tentu bisa . Namun kalau para siswa ini tidak belajar berlatih bersama dengan temannya , tidak akan pernah bisa atau kalaupun bisa , akan butuh waktu yang lama. Siswa yang satu akan memperhatikan bagaimana guru olah raganya atau temannya melakukan “serve”, “lob” , “dropshot” , atau “smash ” dan kemudian dia akan belajar melakukan hal yang sama dengan teman latihannya. Selain belajar menirukan orang lain , ada suasana “fun” yang tidak dipunyai lewat metode lain. Bagaimana dengan belajar ketrampilan , misalnya menggambar ? Guru pasti akan mengajarkannya pertama kali . Tidak lupa direkam dan videonya mungkin bisa ditonton ulang .
Siswa akan mencoba menggambar secara live dari zoom , atau belajar video tutorial. Ditambah lagi orang tuanya akan membimbing dengan catatan kalau orang tua itu ada waktu dan BISA menggambar . Kalau tidak bisa menggambar , baik orang tua yang mendampingi sambil pura-pura bisa menggambar atau anak-anak mereka yang sedang belajar menggambar , akan sama-sama frustrasi . Hasil berbeda akan terjadi manakala seorang anak yang belajar menggambar melihat secara langsung teman-teman lainnya menggambar dan kemudian dia bisa meniru apa yang digambar .
Kembali kepada Social Learning Theory dari Albert Bandura . Dia mengatakan proses belajar meniru ini meliputi empat hal : 1. Perhatian (attention) di mana ada proses seseorang tertarik untuk memperhatikan perilaku tertentu dari orang lain. Banyak perilaku yang ada , namun hanya perilaku yang menarik perhatian seseorang itulah yang akan diamati. 2. Retensi (Retention) di mana ada proses mengingat perilaku tersebut . Tanpa proses mengingat, orang akan sulit meniru karena tidak pada saat itu juga orang bisa menirukan, namun butuh waktu untuk dapat meniru perilaku tersebut. 3. Reproduksi motor (motor reproduction) di mana ada proses menerjemahkan ke dalam pola respons baru .
Perlu ada proses pengulangan dalam meniru supaya hasilnya bisa sesuai dengan ingatan atau memorinya. 4. Motivasional (motivational) , di mana ada proses penguatan , yakni kalau perilaku yang ditiru ada nilai manfaatnya, disanjung atau disambut positif oleh orang lain , orang itu cenderung untuk melakukannya lagi . Menurut Bandura , meskipun dia seorang penganut behavioristik , apa yang dipelajari atau ditiru seseorang bukan bersifat mekanistik seperti mesin . Yang membedakannya yakni orang bisa memilih perilaku apa yang dia pilih dan mana yang tidak. Teori belajar sosial ini bukan sekedar urusan stimulus - respons tetapi juga berarti lingkungan menyebabkan seseorang melakukan perilaku tertentu di mana faktor psikologis punya andil dalam mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku . Kecakapan memilah dan memilih inilah yang disebut aspek kognitif.
Dalam perkembangannya , Bandura (1986) juga menambahkan bahwa proses meniru akan lebih mudah terjadi ketika di dalam diri orang itu ada : 1. Efikasi diri (Self efficacy) , yakni keyakinan dalam diri orang itu bahwa dia bisa melakukan pekerjaan atau perilaku tersebut . 2. Regulasi diri (self regulatory), yakni kemampuan seseorang untuk mengukur dan mengevaluasi pencapaiannya. Dua aspek tambahan ini melibatkan aspek kognitif juga . Meskipun dua hal ini kelihatannya lebih relevan dengan orang yang lebih dewasa, namun anak kecil (usia sekolah) pun mampu melakukannya di dalam tahap yang lebih ringan.
Dengan demikian dari penjelasan teori belajar sosial di atas , bisa disimpulkan mengapa Pertemuan Tatap Muka (PTM) secara offline atau onsite lebih banyak kelebihannya ketimbang Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) secara daring terutama aspek meniru yang jauh lebih efektif dilakukan karena secara sosial dalam lingkungan sekolah tidak bisa digantikan dalam lingkungan rumah .
Meski demikian , sementara menunggu PTM bisa berjalan secara penuh, para orang tua harus berupaya membuat suasana sekolah dihadirkan di rumah supaya anak mereka tidak kehilangan semangat belajarnya . Orang tua juga perlu memahami materi pembelajaran supaya jadi model yang baik bagi anak mereka dalam meniru perilaku orang tua tersebut. Orang tua diharapkan memanfaatkan media pembelajaran yang inovatif di mana belajar tidak melulu di dalam ruangan tetapi bisa mengenal alam sekitar dan lingkungan sosialnya. Yang terakhir orang tua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan guru untuk misalnya berkonsultasi dengan guru apa yang dipelajari dan untuk mengetahui perkembangan belajarnya .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H